(Koran Jakarta) – Kompetensi yang tinggi menjadi modal berarti bagi jurnalis dalam menjalankan tugas-tugas peliputan. Agar kompetensi itu meningkat insan pers seyogianya mengikuti pelatihan dan pendidikan secara kontinu.
Perusahaan mana pun tentu mengharapkan sumber daya manusianya memiliki kompentensi tinggi. Tidak terkecuali perusahaan media massa yang mempekerjakan para jurnalis.
Tingginya kompetensi jurnalis akan berkorelasi positif dengan kualitas konten berita. Sayangnya, hingga saat ini, tidak mudah bagi perusahaan untuk menemukan wartawan yang mumpuni.
Abdullah Alamudi, pengajar di Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS), Jakarta, mengatakan perusahaan media sebesar Kompas saja masih sulit menemukan wartawan yang memenuhi kualifikasi yang diharapkan. “Pernah dalam satu kesempatan perekrutan, mereka kesulitan menemukan 20 orang wartawan yang kompeten,” ujarnya.
Bertambahnya jumlah media tidak serta-merta meningkatkan kompetensi para wartawan. Padahal, kualitas dan profesionalisme para pekerja pers jelas sangat diperlukan karena hasil kerja mereka dapat memengaruhi opini publik.
Menurut Alamudi, selain kompetensi, kesadaran pekerja pers untuk memahami kode etik profesi juga terbilang rendah.
Bahkan dari survei yang diadakan Dewan Pers pada 2008, sekitar 80 persen wartawan Indonesia tidak pernah membaca kode etik jurnalis.
“Selama tiga tahun terakhir bahkan terjadi 185 kasus pelanggaran etika yang merupakan hasil pengaduan masyarakat ke Dewan Pers,” paparnya.
Minimnya kompetensi dan pengetahuan akan seluk beluk dunia kewartawanan itu terkait pula karena minimnya tingkat pendidikan para jurnalis.
Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Margiono, menyatakan masih banyak wartawan Indonesia yang berpendidikan di bawah level strata 1 (S1).
Memang, di satu sisi hal itu tidak bermasalah mengingat belum ada peraturan resmi yang mengharuskan pengabar berita berpendidikan S1.
Hanya saja, Alamudi menyarankan seorang jurnalis seyogianya telah memiliki modal pendidikan yang tinggi terlebih dahulu.
Hal itu diperlukan sebagai persiapan untuk menentukan standar kompetisi yang lebih ketat terhadap profesi wartawan.
Dengan demikian, akan terlahir wartawan andal dan bisa disejajarkan dengan profesi-profesi khusus lainnya yang tidak bisa dimasuki sembarang orang.
Beberapa persyaratan yang harus dipenuhi itu, antara lain menguasai masalah jurnalisme, memahami sepenuhnya kode etik profesi dan teknik menulis berita, memiliki keterampilan mencari berita, serta mengikuti beberapa tingkat dalam dunia kewartawanan.
“Standar Dewan Pers mengualifikasikan seorang wartawan harus menempuh tiga jenjang dalam kariernya,” papar Alamudi.
Tiga jenjang yang dimaksud, pada dua tahun pertama pekerja pers dianggap sebagai wartawan muda. Memasuki tahap berikutnya, status jurnalis meningkat menjadi wartawan madya. Apabila jurnalis tersebut bisa meningkatkan prestasinya, maka statusnya akan meningkat menjadi wartawan senior.
Dengan memahami tingkatan yang telah ditetapkan itu, insan pers yang lulus dapat menjalankan kode etik secara sempurna.
“Nantinya akan dibuat kewajiban untuk mengikuti ujian kompetensi,” tutur Alamudi yang juga menjadi anggota Dewan Pers itu. Beberapa media nasional sebenarnya telah menerapkan pula jenjang karier bagi wartawan mereka.
Jenjang karier di satu media dengan media lainnya bisa saja tidak sama. Menanggapi minimnya pemahaman akan kode etik serta medan kerja dari para jurnalis, Atmakusumah Astraatmadja menyatakan salah satu penyebabnya karena banyak wartawan belum mengikuti pelatihan jurnalistik.
“Pengetahuan seorang wartawan itu harus terus ditingkatkan. Sayangnya banyak ditemui kasus wartawan tidak memahami dunia yang digelutinya.” Kekurangpahaman itu misalnya bisa dilihat dari penulisan tanda baca yang kurang sempurna.
Banyak wartawan yang belum mengetahui penempatan tanda baca yang tepat. Padahal, agar tulisan bisa dipahami pembaca, sang penulis harus memahami bahasa, termasuk tanda baca.
Kekurangan lain yang sering dijumpai ialah gaya penulisan yang kurang terstruktur. Agar pembaca cepat memahami substansi tulisan, maka penceritaan tulisan itu harus terstruktur. Sebagai tambahan, bahasa populer juga tidak bisa diabaikan.
Diperkenalkan sejak SD “Dari pengamatan saya, banyak berita yang tidak memenuhi standar jurnalistik, seperti akurasi yang rendah, tidak berimbang, tidak faktual, bias, diskriminatif, subjektif, dan tidak sederhana,” ujar Atmakusumah.
Agar tidak terjadi lagi kesalahankesalahan seperti itu Atmakusumah menyarankan kepada pemerintah untuk memperkenalkan mata ajaran jurnalistik kepada anak didik sejak tingkat sekoldah dasar (SD).
Menurutnya, dengan pengajaran tersebut murid-murid tidak hanya akan memahami gaya penulisan yang benar, tetapi juga menyadari adanya aturan dalam dunia jurnalistik.
Sayang, di Indonesia lembaga-lembaga pengajaran jurnalistik masih sedikit. Margiono, menyesalkan kondisi tersebut.
Padahal, menurutnya, jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya, kemerdekaan pers Indonesia merupakan yang terbaik.
Namun, jika kemerdekaan itu tidak dibarengi dengan kualitas sumber daya manusia yang mumpuni, tentu tidak akan banyak berarti.
Dalam rangka memenuhi kebutuhan akan lembaga-lembaga pengajaran jurnalistik, PWI bersama- sama Dewan Pers mendirikan Sekolah Jurnalistik Indonesia (SJI).
Sekolah yang merupakan hasil kerja sama dengan UNESCO dan Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) itu pada tahap awal rencananya dikembangkan di enam kota, yakni Palembang, Jakarta, Semarang, Makassar, Pekanbaru, dan Samarinda.
Metode pengajaran berupa pendidikan dan latihan jangka pendek, menengah, dan panjang yang kesemuanya diberikan secara gratis oleh PWI. Untuk awalnya, peserta akan mengikuti diklat jangka pendek selama satu bulan.
Dalam pandangan Margiono, program tersebut memiliki prospek yang baik asalkan dijalankan terus-menerus secara berkala.
“Apabila di satu kota terdapat 500 wartawan yang mengikuti diklat tiap bulannya, jika diklat itu dilakukan di 30 kota, maka akan ada 15 ribu orang yang memahami dunia jurnalistik,” ujarnya.
Bukan hanya PWI yang menggelar diklat bagi wartawan dan calon wartawan, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) pun sebenarnya telah mengadakan acara serupa.
Menurut Jackson Simanjuntak, Koordinator Serikat Pekerja AJI, setiap bulan pihaknya rutin mengadakan pelatihan jurnalistik, diskusi, dan workshop fotografi .
Semua itu sifatnya terbuka dan dipublikasi di milis-milis milik wartawan. Meski upaya-upaya untuk memperbanyak pendidikan dan pelatihan jurnalistik di Tanah Air semakin gencar, Alamudi mengingatkan agar kendala-kendala seperti keterbatasan dana, ketersediaan tempat, infrastruktur, serta tenaga pengajar hendaknya diselesaikan terlebih dahulu.
Dengan usaha tak kenal lelah, papar Alamudi, dirinya optimistis akan tiba saatnya wartawan Indonesia memiliki kompetensi tinggi dan dapat bersaing dengan jurnalis-jurnalis asing. hag/L-2
Sumber: Harian Koran Jakarta, Selasa, 09 Februari 2010
http://koran-jakarta.com/berita-detail.php?id=44706
Published in