(Sumber: Editorial Koran Tempo)
Belum memuaskan, tapi bolehlah Surat Edaran Mahkamah Agung kepada semua ketua pengadilan negeri dan pengadilan tinggi pekan lalu disebut sebagai kemajuan dalam penyelesaian sengketa pemberitaan. Mahkamah Agung memberikan petunjuk agar pengadilan mengundang saksi ahli dari Dewan Pers dalam menangani perkara pers. Dewan Pers, yang pembentukannya diwajibkan Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999, memang memiliki anggota yang sangat memahami seluk-beluk pers.
Disebut belum memuaskan karena surat edaran itu belum menyelesaikan persoalan penting yang dihadapi media sekarang ini: kriminalisasi pers. Pihak yang merasa difitnah, dihina, atau dicemarkan nama baiknya oleh suatu pemberitaan sering mengupayakan penyelesaian melalui jalur Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Dengan demikian, pintu tetap terbuka bagi mereka yang merasa dirugikan oleh pemberitaan untuk memperkarakan media ke pengadilan.
Semestinya Mahkamah Agung tidak sulit menerima usulan organisasi wartawan, seperti Aliansi Jurnalis Independen. Aliansi mengusulkan agar Mahkamah memerintahkan hakim menolak mengadili perkara pers apabila belum ditempuh mekanisme penyelesaian sengketa berita seperti tertulis dalam UU Pers Nomor 40/1999. Salah satu bentuk penyelesaian, misalnya, adalah penggunaan hak jawab.
Ini bentuk penyelesaian yang umum dipakai di banyak negara demokrasi. Prinsipnya: kata dibalas dengan kata, tulisan dibalas dengan tulisan. Bahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan pemerintah pernah memakai hak jawab di harian Kompas dan Rakyat Merdeka. Mahkamah Agung sebenarnya tidak perlu merasa mencampuri wilayah teknis pengadilan dengan merumuskan edaran seperti yang dikehendaki Aliansi Jurnalis Independen. Surat edaran yang tegas sebenarnya akan membantu mengurangi tumpukan perkara yang masuk ke pengadilan.
Surat edaran ini akan bermanfaat jika hakim memperhatikannya. Selama ini kompetensi saksi ahli banyak dipersoalkan di pengadilan. Sekali waktu, ada seorang saksi ahli yang menjelaskan prinsip cover both sides sebagai sampul depan dan belakang majalah. Saksi ahli dari Dewan Pers rasanya tak mungkin salah menjelaskan asas keberimbangan dalam peliputan berita itu. Surat edaran diharapkan ikut menangkal mereka yang sekarang ini laris disewa para konglomerat hitam untuk memukul pers di pengadilan. Hakim setidak-tidaknya kini bisa mendengar keterangan tidak hanya dari “saksi ahli” yang spesial disewa untuk menguntungkan satu pihak saja.
Secara formal, para hakim memang bisa mengabaikan surat edaran itu tanpa mendapat hukuman. Tapi mereka bisa dikenai sanksi administratif yang berpengaruh terhadap karier mereka jika mengabaikan surat edaran tanpa alasan jelas. Sanksi semacam ini penting untuk memastikan surat itu tak cuma menjadi macan kertas.
Di era baru ini, sudah galibnya bila Dewan Pers berperan semakin dalam menjaga kemerdekaan pers. Maka kita juga gembira mendengar adanya kesepakatan dengan Mahkamah Agung bahwa Dewan Pers bisa menjadi salah satu lembaga mediasi di pengadilan perdata untuk kasus pers. Tentu setelah anggota Dewan Pers mengantongi sertifikat mediasi yang disahkan Mahkamah Agung.
Jurnalis bukan makhluk tanpa dosa. Bila memeras atau menipu, ia bisa diperlakukan seperti kriminal lainnya. Tapi, bila ia menulis berita, memenuhi semua prosedur, ia seharusnya tak bisa diancam hukuman pidana. Kritik dan koreksi merupakan kewajiban wartawan dan itu diatur dengan undang-undang. Dengan kritik itulah jurnalis ikut memberikan sumbangan pada demokrasi di negeri ini.* (Koran Tempo, Senin, 19 Januari 2009)
Published in