Jakarta (berita LPDS) – Kerajinan dan kebudayaan Indonesia tidak akan maju jika masyarakat Indonesia melupakan akar budaya bangsa. Sebab, budaya menjadi inspirasi bagi para seniman dan budayawan Indonesia.
Para pengrajin batik, seniman keramik, sutradara film, dan pekerja seni lainnya banyak mendapat inspirasi untuk karya mereka dari budaya tradisional yang dilestarikan oleh keluarga mereka atau masyarakat.
Pendapat tersebut muncul dalam Diskusi Serial Bulanan (Diserbu) tentang Semangat Indonesia bertema “Budaya Kerajinan Indonesia” yang diselenggarakan Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS), Metro TV, dan Djarum Bakti Budaya di restoran Seribu Rasa, Jakarta, Jumat (24/09/2010).
Slamet Rahardjo (sutradara film), Fransiskus Widayanto (seniman keramik), dan Nurul Akriliyah (seniman batik) menjadi narasumber diskusi.
Menurut Slamet Rahardjo, Indonesia menjadi bangsa yang kalah karena banyak orang Indonesia ingin menjadi “orang lain”, melupakan akar kebudayaannya, sehingga tidak jelas sikap budayanya.
Ia mengibaratkan sutradara sebagai seorang koki yang dituntut dapat menyajikan makanan sesuai selera masyarakat. “Andai seorang sutradara dianggap koki, maka makanan seperti apa yang harus saya buat di tengah kondisi bangsa yang tidak jelas sikap budayanya (seleranya),” ungkapnya.
Fransiskus Widayanto menjelaskan tentang seni keramik yang sebenarnya dari dulu sudah populer sebagai kebudayaan Indonesia. Seni keramik menjadi bagian dari sejarah bangsa indonesia. “Mencari akar budaya itu penting, menemukan, dan melahirkannya kembali untuk menghasilkan kerajinan,” katanya.
Sementara itu, Nurul Akriliyah risau dengan banyaknya orang Indonesia mengutuk Malaysia, karena dianggap mencuri kebudayaan Indonesia, sementara mereka sendiri lupa dengan seni budaya Indonesia.
Menanggapi semakin banyaknya orang Indonesia memakai batik, sebagai seniman batik Nurul mengaku senang sekaligus kecewa. Sebab, batik yang banyak dijual dan dipakai sebenarnya bukan batik asli tapi batik hasil cetakan (printing).*
Published in