Anakronisme Pelarangan Buku

Komando Distrik Militer 0809 Kediri mengamankan ratusan buku tentang Partai Komunis Indonesia (PKI) di sejumlah toko buku di Kediri pada Rabu, 26 Desember 2018. Sumber: Istimewa

Komando Distrik Militer 0809 Kediri mengamankan ratusan buku tentang Partai Komunis Indonesia (PKI) di sejumlah toko buku di Kediri pada Rabu, 26 Desember 2018. Sumber: Istimewa

Atmakusumah Astraatmadja 
Pengajar Lembaga Pers Dr. Sutomo

Banyak orang terperangah menyaksikan razia dan penyitaan 138 buku oleh tentara dan polisi di dua toko buku di Kediri, Jawa Timur, karena dicurigai berisi pandangan yang “terlarang” berupa “propaganda Partai Komunis Indonesia dan paham komunisme”. Buku-buku yang disita pada 26 Desember 2018 itu (Koran Tempo, 28 Desember 2018) termasuk karya filsafat dan sejarah yang ditulis oleh Bung Karno, Soe Hok Gie, H. Abdul Mun’in, dan D.N. Aidit yang sudah lama beredar di negeri ini.

 

Padahal nasib buku sekarang sudah sebaik media pers, yang tidak boleh diberedel dan disensor, setelah Mahkamah Konstitusi pada 2010 membatalkan Undang-Undang Pelarangan Barang Cetakan karena bertentangan dengan konstitusi. Seperti diumumkan oleh Mahfud Md., Ketua Mahkamah Konstitusi kala itu, pelarangan barang cetakan, termasuk buku, kini hanya dapat dilakukan melalui proses hukum dan diputuskan oleh pengadilan.

Media pers cetak pernah bernasib sama dengan buku karena sama-sama dianggap “isinya dapat mengganggu ketertiban umum”. Namun, nasib media pers cetak kemudian berubah total karena tidak lagi dapat disensor dan dilarang beredar sejak berlakunya Undang-Undang Pers 1999.

 

Perbedaan antara media pers cetak dan buku hanyalah pada bentuk atau formatnya. Adapun isi keduanya pada dasarnya tidak berbeda. Keduanya mengandung informasi dan pendapat. Dengan demikian, yang satu tidak lebih berbahaya daripada yang lain.

Selain itu, media pers cetak dikelola dengan tenggat yang sangat ketat sehingga isinya dapat “sangat instan” atau dangkal. Sedangkan isi buku pada umumnya jauh lebih dalam karena diproses dengan tenggat waktu yang jauh lebih fleksibel. Jadi, isi buku pada umumnya merupakan produk dari hasil renungan yang jauh lebih dapat dipertanggungjawabkan. Tidak sedikit pula dari terbitan buku, termasuk yang pernah dilarang beredar, merupakan hasil penelitian selama bertahun-tahun, sehingga akurasi isinya dapat lebih dipercaya daripada laporan pers cetak.

Dari segi pengaruh, pers cetak jauh lebih luas pengaruhnya daripada buku karena tiras media cetak dapat mencapai puluhan sampai ratusan ribu eksemplar, sedangkan tiras buku hanya beberapa ribu eksemplar. Harian Kompas, misalnya, bertiras sampai 500 ribu eksemplar atau lebih. Sedangkan terbitan buku di negeri kita rata-rata hanya sekitar 2.000 sampai 5.000 eksemplar. Hanya ada sejumlah kecil terbitan buku yang pernah dicetak 10-50 ribu eksemplar dalam setahun.

Larangan terhadap peredaran buku tidak pernah efektif dalam situasi politik apa pun, termasuk 10 tahun terakhir masa Orde Lama dan 30 tahun pemerintahan otoriter Orde Baru. Pada masa Orde Lama, misalnya, novel Senja di Jakarta karya Mochtar Lubis hanya dapat diterbitkan di luar negeri dalam bahasa Inggris, Twilight in Jakarta, dan dalam bahasa Melayu. Buku-buku karya Pramoedya Ananta Toer beredar luas di negeri kita pada masa Orde Baru meski dilarang beredar oleh Kejaksaan Agung. Karya Pramoedya itu menjadi bacaan wajib bagi para mahasiswa jurusan sastra di Malaysia. Salah satu novelnya yang diterbitkan di Malaysia memasang foto Wakil Presiden Adam Malik di halaman kulit belakang dan komentarnya yang memuji karya Pramoedya. Dengan demikian, publik di negara-negara lain justru lebih beruntung karena dapat lebih cepat dan lapang memperoleh pengetahuan tentang alam pikiran yang sedang berkembang di Indonesia.

Masyarakat kita sendiri seolah-olah sedang terisolasi di negeri asing dari perkembangan intelektual di Tanah Air-nya sendiri. Sebaliknya, masyarakat di negara-negara lain lebih beruntung karena lebih paham sejarah Indonesia daripada bangsa kita sendiri.

Kalau sekarang masih ada pelarangan terhadap peredaran buku, tindakan itu sudah anakronistis atau ketinggalan zaman. Ini seperti komentar John Roosa ketika bukunya, Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto, dilarang beredar oleh Kejaksaan Agung: “Sekarang tahun berapa, ya? Apakah Soeharto masih berkuasa?” (Koran Tempo, 03 Januari 2019).

Published in Berita LPDS