Palembang (ANTARA News) – Atmakusumah Astraatmadja, Pengajar Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS), menegaskan bahwa kebebasan pers yang telah dirasakan di Indonesia telah membuktikan bahwa ketakutan terhadap pers bebas selama ini sama sekali tidak beralasan.
“Kenapa mesti takut dengan kebebasan pers, ‘toh setelah pers benar-benar bebas sampai sekarang ini, tidak ada sesuatu sangat buruk terjadi di negeri kita ini,” kata Ketua Dewan Pengurus Voice of Human Rights (VHR) News Centre sejak 2005 itu, di Palembang, Sumatra Selatan (Sumsel), Selasa.
Atmakusumah pada lokakarya khusus untuk wartawan itu menanyakan, adakah bangsa ini menjadi terpuruk atau hancur dan kacau balau karena pers yang bebas serta demokrasi yang makin tumbuh berkembang.
“Kalau pun ada letupan akibat penerapan demokrasi dan kebebasan pers yang keliru, hanya kasus per kasus saja, seperti terjadi di Sumatra Utara yang lalu,” ujar dia.
Menurut peraih sejumlah penghargaan jurnalistik internasional atas perjuangan mendorong kebebasan pers di Indonesia itu, wajar saja dalam iklim pers yang bebas (freedom of the press) kemudian tumbuh pula pers yang buruk dari segi kualitas dan profesionalisme, selain pers yang baik dan terpercaya.
“Itu konsekuensinya dan sangat wajar terjadi, di antara pers yang baik dimana pun akan terdapat pula pers yang buruk, dan juga ada saja wartawan yang kurang baik dan tidak profesional,” ujar dia pula.
Namun, semua itu nanti akan menghadapi seleksi alam dan tuntutan dari masyarakat yang juga kian pintar dan kritis serta berani.
“Pers yang bebas, mahasiswa dan aktivis yang juga mendapatkan kebebasan berekspresi dan menyampaikan aspirasi,, merupakan keharusan bagi demokrasi, untuk dapat mendorong bangsa ini menjadi semakin cerdas, matang, dan maju,” kata Atmakusumah pula.
Menurut mantan Direktur Eksekutif Lembaga Pers Dr Soetomo/LPDS (1994-2002) dan Ketua Dewan Pers (2000-2003) ini, tuntutan bagi masyarakat yang demokratis dan terbuka memerlukan pers yang bebas dan profesional.
“Mereka yang takut dengan kebebasan pers adalah mereka yang tidak ingin demokrasi tumbuh sehat, serta tidak menghendaki masyarakat menjadi lebih cerdas dan kritis,” ujar wartawan dan kemudian Redaktur Pelaksana Harian Indonesia Raya (1968 – 1974) serta pernah pula menjadi wartawan/redaktur Kantor Berita ANTARA ini pula.
Oleh karena itu, menurut penulis sejumlah buku tentang kebebasan pers dan jurnalisme ini, kebebasan pers harus terus dipertahankan, dilindungi dan dipelihara bersama-sama, termasuk oleh para wartawan itu sendiri.
Atmakusumah berada di Palembang, untuk menjadi salah satu narasumber pada Lokakarya Peliputan Investigatif APBD dan Pelayanan Publik, diselenggarakan LPDS dengan UNESCO, di Hotel Horison Palembang.
Narasumber lainnya adalah wartawan LKBN ANTARA yang juga Direktur Eksekutif LPDS, Priyambodo RH, pegiat Indonesia Corruption Watch (ICW) Danang W, Dekan Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya (Unsri), Prof Amzulian Rifai, dan praktisi pers dari Harian Sriiwijaya Post Sutrisman Dinah.
Lokakarya itu diikuti belasan wartawan senior serta pimpinan media massa cetak elektronik di Palembang, bertujuan mendorong peran para jurnalis dan media massa di daerah ini agar lebih kritis dan objektif menelusuri praktik korupsi dan penyalahgunaan wewenang oleh pejabat daerah.
Sejumlah indikasi penyimpangan anggaran di Sumatra Selatan diungkapkan ICW, dan menantang para wartawan/media massa setempat untuk menelisik atau menginvestigasi lebih lanjut.
Prof Amzulian juga menekankan peran sentral media massa untuk terus menyoroti pelaksanaan kebijakan publik di daerah ini, agar tidak terjadi diskriminasi dan penyelewengan di lapangan. (*)
Published in