Jakarta (Berita LPDS) – Bangsa Indonesia semakin jauh dari akar kebudayaannya. Padahal, bangsa yang tercerabut dari akarnya sedang menuju kehancuran. Kebudayaan belum dianggap sebagai kekayaan yang luar biasa. Seharusnya, nilai-nilai kearifan yang ada di setiap budaya lokal diajarkan dan dikembangkan. Bahasa Indonesia juga semakin tersingkir dari sekolah-sekolah modern.
Pendapat tersebut disampaikan Christine Hakim saat menjadi narasumber diskusi Afternoon Tea: Semangat Indonesia, Kebangkitan Kebudayaan Nasional di Jakarta, Jumat, (21/05/2010). Diskusi serial bulanan (Diserbu) ini digelar oleh Metro TV, PT Djarum, dan Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS). Sujiwo Tejo (budayawan) dan Pribadi Sutiono (Kementerian Luar Negeri) turut hadir sebagai narasumber.
Christine Hakim menemukan sejumlah sekolah yang berbiaya mahal menempatkan bahasa Indonesia sebagai bahasa ketiga setelah bahasa Inggris dan Mandarin. Pilihan tersebut menurutnya sangat mengkhawatirkan. “Ini masalah yang serius dan ini sebuah penghinaan terhadap para pendiri negeri ini,” katanya.
Ia menambahkan, setiap tahun bahasa Indonesia diperingati sebagai bahasa pemersatu bangsa. Para pendiri bangsa berjuang untuk menyatukan Indonesia ke dalam satu bahasa. Saat ini, hanya karena alasan ekonomi dan komersial, sejumlah sekolah menganggap bahasa Indonesia tidak penting.
Bahasa merupakan ekspresi budaya. Karena itu, orang yang sejak kecil hanya diajarkan bahasa luar negeri dengan mengesampingkan bahasa Indonesia, akan sulit mengekspresikan budaya mereka kepada orang lain. “Kita tidak hanya perlu belajar sejarah tapi yang lebih penting menghargai sejarah,” tegas aktris dan produser film yang sukses menjadi pemeran utama film Cut Nyak Dhien ini.
Sujiwo Tejo mengemukakan, hanya sedikit orang Indonesia yang sadar kalau Indonesia memiliki banyak local wisdom yang dapat dikembangkan menjadi ilmu pengetahuan. “Sehingga kita memiliki ilmu pengetahuan yang berkembang,” katanya.
Ia mencontohkan, dulu orang menebang pohon bambu pada waktu subuh. Sekarang hal itu dianggap klenik. Padahal, setelah diteliti ternyata pada waktu pagi pohon bambu mengeluarkan cairan tertentu yang lebih rendah sehingga setelah ditebang bambu itu dapat lebih awet. “Ini hasil penelitian berdasar local wisdom. Semestinya kita meneliti punya sendiri,” ungkapnya.
Pribadi Sutiono melihat promosi kebudayaan Indonesia ke luar negeri belum fokus. Saat ini provinsi saling bersaing melakukan promosi ke luar negeri. Padahal, promosi kebudayaan sebaiknya tidak berdasar daerah.
Strategi kebudayaan menurutnya penting tapi jangan menjadikan kebudayaan sebagai komoditi. Kebudayaan adalah jiwa. “Kalau kita bisa melihat strategi kebudayaan secara menyeluruh, bukan hanya dagang, itu yang lebih baik. Memang kelihatannya agak sulit tapi sebenarnya tidak. Orang bisa membeli batik tapi tidak akan bisa membeli jiwanya batik,” tegasnya.
Ia melihat ada apresiasi yang tinggi dari negara lain terhadap budaya indonesia. Misalnya, sejumlah penjara di Inggris mengajarkan gamelan kepada “penghuninya.” Kebudayaan merupakan alat yang paling efektif untuk mempengaruhi orang tanpa paksaan. “Orang menikmatinya tanpa merasa terancam,” katanya.
Published in