(Sumber: majalah Tempo)
Majalah Tempo edisi 2-8 Februari 2009 memuat hasil wawancara dengan Ketua Mahkamah Agung yang baru, Harifin A. Tumpa. Wawancara tersebut, antara lain, menyajikan tiga pertanyaan soal pers. Berikut potongan wawancaranya:
Anda mengeluarkan surat edaran tentang kewajiban saksi ahli dari Dewan Pers dalam perkara pers. Apa pertimbangannya?
Kebebasan pers itu harus dijamin. Sebab, dengan kebebasan pers, demokrasi akan tumbuh dan berkembang dengan baik serta kondusif. Karena itu kami berharap para hakim di daerah mulai menggunakan Undang-Undang No. 40/1999 tentang Pers dalam setiap perkara pers. Saya teken surat edaran itu sesudah saya jatuh… (tertawa kecil). Saya minta, bila ada delik pers atau sengketa pers, hakim diminta mendengarkan saksi ahli dari Dewan Pers. Anggota Dewan Pers paling mengetahui teori dan praktek berkaitan dengan Undang-Undang Pers dan kebebasan pers. Jadi, mereka harus dianggap paling kompeten.
Bukannya surat edaran itu tidak mengikat hakim, bahkan tidak ada sanksi bagi hakim yang mengabaikannya?
Surat itu sifatnya petunjuk, sehingga tidak ada sanksi. Tapi harus dilaksanakan oleh pengadilan tingkat bawah. Biasanya, surat yang dikeluarkan Mahkamah pasti dipatuhi. Mahkamah memang tidak bisa mengikat hakim. Hakim itu independen, mempunyai kebebasan memutus perkara. Tetapi, yang diupayakan Mahkamah adalah membuat putusan-putusan yang akan bisa jadi patokan atau yurisprudensi yang akan dilihat hakim di bawahnya. Seperti beberapa kasus perdata Tempo, juga kasus pers lainnya.
Artinya, Mahkamah bisa sepakat bahwa Undang-Undang Pers merupakan lex spesialis?
Mahkamah berpendapat bahwa Undang-Undang Pers merupakan undang-undang yang prima. Artinya, harus didahulukan. Tapi tidak bisa dikatakan lex spesialis , karena yang bisa dikatakan lex spesialis bila dalam undang-undang itu ada sanksi pidananya. Sedangkan dalam Undang-Undang Pers yang sekarang sanksi pidana itu tidak ada. Makanya, dalam beberapa pertemuan saya dengan organisasi wartawan, saya minta agar Undang-Undang Pers direvisi, sehingga tidak terjadi polemik berkepanjangan. Revisi ini, artinya, semua yang menyangkut pers diatur di situ. Ada ketentuan pidana juga, menyangkut mereka yang merasa dirugikan bila terjadi penghinaan atau pencemaran nama baik. Dalam ketentuan pidana itu harus diatur kapan dan tahapan apa yang harus dilalui sebelum seseorang menjadi terdakwa kasus pidana pers. Kalau itu diatur terperinci, tidak hanya akan membantu pers, tapi juga hakim. Misalnya, seseorang tidak dapat diajukan sebelum dia menggunakan hak jawab.
(Sumber: majalah Tempo, 2-8 Februari 2009)
Published in