ANTARA Foto Pilpres 2014

Kompetensi Wartawan dalam Pemberitaan Pemilu

Oleh Priyambodo RH *)

ANTARA Foto Pilpres 2014

Redaksi perusahaan pers nasional sepanjang tahun 2014 agaknya tidak akan kehabisan bahan berita menarik, karena paling tidak akan ada dua pesta demokrasi di negeri ini –pemilihan umum (Pemilu) legislatif dan Pemilu Presiden– serta perhelatan Piala Dunia di Brazil.

Apalagi, pers nasional kian berkembang pesat seiring dengan semakin tingginya harapan publik untuk memperoleh informasi. Perkembangan ini sangat erat kaitannya dengan era reformasi di bidang hukum, terutama Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, serta kemajuan teknologi informasi sekaligus kemampuan manajemen pers menghadapi tantangan zaman.

Dalam lima tahun terakhir ini, Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS) dan juga Bidang Multimedia Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) memiliki temuan bahwa pers nasional secara umum dapat dibagi atas tiga posisi besar, yakni:

1. Ikut menentukan pendapat publik (public opinion), yang secara manajemen telah menerapkan sistem multimedia dari sisi teknologi, multitasking dari sisi kinerja wartawan, multiplatform dari alur kerja semua unit pemberitaan, dan multichannel dari sisi kelompok media massanya. Manajemen pers di kelompok ini menjadi penentu pasar (market driven) dalam perolehan iklan dan penetrasi pelanggan (pembaca, pendengar, pemirsa, dan pengakses). Manajemen pers di kelompok ini juga menempatkan prioritas pendidikan dan pelatihan menjadi hal utama baik bagi wartawan maupun karyawan lainnya.

2. Mengikuti pendapat publik, yang secara manajemen masih menerapkan sistem alur pemberitaan hanya mengikuti keinginan masyarakat dan kurang mengutamakan agenda peliputan atas inisiatif mandiri. Manajemen pers di kelompok
ini lebih mengutamakan untuk berupaya mendapatkan iklan dan pembaca di tengah semakin kerasnya persaingan dan kebebasan publik menentukan seleranya. Namun, manajemen pers di kelompok ini kurang menempatkan prioritas pendidikan dan pelatihan menjadi hal utama bagi wartawan dan karyawan lainnya.

3. Menjaga eksistensi, yang secara manajemen lebih mengutamakan mencari perhatian publik. Manajemen pers di kelompok ini sering kali disebut hanya mencoba bertahan hidup (survive), bahkan hanya mencoba mencari peluang dengan mengatasnamakan kebebasan pers. Hanya saja, manajemen pers di kelompok ini kurang menempatkan prioritas pendidikan dan pelatihan sebagai hal utama bagi wartawan dan karyawan lainnya.

Sementara itu, Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS), seperti halnya Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dalam kegiatannya di berbagai wilayah Indonesia juga memiliki temuan bahwa manajemen pers nasional seperti di atas membuat wartawannya
dapat dibagi dalam empat posisi, yaitu:

1. Wartawan dari media massa yang menjadi penentu pendapat publik dan penentu baik pasar maupun pangsa pasar iklan, serta sering mendapat pendidikan dan pelatihan, agar kompeten.

2. Wartawan dari media massa yang menjadi penentu pendapat publik dan penentu baik pasar maupun pangsa pasar iklan, namun kurang mendapat pendidikan dan pelatihan secara berkesinambungan sehingga kompetensinya kurang berkembang.

3. Wartawan dari media massa yang menjadi pengikut pendapat publik, dan hanya menjaga eksistensinya, tanpa pernah mendapatkan pendidikan dan pelatihan sehingga memerlukan pendidikan dan pelatihan berkelanjutan untuk mengembangkan kompetensinya.

4. Wartawan dari media massa yang belum kompeten sehingga sangat memerlukan pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan kompetensinya.

Kompetensi wartawan dalam hal ini berpijak dari Peraturan Dewan Nomor 1/Peraturan-DP/II/2010 tentang Standar Kompetensi Wartawan dengan hirarki sebagai berikut:
standar kompetensi wartawan

Berkaitan dengan penerapan Standar Kompetensi Wartawan yang ditetapkan Dewan Pers pada 2 Februari 2010, Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS) yang menjadi lembaga uji kompetensi wartawan pertama berdasarkan keputusan Dewan Pers menemukan kecenderungan sebagai berikut:

1. Masih banyak wartawan kompeten (setelah mengikuti uji kompetensi wartawan) yang bekerja di media belum sejahtera. Standar kesejahteraan ini berdasarkan Peraturan Dewan Pers Nomor 4/Peraturan- DP/III/2008 tentang Standar Perusahaan Pers yang sebelumnya sudah disahkan konstituennya pada 6 Desember 2007 yang mencantumkan aturan antara lain a.) Perusahaan pers wajib memberi upah kepada wartawan dan karyawannya sekurang-kurangnya sesuai dengan upah minimum provinsi minimal 13 kali setahun; b.) Perusahaan pers memberi kesejahteraan lain kepada wartawan dan karyawannya seperti peningkatan gaji, bonus, asuransi, bentuk kepemilikan saham dan atau pembagian laba bersih, yang diatur dalam Perjanjian Kerja Bersama; c.) Perusahaan pers wajib memberikan perlindungan hukum kepada wartawan dan karyawannya yang sedang menjalankan tugas perusahaan.

Selain itu, Standar Perlindungan Profesi Wartawan yang disahkan Dewan Pers pada 25 April 2008 pada bagian terakhir (poin ke sembilan) mencantumkan aturan “Pemilik atau manajemen perusahaan pers dilarang memaksa wartawan untuk membuat berita yang melanggar Kode Etik Jurnalistik dan atau hukum yang berlaku”.

2. Masih ada wartawan yang bekerja di perusahaan pers sejahtera sesuai Standar Perusahaan Pers dan Standar Perlindungan Profesi Wartawan yang ditetapkan Dewan Pers, ternyata belum kompeten saat menjalani uji kompetensi wartawan. Jenjang wartawan yang belum kompeten ini meliputi wartawan muda yang kesehariannya menjalankan liputan pemberitaan, dan wartawan madya yang kesehariannya mulai melakukan koordinasi mengatur liputan wartawan maupun proses penyuntingan (editing) berita, serta wartawan utama yang kesehariannya sebagai pemegang kebijakan utama dalam proses pemberitaan.

3. Semakin banyak wartawan kompeten yang bekerja di perusahaan pers sejahtera. Hal inilah yang tentu saja diharapkan dapat mengutamakan kepentingan publik, karena publik yang cerdas memerlukan multimedia massa yang cerdas yang juga diawaki para wartawan cerdas. Bertolak dari temuan dan sekaligus kenyataan posisi media massa nasional dan kinerja wartawan berdasarkan Standar Kompetensi Wartawan tentu saja sangat terkait erat dengan kepentingan publik. Publik dalam pengertian anggota masyarakat secara individual, dalam kelompok tertentu, termasuk kalangan dunia usaha. Oleh karena itu, publik —baik secara individu maupun kelompok— sering kali menilai bahwa perkembangan media massa nasional sudah memenuhi fitrahnya menjalani kebebasan, tetapi belum sepenuhnya memenuhi kode etik jurnalistik sebagai bukti kompetensinya.

Walaupun demikian, publik —juga baik secara individu maupun kelompok— masih banyak yang belum memahami tugas pokok dan fungsi pers, terutama sebagai lembaga pengawas sosial (social control) untuk kepentingan publik secara lebih luas. Hal
ini memerlukan mekanisme melek media (media literacy), yakni berbagai cara untuk memahami kinerja pers yang meliputi baik media massa maupun kinerja wartawannya.

Publik belakangan ini juga semakin sering mempertanyakan sejauh mana posisi wartawan dalam pemberitaan berkaitan dengan Pemilu 2014?

Perdebatan seputar independensi pemberitaan politik, terutama peliputan Pemilu 2014 juga mencuat dalam mailing list Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS) yang melibatkan ratusan alumninya.

Berdasarkan diskusi di mailing list LPDS berkaitan dengan Pemilu 2014, maka setidak-tidaknya dapat dipetakan kecenderungan posisi wartawan, yakni:
1. Ada wartawan yang karena kebijakan redaksi perusahaan persnya, maka yang bersangkutan ditugasi meliput salah satu atau beberapa partai politik, termasuk peliputan kegiatan ketua umum partai.
2. Ada wartawan yang menyebut “atas nama hak politiknya”, maka yang bersangkutan ikut menjadi simpatisan partai politik tertentu. Di kelompok ini ada pula yang kemudian menjadi anggota (kader aktif) partai politik.
3. Ada wartawan yang mengakui secara terbuka (dan ada pula yang menjalaninya tanpa pernah mengakui) bahwa terlibat sebagai bagian dari tim sukses partai politik. Bahkan, ada pula yang menjadi spin doctors di partai politik, terutama bagi kepentingan ketua umumnya. Pengertian bebas spin doctors dalam hal ini adalah wartawan sebagai individu yang memiliki kemampuan menguasai publik, menggerakkan massa dan menguasai media sekaligus sebagai konseptor politik yang bertujuan mempengaruhi.
4. Ada wartawan yang juga menjadi pengurus partai politik.
5. Ada wartawan yang setelah melalui tahap kecenderungan pertama (1) hingga keempat (4) menjadi calon legislator di tingkat daerah maupun nasional.
6. Ada wartawan yang secara langsung, tanpa melalui tahap kecenderungan pertama (1) hingga keempat (4), menjadi calon legislator di tingkat daerah maupun nasional.
7. Ada wartawan yang setelah melalui tahap kecenderungan pertama (1) hingga keempat (4) menjadi calon kepala/wakil kepala daerah. Di antara mereka ada yang berhasil menjadi kepala/wakil kepala daerah.
8. Ada wartawan yang ,tiba-tiba saja‖ terlihat menjadi calon independen kepala/wakil kepala daerah. Di antara mereka ada yang juga berhasil menjadi kepala/wakil kepala daerah.

Kecenderungan semacam itu sebenarnya sudah berlangsung cukup lama, dan zaman Orde Baru banyak pula wartawan yang menjadi anggota MPR/DPR melalui jalur partai politik ataupun utusan golongan.

Organisasi profesi wartawan sejak reformasi 1998 ada yang membuat ketentuan khusus menyangkut posisi wartawan (catatan: tentu saja yang menjadi anggota organisasi bersangkutan) dalam partai politik.
Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) sebagai organisasi profesi wartawan Indonesia tertua, didirikan 9 Februari 1946, dengan sekira 14.000 anggota pada akhir 2013, dalam Peraturan Dasar/Peraturan Rumah Tangga (PD/PRT)-nya Pasal 20 ayat dua (2) menyebutkan: “Pengurus PWI di Pusat maupun di Provinsi dan Kabupaten/Kota tidak boleh merangkap jabatan pengurus partai politik dan organisasi yang terafiliasi serta lembaga struktural di pemerintahan.”

Adapun Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dalam satu pasal Angaran Rumah Tangga (ART)-nya termuat: “Anggota AJI bukan pegawai negeri dan tidak boleh jadi pengurus partai politik.”

Ketua Dewan Pers Bagir Manan dalam acara puncak Hari Pers Nasional (HPN) 2014 di Bengkulu, yang dihadiri Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, menyampaikan deklarasi yang pada intinya menekankan pers Indonesia harus selalu mengedepankan
kepentingan masyarakat di atas kepentingan apa pun dan siapa pun, dan harus membantu masyarakat mengenali rekam-jejak peserta pemilihan umum dan para calon pemimpin yang akan dipilih tanpa mengurangi kebebasan rakyat menentukan
pilihannya sendiri.

Selain itu, deklarasi tersebut menorehkan catatan demi menjaga martabat dan integritas pers yang independen dan fair, pers Indonesia harus dapat menahan diri dan mengenal batas dalam mengampanyekan para pemiliknya yang terjun ke dunia politik, serta pers Indonesia harus menjadi wasit dan pembimbing yang adil, menjadi pengawas yang teliti dan seksama terhadap pelaksana dan peserta pemilu.

Deklarasi tersebut mencantumkan pula bahwa pers Indonesia harus tetap mempertahankan komitmen dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih dengan terus-menerus mengawasi jalannya pemerintahan dan memberitakan segala bentuk penyalahgunaan kekuasaan seperti kasus-kasus korupsi, tanpa mengesampingkan asas praduga tak bersalah, prinsip akurasi, keberimbangan berita dan tidak menghakimi; dan pers di provinsi maupun kabupaten/kota secara nyata harus berperan sebagai
penggerak demokrasi dan pembangunan di daerah, serta tidak sekadar menjadi peniru atau kepanjangan tangan dari pers yang berpusat di Jakarta.

Sebagai tindak lanjutnya, Dewan Pers mengeluarkan Surat Edaran Nomor 02/SE-DP/II/2014 Tentang Independensi Wartawan dan Pemuatan Iklan Politik di Media Massa. Surat Edaran yang ditandatangani Ketua Dewan Pers, Bagir Manan, pada 24 Februari 2014 ini mendorong komunitas pers untuk tetap menjaga integritas dan martabat pers sebagai pranata publik yang independen.

Wartawan dalam tataran industri media di Indonesia dalam sepuluh terakhir ini kompetensi juga semakin tertantang karena memperlihatkan kecenderungan menerapkan konvergensi.

Janet Kolodzy berpendapat: “Budaya pemberitaan tidak dapat berubah secara mudah. Studi menunjukkan bahwa organisasi pemberitaan adalah salah satu lembaga yang paling resisten terhadap perubahan. Konvergensi mengundang wartawan untuk
mengembangkan kebiasaan terhadap pekerjaan mereka. Akan tetapi, kebiasaan lama sulit matinya.”

Janet Kolodzy menganggap dirinya “berturut-turut konvergen” karena lebih dari 20 tahun bekerja di surat kabar dan televisi dan berkecimpung dalam media siber, sebelum bergabung dengan fakultas jurnalisme di Emerson College, Amerika Serikat (AS) pada 1998. Selama 11 tahun ia di bekerja di CNN dan CNN Internasional sebagai penulis, penyunting berita, produser, dan produser senior. Setiap musim panas ia menghabiskan waktunya bekerja di CNN.com.

Salah satu dampak dari konvergensi multimedia massa yang dihadapi wartawan Indonesia –yang berbeda dengan wartawan di sejumlah negara industri maju, seperti AS, Uni Eropa, Jepang dan Korea Selatan— masih menghadapi hambatan kesejahteraan
berkaitan dengan belum mendapat insentif berkaitan dengan berita yang dibuatnya digunakan oleh media lain dalam kelompok bisnis perusahaan persnya.

Selain itu, para penguji kompetensi wartawan dari Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS) maupun Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) banyak mendapatkan informasi dari wartawan peserta uji bahwa redaktur, bahkan pemimpin redaksi, akan menolak berita bila tidak ada unsur tragis, tidak ada cerita dan gambar mayat dan darah. Adagium sex, crime, war and disaster (seks, kriminalitas, perang dan bencana alam) agaknya masih mendominasi daya tarik peliputan pers. Apalagi, masih cukup banyak wartawan yang menganggap ―ada darah‖ membuat nilai berita lebih tinggi.

Namun demikian, semakin banyak pula wartawan media cetak maupun media siaran (radio dan televisi) dan media siber yang memahami bahwa berita bertema sex, crime, war and disaster tetap dapat diberitakan tanpa mengeksplotasi unsur tragis dengan menghadirkan darah, dan tidak menabrak privasi dari nara sumber yang dilanda kemalangan layaknya korban perang, bencana alam atau bahkan perkosaan. Wartawan Jepang memberitakan tsunami 11 Maret 2011 yang tetap bernilai jurnalisme tinggi tanpa mengekspoitasi darah dan air mata.

Beranjak dari telaah Henry Jenkins III dalam buku Convergence Culture terbitan New York University (NYU) Press (ISBN-10: 0814742955 dan ISBN-13: 978-0814742952) mencatat bahwa dalam perusahaan pers yang menerapkan konvergensi multimedia
menemui kenyataan yang sangat menarik dan kompleks. Kekuasaan informasi tidak semata-mata dari pengelola multimedia  massa, namun publik selaku pengakses informasi juga dapat ikut menentukan ke mana alur informasi diarahkan dan wartawan
dikerahkan peliputannya.

Kata kunci “publik selaku pengakses informasi juga dapat ikut menentukan ke mana alur informasi” jauh-jauh hari telah menjadi telaah Djamaluddin Gelar Datuk Maradjo Sutan (1904-1967) yang lebih dikenal dengan nama Adinegoro.

Dalam buku Falsafah Ratu Dunia terbitan Balai Pustaka Jakarta pada 1949, Adinegoro banyak menekankan pentingnya pers senantiasa dengan publiknya. “Yang terpenting untuk bentukan anggapan umum ialah pertalian rohani antara pers dan
masyarakat,” catatnya di halaman 31 buku itu.

Jauh sebelum Internet ditemukan, konsep Web 2.0 dimanfaatkan, dan media jejaring sosial berseliweran, Adinegoro sudah menekankan pentingnya hubungan pers dan publiknya dalam membentuk anggapan umum (opini publik/public opinion).

Bahkan, jauh sebelum adanya organisasi massa menyerbu kantor perusahaan pers lantaran jengkel atas pemberitaannya, Adinegoro pun sudah menorehkan catatan dalam Falsafah Ratu Dunia: “Pers dilahirkan dan dibesarkan oleh masyarakat, dibesarkan, tetapi juga bisa dirubuhkan oleh masyarakat.”

Ia juga mengibaratkan hubungan pers dan masyarakat, serta pemerintah. “Bulan diibaratkan seperti pers dan bumi sebagai masyarakat, sedang pemerintah adalah ibarat matahari yang mempengaruhi sepenuhnya pers dan masyarakat itu.” Dengan kata lain, Adinegoro jauh-jauh hari sudah mengingatkan bahwa pemerintah yang gagal mempengaruhi kehidupan pers dan masyarakat, maka gagal pula fungsi kepemerintahannya.

Dalam
posisi inilah, wartawan dituntut lebih mengetahui kewajibannya. “Wartawan harus mengetahui bahwa kebaikan bagi satu golongan atau partai atau perkumpulan dalam masyarakat. Di sini terletak salah satu kewajiban bagi wartawan, pandai mengenali perbedaan antara kepentingan seseorang, dan kepentingan umum,” demikian Adinegoro.

Adapun Jenkins menelaah konvergensi multimedia massa menciptakan kebudayaan baru lantaran arus isi pesan pemberitaan berhamburan datang dengan berbagai aplikasi di sarana kerjanya. “Konvergensi adalah kata untuk menggambarkan perubahan
teknologi, industri, budaya dan sosial yang datang bersama-sama dari industri yang sebelumnya terpisah (komputasi, dicetak, film, audio, dan sejenisnya) yang semakin menggunakan teknologi yang sama atau terkait dan pekerja terampil,” catat Jenkins.

Perusahaan dan penerbitan pers yang menerapkan konvergensi multimedia pada gilirannya harus menerapkan pola yang dalam industri disebut “komunikasi komitmen kerja sama kompensasi”. Hal ini berkaitan dengan kinerja wartawannya memerlukan
kompetensi multitasking, yakni harus berpikir cepat, mengajukan pertanyaan secara cepat, meringkas permasalahan liputan menjadi informasi layak siar sekaligus layak jual juga secara cepat.

Selain itu, wartawan harus mampu mengantisipasi perkembangan beritanya secara cepat pula. Seiring dengan unsur kecepatan, wartawan multitasking dituntut harus mampu menyajikan berita secara akurat dan lengkap, walau disajikan menggunakan pola berkelanjutan ibarat lari maraton (running news) layaknya kinerja di kantor berita.

Manajemen pemberitaan multimedia massa tentu saja diharapkan publiknya untuk tidak sekadar menyajikan berita secara cepat, namun harus pula akurat dan lengkap pada saat bersamaan. Manajemen pemberitaan harus menyajikan informasi yang sahih, yakni menyajikan fakta, wawancara dan data jurnalistik.

Wartawan dan publik juga memerlukan panduan tambahan guna mengetahui nilai berita berdasarkan analisa isi berita, antara lain melalui mekanisme menguji pemberitaan yang sahih secara jurnalistik atas dasar Fakta, Wawancara Nara Sumber Kredibel dan Kapabel, serta Kelengkapan Data.
Fakta narsum data

Bagi masyarakat bila berkeinginan mengajukan jawaban dan hak koreksi atau ralat terhadap pemberitaan, maka “keterangan kotak” seperti di samping juga dapat dimanfaatkan. Setiap berita (juga informasi sekecil apa pun) dapat ditelaah atas dasar: sudah tepat dan akuratkah Faktanya, Narasumbernya (juga keterangan maupun komentar), dan Datanya.

Pasal 1 ayat 11 UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers mencatat: “Hak Jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.”

Adapun Ayat 12 dalam pasal yang sama mencatat: “Hak Koreksi adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.” Sedangkan, Ayat 13 dalam pasal yang sama mencatat: “Kewajiban Koreksi adalah keharusan melakukan koreksi atau ralat terhadap suatu informasi, data, fakta, opini, atau gambar yang tidak benar yang telah diberitakan oleh pers yang bersangkutan.”

Kemampuan wartawan dalam menyajikan opini dengan berbagai kiatnya seperti itulah yang agaknya membuat dunia jurnalistik senantiasa tidak pernah berhenti untuk berlogika sehingga publik pun menanti kehadirannya. Ini pula yang menjadi tantangan besar bagi petugas humas profesional bila menghadapi pers.

Dalam kaitan ini pula para pemangku kepentingan pers nasional, terutama Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), perlu memayungi pelaksanaan Standar Kompetensi Wartawan guna meminimalkan pelanggaran Kode Etik Jurnalistik (KEJ) dan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS).

Apakah ini semua sudah cukup untuk melindungi kepentingan publik?

Bisa jadi belum apa-apa, karena para pemangku kepentingan pers, sekali lagi dengan melibatkan Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia beserta komunitasnya harus pula memberikan perhatian lebih kepada publik melalui kegiatan melek media (media literacy).

Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization, UNESCO) dalam Konferensi Hari Kebebasan Pers Dunia pada 3 Mei 2010 di Brisbane, Australia, bahkan mencantumkan hak berinformasi menjadi salah satu bagian deklarasi bagi anggotanya.

“To promote media literacy and awareness about the right to information, including through incorporating these topics into school curricula and higher education courses, and training programs for civil services.” (Menggalakkan melek media dan kesadaran mengenai hak untuk berinformasi, termasuk mencantumkan topik ini ke kurikulum sekolah dan kursus di pendidikan tinggi, serta program pelatihan bagi kalangan pegawai negeri). Demikian salah satu butir Deklarasi Brisbane UNESCO 2010.

UNESCO, yang beranggotakan 193 negara dan tujuh asosiasi multinasional, untuk kesekian kalinya menegaskan pentingnya kemerdekaan berekspresi dan kebebasan pers. Namun, UNESCO kali ini menekankan pula tidak kalah pentingnya peran
baik negara maupun pers untuk hadir lebih dekat kepada publiknya melalui program kegiatan melek media (media literacy).

Kegiatan melek media juga menjadi hal penting bagi publik untuk mengetahui sekaligus mendidik mereka memperoleh maupun membuat informasi yang sahih. Anggota masyarakat kini kian mudah membuat klaim dirinya sebagai wartawan warga (citizen
journalist
) melalui blog-nya, bahkan berkelompok dalam komunitas media jejaring social (social media).

Kolodzy menegaskan bahwa di tengah derasnya informasi melalui media siber, jejaring sosial, blogger, dan klaim citizen journalist, maka hal paling mudah untuk mengetahui karakter jurnalisme media bersangkutan hanya dengan satu cara:
“Sudahkah menerapkan kode etik jurnalistik?”

Kode etik jurnalistik adalah kata kunci untuk memahami karakter pers yang dunia bisnisnya menerapkan sistem multimedia yang melibatkan wartawan multitasking (melakukan berbagai jenis pekerjaan), multiplatform (berperan serta di berbagai unit kerja), dan multichannel (distribusi produk melalui berbagai saluran). Hal ini berlangsung pula di Indonesia jelang reformasi 1998, antara lain melalui gagasan Sistem Cetak Jarak Jauh (SCJJ) yang dilakukan sejumlah kelompok bisnis media massa.

Oleh karena itu pula, UNESCO menempatkan melek media (media literacy) sebagai kesadaran publik untuk mendapatkan haknya berinformasi. UNESCO berkeinginan agar topik ini masuk ke kurikulum sekolah dan pendidikan tinggi, kursus bagi
masyarakat umum, dan pelatihan bagi kalangan pegawai negeri.

Apalagi, deklarasi tersebut menekankan pula kekuatan dari teknologi, informasi, dan komunikasi (TIK atau information, communication, technology/ICT) yang harus dibarengi hak publik untuk berinformasi dan mengembangkan kemajemukan
dalam berbagai arus informasinya, termasuk informasi bermuatan kekerasan traumatis bukan dari multimedia massa, namun dari berbagai sarana berbasis Internet.

Alhasil, penerapan standar kompetensi wartawan dan program melek media sudah bukan wacana lagi, namun kita semua sebagai pemangku kepentingan pers nasional harus mewujudkannya! (*)

*) Priyambodo RH adalah direktur eksekutif Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS); anggota komisi pendidikan dan pendataan Dewan Pers; ketua bidang multimedia Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat; wartawan utama/ombudsman multimedia Kantor Berita Antara.

Published in Berita LPDS