Publik Harus Waspada

Jakarta, Kompas – Seluruh elemen masyarakat sipil diminta waspada terhadap kemungkinan disahkannya Rancangan Undang-Undang Rahasia Negara sebelum masa pemerintahan atau masa kerja legislatif periode tahun 2004-2009 berakhir.

Menurut anggota Komisi I dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), Djoko Susilo, Senin (29/6), sangat disayangkan masih banyak kalangan masyarakat sipil, seperti media massa, jurnalis, organisasi profesi wartawan, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM), bersikap adem ayem dan seolah sama sekali tidak “ngeh”.

“Jangan sampai setelah ada kasus seperti Prita kemarin orang baru terbelalak dan terkaget-kaget, lalu mengajukan penolakan keras. Padahal saat UU ITE itu diproses tidak ada orang yang memerhatikan sehingga aturan itu bisa dengan mudah lolos,” ujar Djoko.

Ketika kasus Prita muncul, menurut Djoko, publik terperangah. “Lho kok sepertinya tak pernah tahu UU itu atau kapan membahasnya?” ujar Djoko.

Menurut Djoko, masyarakat patut lebih berhati-hati mengingat ada banyak pasal dalam RUU Rahasia Negara (RN) ini yang pada praktiknya nanti akan lebih membebani subyek hukum, dalam hal ini masyarakat, ketimbang pemerintah. Dalam sejumlah pasalnya dimungkinkan seseorang atau korporasi dijatuhi hukuman pidana atau denda berat lantaran sekadar menerima atau memperoleh sesuatu yang dikategorikan rahasia negara.

“Jadi seperti wartawan atau media massa, dengan hanya mendapatkan informasi berkategori rahasia negara saja tanpa perlu memublikasikannya, bisa dipidana dengan RUU RN itu. Namun, pengelola rahasia negara malah hampir tidak akan kena masalah,” ujar Djoko.

Dihubungi terpisah, Wakil Ketua Dewan Pers Leo Batubara membenarkan bahayanya memberikan “cek kosong” kepada pemerintah, terkait peraturan pemerintah untuk melaksanakan RUU RN jika nanti disahkan.

“Kita ini (kalangan pers) sebetulnya sangat kaya pengalaman jika berurusan dengan pemerintah dalam kasus seperti ini. Pada masa Orde Baru, dalam UU Pokok Pers tidak ada itu yang namanya bredel. Akan tetapi, dalam PP atau Peraturan Menteri, SIUPP bisa dicabut,” ujar Leo.

Hal serupa, menurut Leo, bisa juga terjadi pada RUU RN, di mana keberadaan aturan perundang-undangan menjadi tidak berdaya dan justru dilemahkan oleh sebuah PP. Dengan alasan itulah, Dewan Pers menolak UU Pokok Pers diatur lebih lanjut melalui PP. (DWA)

Sumber: Kompas, Selasa, 30 Juni 2009

 

Published in Berita LPDS