lpds-at-riau

Wartawan Sumatra dan Kalimantan liput pascabencana api di Riau

lpds-at-riauPekanbaru (LPDS News) – Nenas itu jalan keluar jangka pendek. Tanaman hutan seperti jelutung dan pelawan itu solusi jangka panjang. Bencana api melanda lima kabupaten dan satu kota Riau Februari – Maret 2014.

Sebanyak 1.234 titik api dideteksi awal Maret. Seluas 21.900 hektare gambut kering hangus. Nilai kerugian ditaksir Rp 15 triliun. Rp 150 miliar dihabiskan untuk tindak penanggulangan dipimpin Presiden RI sendiri di lanud TNI–AU Rusmin Nurjadin di Pekanbaru, ibukota Provinsi Riau.

Sembilan wartawan berbagai media di Sumatra dan Kalimantan dan dua dosen Universitas Riau sebagai peserta tamu telah turun ke lapangan di Desa Tanjungleban, Kabupaten Bengkalis, untuk meliput kebakaran, dampak dan jalan keluarnya. Sebelum kebakaran di Bengkalis lahan gambut secara luas telah dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit dan pohon akasia.

Pemicu kebakaran diduga ialah pembersihan lahan gambut dengan dibakar untuk ditanami bibit sawit. Tetapi pembakaran itu tak terkendali karena tanah kering dan tiupan angin keras dan tak menentu. Kebakaran gambut kering menimbulkan asap dan emisi karbon sehingga mengganggu kesehatan dan meningkatkan risiko pemanasan global.

LPDS menyelenggarakan Lokakarya Meliput Perubahan Iklim dengan kunjungan kawasan di Riau 30 Mei – 4 Juni dengan kerja sama kedutaan Besar Norwegia. Pada 30 Mei, hari pertama lokakarya di Pekanbaru, kesebelas peserta memperoleh paparan  Dr Haris Gunawan, direktur Pusat Studi Bencana dan direktur Pusat Studi Gambut Tropis, Universitas Riau. Ia berbicara tentang  musibah api tersebut dan kaitannya dengan perubahan iklim.

Haris juga menjelaskan peran satuan tugas STBA, Solusi Tuntas Bencana Asap. STBA ini dibentuk Universitas Riau 3 Maret untuk mencari dan menerapkan jalan keluar dari perspektif akademis agar bencana api tak terulang. Ketua Satgas STBA adalah rektor UR Ashaluddin Jalil  dan Haris adalah sekretaris.

Kemudian Arifudin, SP, MP, ketua Program Studi Agribsnis UR, menguraikan dampak kebakaran terhadap kehidupan sosial-ekonomi warga Dusun Bukitlengkung di Desa Tanjungleban. Dusun Bukitlengkung menderita kebakaran lahan dan hunian penduduk secara signifikan.

Pada hari kedua dan ketiga, peserta lokakarya terjun ke lapangan di Desa Tanjungleban, Kecamatan Bukit Batu. Mereka menempuh perjalanan mobil empat jam ke arah utara dari Pekanbaru.

Peserta pecah menjadi dua kelompok. Kelompok A meninjau dan bertemu dengan warga Dusun Bukitlengkung dengan dipandu Arifudin. Kelompok B ke Dusun Bakti untuk meninjau lahan uji  dalam mana Universitas Riau memfasilitasi penanaman tujuh jenis pohon hutan bernilai komersial pengganti kelapa sawit.

Di Bukitlengkung Kepala Dusun Aswanto menjelaskan, para warga yang menderita lahan sawitnya  terbakar masih mau mengandalkan kelapa sawit sekalipun sadar sawit itu rentan terhadap kebakaran. Ia juga mengatakan kantong-kantong air dibangun untuk menanggulangi kebakaran.

Dalam pertemuan terpisah . Kepala Desa H. Atim mempromosikan penanaman nenas. Nenas mudah ditanam dan bisa dipanen dalam satu tahun. Buah ini laku di pasar dan tahan api karena ketebalan daunnya, kata kepala desa. Atim menanam 12.000 bibit nenas seluas 50 x 50 meter di halaman belakang rumahnya.

Sementara itu, kelompok B dalam panduan Haris Gunawan menuju lahan uji  tanaman hutan seluas 2  1/2  hektare milik Muhammad Nur, seorang guru SD.  Pak Nur mengaku ia rela lahannnya dijadikan lahan uji karena sudah berkali-kali kelapa sawit di lahan itu hangus terbakar.

Lahan tersebut asalnya merupakan lahan gambut yang dikeringkan untuk ditanami sawit. Sekarang lahan itu dilembabkan kembali dengan membuat bendungan di kanal di sisi kiri dan kanan lahan. Karena kanal selebar 3 meter itu disekat tumpukan karung  berpasir, maka permukaan air kanal naik sehingga air diserap tanah di bantaran kanal. Air tanah ini menghidupi tujuh tanaman hutan di lahan uji.

Tujuh tanaman itu ialah meranti (berguna untuk bahan bangunan), bintangor (biji untuk biodiesel), geronggong (bahan plafon rumah), jelutung (getah untuk permen bonbon), mempisang kayu (bahan perabot rumah tangga), ramin (bahan perabot mahal dan serpihan untuk getah), pelawan (kayu keras untuk hulu kapal).

Pak Nur mengaku masa panennya 10 tahun setelah ditanam. Tetapi tujuan utama penanaman itu ialah untuk memelihara pohon-pohon hutan tersebut supaya tetap dikenal generasi muda.  Lebih jauh, Haris bervisi lahan uji ini bisa jadi percontoAN bagi seluruh Desa Tanjungleban, Riau dan Indonesia untuk menghijaukan kembali lahan gambut kering dan mengurangi emisi karbon.

Selesai liputan di lapangan, para peserta kembali ke Pekanbaru. Mereka mendapat tugas menulis  temuan mereka dalam feature interpretatif minimum 600 kata dan feature profil minimum 400 kata. Selama dua hari, setiap peserta secara bergilir memaparkan feature interpretatifnya.  Peserta sebaya  memberi komentar terutama apakah penulisan lead, alinea pertama naskah, sudah efektif.

Tiga mentor lalu memberikan saran mereka: Warief Djajanto Basorie dan Maskun Iskandar, keduanya pengajar LPDS, dan Muhammad  Hapiz, redaktur rubrik Liputan Khusus Harian Riau Pos.

Hapiz sudah turun ke lapangan sebelumnya. Laporan panjang Hapiz tentang  bencana api di Bukitlengkung dimuat 2 Maret 2014: Mimpi hasil kebun yang nyatanya api.

Judul feature interpretatif peserta lokakarya sebagai berikut:

1. Zuli Laili Isnaini Habib (Lulu), dosen Antropologi, Universitas Riau, kelompok A, Mengais Untung, Berujung Buntung.
2. Yudistira, Berita Satu TV, Medan, kelompok B, Bangkit dari Bencana di Titik 268 Km.
3. Fajar Fahruddin, Infokaltim.com, Samarinda, A, Nahas di Dusun Lengkung.
4. Dian Emsaci, Kabar Aceh, Banda Aceh, B, Lahan Bekas Kebakaran Disulap Jadi Kebun Kayu.
5. Musdalifah Rachim, Harian Radar Tanjab, Kota Jambi, A, Bukit Lengkung Nasibmu Kini.
6. Ima Maya Isna, RRI Palembang, B, Menggapai Asa di Lahan Gambut.
7. Cholid Trisubagiyo, Hr Tabengan, Palangkaraya, B, Menahan Air di Kubah Gambut Riau.
8. Yashinta, Hr Batam Pos, Batam, B, Bencana Api di Negeri Melayu, Menyeret Ember Menghapus Luka.
9. Aries Munandar, Hr Media Indonesia, Pontianak, A, Puntung Masih Menyisakan Bara.
10.Firmansyah, Kompas.com, Bengkulu, A, Bolak Balik Mengebut Asap di Kampung Pak Belalang.
11.Arneliwati, dosen Keperawatan, Universitas Riau, A, Bernapas dalam Kepungan Asap. (*)

 

Keterangan foto:
Peserta kunjungan kawasan di Riau dari kiri ke kanan: Yudistira (Berita Satu TV, Medan), Yashinta (Harian Batam Pos, Batam), Musdalifah Rachim (Harian Tanjab Jambi, Jambi), Arneliwati (Keperawatan, Universitas Riau), Ima Maya Isna (RRI Palembang), Dian Emsaci (Kabar Aceh, Banda Aceh), Zuli Laili Isnaini Habib (Antropologi Universitas Riau), Fajar Fahruddin (Infokaltim.com, Samarinda), Firmansyah (Kompas.com, Bengkulu), Cholid Trisubagiyo (Harian Tabengan, Palangkaraya), Aries Munandar (Media Indonesia, Pontianak).

Published in ClimateReporter