PERTANYAAN?:
Di dalam UU No.40/1999 tentang Pers disebutkan “Pers wajib melayani Hak Jawab.” Apakah ini berarti pers harus selalu memuat Hak Jawab yang diajukan kepadanya?
JAWABAN:
Hak jawab dari subjek berita yang merasa dirugikan oleh pemberitaan dan hak koreksi dari publik terhadap kekeliruan informasi dalam media pers harus dihargai oleh wartawan. Tetapi, soal penyiarannya merupakan hak prerogatif redaksi. Redaksi dapat menolak hak jawab jika penyiarannya diperkirakan dapat mengakibatkan tuntutan hukum dari pihak ketiga terhadap media pers tersebut. Atau, hak jawab itu berkepanjangan dan tidak terfokus pada persoalan yang perlu ditanggapi. Kemungkinan lain ialah karena bahasanya sulit dimengerti atau tidak etis.
Setelah mendengarkan penjelasan ‘narasumber Pemerintah,’ akhirnya Komisi I DPR (saat pembahasan RUU Pers tahun 1999-red) mengubah kalimat ‘Pers wajib memuat hak jawab’ dan ‘Pers wajib memuat hak koreksi’ menjadi �Pers wajib melayani hak jawab� dan ‘Pers wajib melayani hak koreksi.’
Seorang anggota Komisi I DPR menjelaskan bahwa pergantian kata-kata ‘wajib memuat’ menjadi ‘wajib melayani’ berarti hak prerogatif redaksi dalam tradisi media pers tetap dihormati. Yaitu, soal penyiaran hak jawab, seperti juga hak koreksi, diserahkan sepenuhnya kepada pertimbangan redaksi. Tetapi, subjek berita sebagai pengguna hak jawab juga perlu dihormati dengan memberikan ‘pelayanan’ kepadanya untuk mempertimbangkan kemungkinan penyiaran hak jawab tersebut.
Sebagai salah seorang ‘narasumber Pemerintah,’ saya sampai sekarang sebenarnya tidak begitu yakin apakah para penegak hukum akan memberikan penafsiran yang tepat –sesuai dengan penjelasan anggota Komisi I DPR itu– tentang arti ‘melayani’ dalam kedua ayat pada pasal 5 UU Pers. Apalagi dalam penjelasan UU ini hanya dikatakan bahwa kedua ayat itu ‘cukup jelas.’
UU itu, yang di sana-sini ‘dipagari’ dengan sejumlah ketentuan etika pers untuk �mengerem� kebebasan pers, disetujui oleh DPR pada 13 September 1999 dan disahkan oleh Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie sepuluh hari kemudian, 23 September 1999.*
(Pendapat Atmakusumah ini termuat dalam tulisan berjudul ‘Hak Jawab Diatur Pemerintah?’ yang dipublikasikan harian Kompas, 26 Juni 2007)
Published in