Wina Armada Sukardi Bicara Etika Pers

Jakarta Pusat — Wina Armada Sukardi, kelahiran Jakarta pada 19 Oktober 1959, dikenal sebagai tokoh penting dalam hukum dan etika jurnalistik di Indonesia. Lulusan Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini pernah menjabat anggota Dewan Pers selama dua periode (2004-2010), memimpin Komisi Hukum dan Perundang-Undangan, serta menjadi Sekjen PWI Pusat (2003-2008), yang memperkokoh perannya di dunia jurnalistik.

Dalam wawancara bertajuk “Upaya Wartawan agar Tetap Setia pada Kode Etik Jurnalistik” pada 19 November 2024, Wina menguraikan pemikirannya tentang tantangan dan peluang dunia pers, sembari menekankan pentingnya integritas, profesionalisme, dan ketaatan pada hukum serta kode etik jurnalistik.

Wina memulai pemikirannya dengan menekankan bahwa teknologi digital hanyalah alat, bukan substansi dari dunia pers itu sendiri. Ia menguraikan evolusi media dari masa ke masa, mulai dari masa cetak hingga era digital saat ini.
“Dulu, informasi disampaikan lewat daun atau kulit, kemudian beralih ke mesin cetak yang dapat memproduksi ratusan ribu eksemplar dalam sehari. Lalu muncul televisi, radio, hingga media online dan sekarang podcast,” jelasnya. Namun, bagi Wina, perkembangan alat komunikasi ini tidak serta-merta mengubah esensi jurnalistik. “Substansinya tetap sama. Pers harus menyesuaikan dengan teknologi, tetapi prinsip-prinsip jurnalistik tidak boleh berubah.”

Ia juga menyinggung pentingnya penguasaan teknologi oleh wartawan, terutama untuk menunjang kualitas pemberitaan. Dari penggunaan kamera hingga ponsel dengan kapasitas besar, teknologi mempermudah pekerjaan jurnalistik. “Namun, wartawan harus tetap memegang prinsip akurasi, keseimbangan, dan etika. Teknologi hanya alat, bukan inti dari jurnalistik itu sendiri,” tambahnya.
Wina menyoroti dua prinsip utama yang menjadi dasar kebebasan pers freedom of expression (kebebasan berekspresi) dan freedom of press (kebebasan pers). Kedua prinsip ini memiliki aturan hukum yang berbeda.
“Kebebasan berekspresi adalah hak setiap individu, tetapi tetap dibatasi oleh hukum, seperti larangan penghinaan dan pencemaran nama baik. Sedangkan kebebasan pers memiliki aturan tambahan berupa kaidah jurnalistik, seperti keharusan memberitakan secara berimbang, akurat, dan tidak menghakimi,” jelasnya.

Ia juga menjelaskan bahwa pers yang mematuhi kode etik jurnalistik dilindungi oleh Undang-Undang Pers. Sebaliknya, konten kreator atau pengguna media sosial yang tidak mengikuti kaidah jurnalistik akan tunduk pada hukum umum, seperti UU ITE dan KUHP. “Mereka boleh berekspresi, tetapi jika tanpa verifikasi dan hanya mengejar sensasi, mereka akan menghadapi konsekuensi hukum.”
Salah satu tantangan terbesar dalam dunia pers modern adalah menemukan keseimbangan antara idealisme dan tuntutan komersial. Wina menegaskan bahwa keduanya tidak saling bertentangan.
“Kompas, misalnya, dulu meraih keuntungan hingga satu miliar rupiah per hari tanpa menggadaikan idealisme. Artinya, keuntungan dan idealisme dapat berjalan beriringan,” katanya.

Namun, ia mengkritik tren clickbait yang sering mengorbankan akurasi demi mengejar perhatian pembaca. “Dulu, 5W1H menjadi standar utama. Sekarang, bagian yang tidak penting justru diutamakan demi algoritma. Jika seperti itu, sebaiknya pindah saja menjadi pedagang, bukan wartawan,” ujarnya tegas.
Wina menekankan bahwa wartawan harus menjunjung tinggi profesionalisme dalam setiap pekerjaan mereka. Hal ini dimulai dari ketaatan pada kode etik jurnalistik. “Menulis berita harus akurat dan berimbang, serta melalui proses verifikasi yang matang. Jika terjadi kesalahan, selama tidak ada niat buruk, itu dianggap sebagai kesalahan teknis yang dapat diperbaiki dengan mekanisme hak jawab,” ungkapnya.

Ia juga mengingatkan bahwa wartawan harus memahami prinsip-prinsip hukum, meskipun mereka bukan ahli hukum. “Hukum memberikan dasar formal untuk memastikan bahwa berita tidak melanggar hak orang lain. Jika kita sudah tunduk pada kode etik dan prinsip hukum, kemungkinan terjerat UU ITE atau pasal pencemaran nama baik akan sangat kecil.”

Ketika ditanya mengenai pernyataannya di masa lalu bahwa 80% wartawan belum membaca KEJ, Wina menjawab dengan jujur bahwa ia belum melakukan penelitian lebih lanjut. “Saya dulu melakukan penelitian ini dua kali, pertama ketika menyusun skripsi dan kedua saat menjabat di Dewan Pers. Namun, saat ini saya belum memiliki data baru untuk menilai apakah ada perubahan signifikan,” ujarnya.

Ia mengungkapkan bahwa hasil penelitian sebelumnya menunjukkan kurangnya pemahaman wartawan terhadap KEJ, bahkan di masa reformasi, ada yang beranggapan bahwa KEJ hanya membatasi kebebasan pers. “Dulu, ada pandangan bahwa KEJ itu ketinggalan zaman dan tidak relevan. Padahal, KEJ adalah fondasi untuk menjaga profesionalisme dan integritas jurnalistik,” tegasnya.
Wina menambahkan bahwa penelitian lebih lanjut diperlukan untuk memahami kondisi terkini. “Bisa saja kondisinya lebih baik, tapi jangan-jangan malah sebaliknya, mengingat tren saat ini banyak wartawan yang lebih fokus pada kecepatan daripada ketepatan informasi,” katanya
Terkait dengan Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999, Wina menilai bahwa undang-undang ini masih relevan. “Prinsip-prinsip utamanya, seperti larangan sensor dan kewajiban mematuhi kode etik, masih sesuai dengan kebutuhan zaman,” katanya.

Namun, ia mengakui bahwa beberapa aspek teknis perlu diperbarui untuk menjawab tantangan baru di era digital. Meski demikian, ia mengingatkan agar proses revisi dilakukan dengan hati-hati. “Kita harus waspada agar perubahan undang-undang tidak justru melemahkan kemerdekaan pers.”
Sebagai penutup, Wina memberikan pesan penting bagi wartawan muda “Ikuti kata hati. Jika Anda ingin menjadi wartawan, lakukan dengan sepenuh hati. Wartawan adalah profesi yang mulia, tetapi harus dijalani dengan totalitas dan integritas.”

Ia juga mengingatkan bahwa dunia jurnalistik menuntut pengorbanan. “Ketika saya memulai karier, saya tidur di kantor, bekerja tanpa kenal waktu. Tapi semua itu sepadan, karena jurnalistik bukan sekadar pekerjaan, melainkan profesi yang membutuhkan komitmen dan dedikasi penuh,” tutupnya. (Zahra A/magang PNJ)

Published in Berita LPDS