(Juli 2015)
INDUSTRI ekstraktif kelapa sawit selama ini dipandang menjadi bom waktu yang akan memonokulturkan hutan Kalimantan Barat. Namun, hal ini ditepis oleh Koperasi Produksi Rimba Harapan di Desa Merarai Satu, Kecamatan Sungaitebelian, Kabupaten Sintang. Yang istimewa, koperasi ini mengeluarkan aturan melarang anggotanya membakar lahan untuk membuka perkebunan kelapa sawit swadaya masyarakat. Hal lainnya, pohon kelapa sawit yang monokultur itu—istimewanya—bisa ditumpangsarikan dengan semangka, terong, bahkan sayuran. Bagaiman ceritanya? Berikut penelusuran yang saya lakukan selama dua hari.
Kendati masih pagi, sekira pukul 09.00, terik matahari menyengat hingga ke kulit epidermis. Saat itu saya tiba di Desa Merarai Satu menemui pimpinan Koperasi Produksi Rimba Harapan, Suratno Warsito.
Koperasi produksi dampingan World Wildlife Fund (WWF) dan Indonesia Program Kalimantan Barat ini memiliki keunikan. Salah satunya pola tidak membakar dalam membersihkan lahan.
Di koperasi ini hingga Mei 2015 terdapat 182 anggota yang telah bergabung dan menyetujui standar operasional prosedur penanaman sawit. “Kalau akan jadi anggota koperasi harus mengikuti semua aturan yang sudah dibuat, seperti tidak membakar lahan,”ungkap Sekretaris Koperasi Rimba Harapan, Maryono.
Sistem Tanpa Olah Tanah (TOT) menjadi jurus sakral yang wajib dipatuhi oleh semua anggota koperasi. Sistem ini dinilai membuahkan hasil yang baik dibandingkan dengan pola yang dilakukan oleh perusahaan perkebunan. Apalagi, persentase pupuk yang digunakan tidak lagi 100% kimia, melainkan 60% kimia dan 40% organik.” Kami mencoba menjaga alam dan meminimalkan penggunaan pupuk kimia. Menggunakan pupuk organik itu selain hemat dari sisi anggaran karena banyak di alam, juga menghasilkan tandan buah segar yang lebih baik,“ kata Maryono.
Tak jauh dari kantor koperasi tampak kaum ibu sedang mencangkul di pekarangan milik Suratno Warsito, Ketua Koperasi Rimba Harapan. Suratih (36), buruh tani, mengatakan bahwa pola tanam yang digunakan oleh pemilik lahan sudah hampir sepenuhya organik. Pupuk kimia yang digunakan hanya untuk satu kali pemberian. “Kalau menggunakan pupuk organik, cabe rawit ini tidak mudah berjamur, bahkan daun–daun yang mati bisa dijadikan pupuk kompos, dan hasil panennya juga banyak,”cetusnya.
Lahan yang ditanami cabe rawit ini seluas setengah kapling atau 1 hektar. Adapun lahan milik Suratno yang hampir 7 hektar tersebut dilakukan pembibitan kelapa sawit. Tampak bibit kelapa sawit yang jumlahnya ratusan sudah siap dijual dan dibagikan kepada anggota koperasi RH dan juga petani swadaya lainnya.
Suratih juga mengatakan bahwa pembayaran sebagai buruh tani senilai Rp45.000/enam jam. Jika sehari penuh (dua belas jam kerja) mereka dibayar Rp90.000. Mereka mengaku diajari langsung oleh Ratno untuk memanfaatkan lahan yang kecil, tetapi bisa digunakan untuk bermacam tumbuhan produksi. Selain itu pola penanaman ramah lingkungan dengan cara organik juga turut diajarkan dan diaplikasikan oleh buruh tani ini di pekarangan mereka.
Setelah berbicara dengan para buruh tani tersebut, saya pun bergegas menuju lahan yang diceritakan Maryono, yakni lahan sawit ramah lingkungan. Setiba di lokasi saya ditunjukkan oleh Sumantri, pengurus koperasi, adanya bentang lahan sawit pola organik tersebut. Sumantri menunjukkan buah sawit siap panen pola semi organik ini, serupa dengan buah sawit yang berumur 10 tahun ke atas. Sumantri meminta saya menebak, “Berapa umur pohon sawit ini? Ini baru 5 atau 6 tahun. Itulah efek pola organik. Tanah menjadi gembur, buah akan lebih besar, dan juga lebih hemat karena lebih murah.”
Dari lahan Sumantri saya kemudian menuju ke lahan percontohan (demontration plot atau demplot) yang dimiliki oleh Koperasi Produksi Rimba Harapan. Lahan ini memiliki luasan masing – masing 2 hektar. Lahan yang saya kunjungi milik anggota koperasi, Sutiono. Namun, ia tidak di tempat pada saat saya mengunjungi lahan sawit organik miliknya. Secara jelas bisa terlihat di bagian luar piringan tanah pohon kelapa sawit terdapat tandan kosong dan pelepah kering. Hal ini digunakan oleh para petani untuk menjadikan pupuk organik ketika pelepah pohon sawit dan tandan kosong ini membusuk.
Sumantri menjelaskan bahwa pembusukan pelepah dan tandan kosong mendorong pertumbuhan pohon sawit karena di dalamnya masih terdapat pupuk yang belum terurai. Ketika itu digunakan sebagai pupuk tambahan yang tidak perlu lagi menggunakan pupuk kimia.
Sumantri mengajak saya berkeliling demplot dan menunjukkan tidak ada satu pun lahan yang dibuka dengan dibakar. Kayu bekas dan tanaman liar dibiarkan membusuk agar menjadi pupuk kompos, sehingga pupuk alami telah tersedia ketika bibit yang berumur 6 bulan hingga 8 bulan ditanam.
Pola Tumpang Sari
Setelah berkeliling di demplot sawit ramah lingkungan, saya pun diajak ke kebun tumpang sari. Dalam benak saya, ini semakin aneh ketika pohon sawit ditanam berdampingan dengan terong, semangka, cabe rawit, dan tanaman hortikultura lainnya. Masih dengan rasa tidak percaya saya pun bergegas menaiki sepeda motor dan mengikuti jalan setapak yang dilalui oleh para pengurus koperasi rimba harapan ini.
Setibanya di kebun keanehan dalam pikiran saya pun kembali terjawab. Ada semangka di samping sawit. Sekitar beberapa detik saya pun tercengang dan terdiam, dengan pertanyaan, kok, bisa, ya, ada semangka subur dan berbuah besar di kebun sawit.
Maryono mengahampiri dan berkisah. “Pohon kelapa sawit ini sebenarnya bisa tumpang sari. Namun, usia tanamnya tidak lebih dari 4 hingga 6 tahun dengan diameter jarak antara satu pohon dan pohon sawit lainnya 9 meter. Sawit ini pun tidak perlu dipupuk karena sudah mendapatkan cukup nutrisi dari pupuk organik dan sedikit kimia dari tanaman tumpangannya, yakni semangka, cabe, terong, dan lainnya.
Menurut Maryono, lahan tumpang sari milik Sutiono ini sudah menghasilkan satu mobil SUV Kijang Innova dari penjualan semangka organiknya. Hal ini tentu menjadi salah satu prestasi ketika sawit dapat tumbuh berdampingan dengan tanaman lain, tetapi tetap menghasilkan ekonomi yang luar biasa. Tentu hal ini menjadi salah satu penularan intensifikasi pertanian yang bisa dilakukan kepada petani lainnya.
Selepas dari kebun milik Sutiono, saya pun menuju ke lokasi penjualan buah semangka yang dimiliki lelaki 45 tahun ini. Masih berkendara roda dua, sekitar 10 menit perjalanan ditempuh kami pun sampai di sana. Sutiono menyambut kami dengan belahan semangka yang menggugah selera. Warna merah dengan air yang cukup banyak membuat tenggorokan terbasahkan di tengah teriknya sinar matahari pukul 12.00 itu.
Seusai menyantap buah semangka Sutiono menjelaskan, “Saya ini seorang petani. Jadi, selain nanam sawit, juga harus bisa nanam sayuran. Maksudnya supaya selain sayurannya subur sawitnya juga bisa subur.”
Ditanya dari mana ia mendapatkan ilmu tersbut, Sutiono mengaku bahwa itu dari hasil uji coba sendiri. Menurutnya, pupuk kimia dapat dihemat dan lahan selama delapan tahun yang kosong bisa digunakan hingga pohon kelapa sawit tersebut rindang. Jadi, selama waktu itu penghasilan dari tanaman lain pun bisa dijadikan tambahan.
Hibah Lahan untuk Konservasi
Setelah mendengar cerita tumpang sari kami pun melangkahkan perjalanan menuju hutan konservasi yang dimiliki oleh Koperasi Produksi Rimba Harapan. Hutan konservasi ini dihibahkan oleh Suratno Warsito dengan alasan yang sederhana: agar anak cucu bisa melihat hutan dan binatang langka dilindungi. “Sebenarnya itu lahan sendiri. Dengan luasan tiga hektar lebih. Saya sengaja tidak menggarap jadi kebun sawit. Biarlah itu menjadi rumah bagi satwa-satwa yang ada di sekitar sini. Kasihan kalau semua jadi sawit, mau tinggal di mana mereka,” kata Suratno.
Hasil studi keanekaragaman hayati yang dilakukan WWF—Indonesia pada 2015 menyebutkan bahwa kawasan hutan konservasi hibahan Suratno ini berada di kawasan budi daya nonkehutanan atau areal penggunaan lain (APL). Di dalam kawasan ini ditemukan delapan jenis tumbuhan dari lima puluh famili dan dua jenis belum diketahui identitasnya. Sementara satwa tercatat sebanyak 27 jenis dari delapan belas famili. Dua di antaranya masuk dalam rekomendasi high conservation value (HSV) dan tentu memiliki potensi ancaman terhadap keberadaan satwa liar itu. Jenis satwa yang ada di dalam kawasan hutan konservasi hibah ini di antaranya monyet ekor panjang, trenggiling, sigung, landak, burung kacer kampung dan kacer hutan, dan masih banyak lainnya.
Suratno Warsito, pria 47 tahun, ini terkenal di lingkungannya, mulai dari Simpangpandan hingga ke seluruh penjuru Desa Merarai Satu. Soalnya selama sewindu terakhir ia mengampanyekan intensifikasi lahan dan memelihara lingkungan. Ratno menerapkan pola tumpang sari dan intensifikasi lahan kepada sesama warga transmigrasi yang belum juga sejahtera. Ia mengajak mereka membuka lahan untuk kebun sayur, buah–buahan dan karet, kemudian dilanjutkan dengan penanaman kelapa sawit.
Awalnya Suratno tergiur menyerahkan lahannya kepada PT SDK III Lyman Group untuk dijadikan plasma. Namun, semakin tahun pendapatan yang diharapkan tidak sesuai dengan pengeluaran. Hal ini membuat Ratno memutar otak untuk memulai menanam sendiri pohon kelapa sawit. Dari tahun ke tahun akhirnya keinginan pun terwujud.
Ratno kala itu hanya memiliki modal untuk membeli lahan bekas ladang berpindah seluas tiga hektar. Pembukaan lahan dilakukan dengan manual. Ia tidak menebas pohon di seluruh lahannya, kecuali lokasi yang akan ditanami sawit. Sisa–sisa tebasan lahannya ini dibiarkan membusuk untuk dijadikan pupuk.
Tak mau sukses sendiri, Ratno pun menularkan ilmunya kepada warga sekitar. Yang dimulai dari pola tumpang sari, tidak membakar lahan, hingga ujungnya membentuk Koperasi Produksi Rimba Harapan yang didampingi oleh WWF Indonesia–Program Kalimantan Barat.
WWF-Indonesia Program Kalimantan Barat bak malaikat yang hadir di tengah kerisauan para petani. Pasalnya hasil yang para petani peroleh sudah melebih 28 ton dari hanya beberapa hektar yang ada.
Ditemui di Pontianak, Munawir salah satu staf WWF Indonesia– Program Kalbar yang berkantor di Kota Sintang pun bercerita, “Tujuan lembaga ini sebatas ingin mendampingi petani kelapa sawit swadaya sekaligus membantu menerapkan praktik-praktik terbaik perkebunan kelapa sawit berkelanjutan. Praktik-praktik terbaik ini diindikasikan dengan teknik budi daya yang baik, ramah lingkungan, memperhatikan aspek sosial budaya, dan menguntungkan secara ekonomi.”
Akhirnya, 23 April 2014, para petani sawit swadaya Desa Merarai Satu bersepakat mendirikan Koperasi Produksi Rimba Harapan. Hadirnya WWF Indonesia –Program Kalbar bukan tak beralasan. Selain membantu mendampingi pembentukan koperasi, lembaga ini juga menebarkan “virus” ramah lingkungan. Hal ini, menurut Munawir, agar masyarakat tidak terpolakan pemikirannya hanya menanam satu jenis tanaman atau monokultur.
“Jika petani tidak mendapat pendampingan, dapat dipastikan kerusakan lingkungan akan sangat masif,” ucapnya.
Munawir bercerita bahwa hal ini harus menjadi semangat bagi semua pihak agar mengelola kawasannya yang ramah lingkungan. “Mari kita memberikan ruang bagi keanekaragaman hayati. Inisiatif seperti ini dapat menjadi model pengelolaan kawasan hutan, khususnya di areal perkebunan kelapa sawit swadaya,” ucapnya.
Semakin Ramah Lingkungan
Ketika saya sedang melihat-lihat lahan sawit ramah lingkungan milik Ratno, tiba-tiba datang Ambrosius Ala (50). Ala, warga di Kecamatan Tebelian, ingin bergabung menjadi anggota Koperasi Produksi Rimba Harapan. Ia ingin belajar tumpang sari dan sudah menyiapkan 15 hektar lahan untuk ditanami sawit swadaya.
Demikian juga Along, warga Desa Kenyabur Baru. Di rumah Along kami disambut sekitar sepuluh anggota kelompok tani yang ingin bergabung dengan koperasi RH. Along bercerita bahwa jumlah anggota kelompok tani ini sudah mencapai 40 orang. Semuanya bahu-membahu menyediakan lahan masing-masing seluas 1 hektar untuk dijadikan demonstrastion plot sawit ramah lingkungan. “Semua warga di sini ingin bergabung dengan koperasi karena sistemnya menguntungkan dan ramah lingkungan. Kami tidak ingin lagi menjadi petani plasma,” ungkapnya.
Menurut Kepala Desa Merarai Satu, Paimin (47), dalam wawancara terpisah mengatakan bahwa masyarakat Desa Merarai juga mempunyai keinginan yang sama. Mereka tidak mau menjadi petani plasma perusahaan perkebunan kelapa sawit. Akan tetapi, masalahnya belum ada titik temu antara warga dan perusahaan tersebut, walau sudah berkali-kali diusahakan,” katanya.
Sekaitan dengan itu dalam wawancara terpisah di Pontianak Bupati Sintang, Milton Crosby, mengatakan bahwa ia mendukung penuh atas apa yang dilakukan WWF Indonesia dengan pola pendampingan petani swadaya dan penanaman sawit ramah lingkungan.
Menurutnya, dengan bimbingan yang dilakukan WWF, masyarakat tidak lagi salah menafsir tentang yang dilakukan Pemerintah yang seakan dituduh membiarkan pembakaran lahan untuk membuka hutan. “Masyarakat juga butuh bimbingan dari pihak di luar pemerintah. Selama ini ‘kan sosialisasi yang dilakukan diakui belum maksimal. Misalnya saja, belum dipahami bahwa 50 meter, 100 meter hingga 500 meter dari sungai tidak boleh ditanami atau dibuka kebun. Hal itu memang harus dipatuhi dan sudah masuk dalam rencana tata ruang yang dibantu oleh WWF pembuatannya.”
Milton berharap bahwa apa yang sudah dilakukan, baik sawit ramah lingkungan, maupun tidak membakar lahan harus diakomodasikan dari desa dan dewan adat masing–masing. Jika itu sudah terlaksana dengan baik dan sudah teradministrasi dengan baik, maka Pemerintah akan menyiapkan formula yang tepat, apakah akan dibentuk regulasi atau bentuk duplikasi aturan yang akan ditularkan ke daerah lain.
http://www.rri.co.id/pontianak/post/berita/165086/daerah/ada_sawit_ramah_lingkungan_di_sintang.html
Published in