Oleh Musdalifah Rachim, Harian Pagi Radar, Kota Jambi,
peserta kunjungan kawasan ke Desa Tanjungleban, Riau, Juni 2014
NUN di ujung utara Negeri Lancang Kuning keberadaan Dusun Bukitlengkung dan Desa Tanjungleban, Riau, menjadi “mendunia” karena kebakaran pada 20 Februari 2014. Musibah itu sempat menjadi perhatian luas setelah ratusan hektar kebun sawit ludes dimakan api. Warga pemilik kebun “gigit jari”. Harapan masa depan hilang. Perekonomian di dusun ini hancur, padahal saat itu mereka sedang menunggu panen kelapa sawit.
Gerimis ringan baru saja turun. Udara lembab. Di bawah matahari yang tidak terik Ahad, 1 Juni, sembilan wartawan dari berbagai daerah di Indonesia mendatangi Dusun Bukitlengkung dan Desa Tanjungleban. Mereka tergabung dalam kelompok Wartawan Meliput Perubahan Iklim yang diprakarsai oleh Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS) di Jakarta dan Kerajaan Norwegia.
Kelompok ini menemukan suatu dinamika masyarakat agraris yang berbenturan dengan ancaman alam yang keras. Kondisi riil yang harus dihadapi masyarakat di sini pascakebakaran hebat adalah bagaimana membangun kembali perekomian yang telah “patah tulang”. Mereka tidak boleh putus asa, hidup dan kehidupannya harus terus berjalan. Para petani sawit ini umumnya warga “eksodus” dari Sumatera Utara.
Keberadaan mereka di sini, menurut informasi, tidak diakui oleh pemerintah setempat. Mereka adalah komunitas masyarakat yang sedang menderita, patut mendapat perlakuan kemanusiaan yang layak, sehingga mereka kembali dapat menata kehidupan perekonomiannya.
Kelompok wartawan ini dipandu oleh Ketua Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian Universitas Riau, Arifudin S. P., M. P., serta didampingi pemerhati lingkungan Zulilaili, M. A. yang juga staf pengajar di Universitas Riau. Mereka sengaja melakukan pengamatan di dusun dan desa tersebut guna mendapatkan informasi terbaru. Empat bulan lalu mereka melakukan hal serupa.
Direktur Pusat Studi Bencana Universitas Riau, Dr. Haris Gunawan, berbicara dalam lokakarya sebelum kunjungan. “Jelas, dampak bencana kebakaran sangat besar terhadap kondisi sosial ekonomi serta sendi kehidupan masyarakat, sehingga harus ada langkah-langkah yang komprehensif untuk mengatasinya,” ujar akademisi, peneliti, dan aktivis lingkungan serta relawan penanggulangan bencana daerah.
Mengapa Dinamakan Bukitlengkung?
Semula para wartawan menduga nama Dusun Bukitlengkung diambil dari kondisi tanah perbukitan yang bentuknya melengkung. Pendapat itu berubah setelah mendapat penjelasan dari Kepala Dusun Bukitlengkung, Azwanto (28).
“Yang membuka kampung ini Pak Asef, mertua saya. Dinamakan Dusun Bukitlengkung bukan karena bukitnya melengkung, melainkan orang-orang yang biasa mengambil rotan di hutan saat itu tubuhnya melengkung-lengkung menuruti bentuk rotan yang melengkung,” ungkapnya.
Menurut Azwanto, penduduk dusun yang dipimpinnya itu berjumlah 26 KK dan 126 jiwa. Warga Dusun Bukitlengkung rata-rata memiliki lahan tanaman sawit seluas 2 hingga 6 hektar.
”Oleh adanya kejadian tersebut kami berserah diri kepada Allah yang masih memberikan kami keselamatan. Masyarakat di dusun ini dievakuasi ke RT 9 saat itu. Setelah bencana tersebut kami harapkan pemerintah membantu bibit sawit. Selain itu pemerintah dan perusahaan-perusahaan hendaknya bekerja sama dengan masyarakat dalam penyediaan kantong-kantong air, alat-alat dan infrastruktur di desa ini bisa dibangun,“ ujar Azwanto.
Permasalahan warga Dusun Bukitlengkung pascakebakaran yang lebih mendasar adalah terjadinya kehancuran perekonomian masyarakat di dusun ini.
Kepala Desa Tanjungleban H. Atim mengemukakan persoalan senada. “Sebelum saya menjabat sebagai Kades kebakaran sudah sering terjadi di desa ini. Sekarang pun hutan sudah habis. Dengan kebakaran tersebut otomatis masyarakat penghasilannya berkurang,” ujarnya.
H. Atim menguraikan jalan keluar bagi warganya. “Kemiskinanlah yang terjadi. Kami dari aparat mengimbau warga untuk kembali menanam di bekas lahan yang pernah terbakar tersebut dengan menanam komoditas tanaman holtikultura yaitu tanaman nanas. Setiap masyarakat yang punya lahan 10 hektar ke atas harus membuat kantong-kantong air dan membentuk kelompok Masyarakat Peduli Api (MPA),” ungkap pria yang dilantik sebagai Kades pada 23 Mei 2013.
Kades menganjurkan bagi yang memiliki lahan yang terbakar hendaknya menanam nanas. Kenapa nanas? Tanaman nanas disebutnya sangat mampu bertahan dalam menghadapi api, sehingga berangkat dari keyakinan tersebut sang Kades ini percaya bahwa jika warganya beramai-ramai sebagai petani nanas bukan tidak mungkin desa ini ke depan bakal mampu terbebas dari kebakaran dan penghasilannya meningkat. Dalam hamparan luas lahan yang diharapkan bakal ditanam nanas tidak mudah titik api bertumbuh di lahan ini.
Direktur Pusat Studi Bencana Universitas Riau, Dr. Haris Gunawan, saat dimintai tanggapannya terhadap kebijakan Kades Tanjungleban untuk menggalakkan penanaman nanas di desa tersebut, sangat mendukung upaya tersebut. Menurutnya, nanas memang merupakan tanaman budidaya yang sangat potensial, baik sebagai komoditas maupun sebagai tanaman penjaga kerawanan tanah gambut.
Published in