Tanpa REDD Plus, Hutan Amal Pun Tetap Terjaga

Ayu Kesumaningtyas
Wartawan Harian Waspada di Medan, peserta MDK III Agustus 2015 dengan penugasan ke Sulawesi Tengah

(Catatan penulis: Pada 19 sampai dengan 27 Agustus, saya mendapat kesempatan mengikuti travel fellowship III dengan meliput daerah ketiga (MDK III) ke Palu, Sulawesi Tengah. Lokakarya yang merupakan kerjasama Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS) dan Kedubes Kerajaan Norwegia ini menitikberatkan pada topik perubahan iklim. Saya merasakan manfaat yang besar pada kesempatan ini, mengingat betapa pentingnya menjaga kelestarian hutan).

Jumat, 20 Agustus, pukul 16.00 WITA, penduduk Desa Ape Maliko menampakkan wajah sumringah. Hari itu warga Desa Amal sebutan untuk Ape Maliko merampungkan kegiatan menanam pohon nantu dan mahoni.

 

“Sekarang ini warga desa dilibatkan untuk menanam pohon yang dibagi dalam dua tahap.Pertama seluas 40 hektare dan tahap kedua 30 hektare. Penanaman dilakukan di lereng-lereng hutan,” kata Sofyan yang menjabat sekretaris Desa Amal Kec. Sindue, Kab. Donggala sejak tahun 2004.

 

Menuju Desa Amal memakan waktu tiga jam dari Kota Palu atau berjarak 50 km. Jalan menuju desa merupakan jalan setapak yang dikeraskan dengan pasir batu (sirtu). Meski kekeringan sangat terlihat jelas di Kota Palu dengan keadaan beberapa sungai besar yang tampak kering, justru kekeringan itu tidak terlihat di sini.

Tanaman terong yang ditanam di pekarangan rumah warga tumbuh subur. Suara gemericik air dari mata air masih jelas terdengar. Hembusan anginnya pun terasa segar. Berbeda dengan cuaca Kota Palu yang sangat panas di siang hari, di Desa Amal berada pada kondsi sebaliknya.

Cuacanya sejuk, bila malam hari sangat dingin. Meski  berada di pinggiran hutan yang semak belukar, saat sore menjelang maghrib tidak terdengar dengungan nyamuk.

Desa Amal memiliki luas 2.246 hektare yang dihuni 238 KK. Desa ini memiliki empat dusun. Setiap dusun memiliki satu kelompok hutan kemasyarakatan (HKM) yang beranggotakan 25 orang.

“Jadi ada empat kelompok yang seluruhnya berjumlah 100 orang. Kelompok ini mendapat bantuan dari Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Tengah dan pendampingan dari lembaga swadaya masyarakat Relawan Orang dan Alam (ROA) untuk mengelola hutan dan mejaga kelestariannya,” kata Sofyan.

Tahap awal memanfaatkan hutan, penduduk desa dibimbing untuk menanam jagung seluas 10 hektare dan berhasil dengan panen yang memuaskan. Kemudian berlanjut penanaman pisang raja, ambon dan tanduk seluas 39 hektare dan ini sedang berjalan,” ujarnya.

Selain itu, lanjut Sofyan, warga juga diberi pelatihan dan pemanfaatan tanaman kelapa, cengkeh, alpukat.

Sejak ada pembinaan dari Dinas Kehutanan dan ROA, tingkat gangguan hutan pun sangat kecil. Selaku Sekdes, Sofyan membuat aturan desa yang harus dipatuhi seluruh warga. Aturan membolehkan warga mengambil kayu dari hutan untuk keperluan membangun rumah atau merehab rumah dengan kewajiban harus menanam kembali pohon yang sudah ditebang.

Aturan tersebut juga membuat sanksi apabila warga melanggar, maka akan dilaporkan ke Dinas Kehutanan Provinsi dan tidak diijinkan mengelola hutan.

Untuk menegakkan aturan desa terkait dengan hutan, Sofyan menggunakan masjid sebagai tempat berkomunikasi.”Seusai shalat Jumat, kami berkumpul dan membicarakan hutan kami,” kata Sofyan yang didampingi istri dan Subarkah, pegiat lingkungan dari ROA.

Saat disinggung tentang REDD Plus, Sofyan mengaku tidak tahu. “Jika REDD Plus diartikan untuk menjaga kelestarian hutan, itu sudah kami lakukan sejak saya menjabat Sekdes di sini,” kata ayah tiga anak ini.

Kerja keras warga desa dalam menjaga hutan , kata pria yang masih tampak bugar di usia paroh baya ini telah membuahkan prestasi gemilang. Desa Amal meraih juara ketiga tingkat nasional kategori lingkungan lestari.

Bisnis Angin

Di tempat terpisah, dari diskusi ringan di kantor Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Palu, Iwan Lapasere, aktifis lingkungan dari Pantau REDD Plus mengibaratkan REDD Plus seperti bisnis angin.

“Bagaimana pola menghitungnya? Berapa yang akan diterima warga desa yang memiliki hutan? Apakah dihitung per meter kubik sesuai dengan luasnya hutan atau bagaimana?” tanya pria yang pernah bergabung di Pokja REDD Plus.

Iwan pun mengisahkan setelah memorandum of understanding (MoU) REDD Plus ditandatangani oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah dan lima pemerintah kabupaten pada tahun 2012, kini kelanjutannya masih sebatas persiapan di atas kertas. Meski, kata Iwan, kesepakatan bersama tersebut telah diperkuat dengan Peraturan Gubernur Sulawesi Tengah No. 37 tahun 2012.

Seharusnya kesepakatan bersama yang dibangun antara Pemprov Sulawesi Tengah dengan lima pemerintah kabupaten yakni Donggala, Sigi, Tojo Una-una, Toli-toli dan Parigi Moutang, sudah memasuki tahap implementatif. Namun keberadaan REDD Plus masih membingungkan masyarakat dan belum ada aksi yang dilakukan untuknya.

Reducing emissions from deforestation and forest degradation (REDD) Plus adalah upaya mengurangi emisi gas rumah kaca dengan mencegah deforestasi dan degradasi hutan. REDD Plus di Sulawesi Tengah masih sebatas persiapan di atas kertas.

Menurut Iwan, rencana tapak yang disebut-sebut di Desa Talaga Kec. Dampelas, Kab. Donggala dan Desa Toro Kec. Kulawi, Kab. Sigi hingga sekarang belum juga ditetapkan.

Sedangkan Subarkah mengusulkan pihak-pihak yang telah menandatangani kesepakatan bersama melakukan evaluasi, sehingga diketahui apa permasalahan dan kendala serta solusi yang akan dilakukan dalam mengimplimentasi REDD Plus untuk tahun-tahun mendatang.

Sementara itu dari bincang-bincang dengan Nuruddin, Kepala UPT Tahura di kantor Dinas Kehutanan Provinsi, ia mengaku belum mengetahui kelanjutan REDD Plus ke depannya.

Nuruddin yang pernah terlibat di Pokja REDD Plus pada awal MoU dengan UN REDD mengatakan pada 13 April 2014 telah ditandatangani MoU antara Badan Pelaksana REDD Plus dengan Pemprov Sulawesi Tengah.

Namun pada pelaksanannya ada benturan antara Dinas Kehutanan Provinsi dengan Satgas REDD Plus yang kemudian menjadi BP REDD Plus dan kini dilebur ke Kementrian Lingkungan Hidup.

Dan, sekarang ini tanpa REDD Plus pun tata kelola hutan dan penyempurnaan yang dilakukan terus menerus untuk menurunkan laju deforestasi, mengurangi degradasi hutan, meningkatkan konservasi hutan, meningkatkan penerapan pengelolaan hutan dan meningkatkan upaya penanaman hutan tetap dilakukan, ujarnya.

Dia menyebutkan program kerja tata kelola hutan Dinas Kehutanan Provinsi tetap berpedoman pada STRADA yang muatannya ada di RPJMD dan dukungan dananya diusulkan pada APBD.

Teks foto:


Sekdes Amal memperlihatkan kayu nantu berumur dua tahun yang banyak ditanam di pinggiran hutan desa. Waspada/Ayu

 

Published in ClimateReporter