Pemenang II Lomba MPI: Kampung Penuh Kotoran Sapi yang Kini Jadi Sentra Biogas

Oleh Firmansyah, kontributor Kompas.com di Bengkulu

Firmansyah pemenang II Lomba Meliput Perubahan Iklim LPDS/Kedutaan Besar Norwegia dengan perolehan nilai 252 dari jumlah nilai 300 yang mungkin diperoleh.  Tulisan ini dimuat kompas.com 1 Juli 2015 di http://regional.kompas.com/read/2015/07/01/12084681/Kampung.Penuh.Kotoran.Sapi.yang.Kini.Jadi.Sentra.Biogas?utm_source=WP&utm_medium=box&utm_campaign=Kknwp

—————–

BENGKULU, KOMPAS.com – “Kampung ini dahulunya penuh kotoran sapi bertebaran di tiap sudut, sekarang kotoran itu menjadi berkah untuk kami,” kata Subario, warga RT 08, RW 3, Jalan Jenggalu, Kelurahan Lingkar Barat, Kota Bengkulu. Subario adalah peternak sapi yang dipercaya sebagai Ketua Kelompok Peternak “Muara Dwipa”. 

Mengubah kotoran sapi menjadi berkah merupakan impian bagi puluhan kepala keluarga yang tinggal di kawasan tersebut. “Kami awalnya kerap malu dan bingung dengan banyaknya kotoran sapi di tempat kami ini, maklum kebanyakan penduduk di sini adalah peternak sapi, kalau ada tamu datang kami malu banyak kotoran sapi,” lanjut Subario.

Subario mengisahkan, sekitar lima tahun lalu, di tengah kekhawatiran masyarakat dengan banyaknya kotoran sapi di kampung mereka, maka datanglah ajuan pembuatan biogas dengan memanfaatkan kotoran sapi. “Programnya dari APBN, difasilitasi oleh Dinas Peternakan,” jelas Subario.

Terdapat 16 rumah tangga mendapatkan bantuan pengelolaan kotoran sapi menjadi biogas, program ini diluncurkan di daerah tersebut mengingat banyaknya sapi di kawasan itu. “Terdapat lebih dari 100 ekor sapi di sini,” kata Subario.

Sejak bergulirnya bantuan tersebut hingga kini, warga di kawasan ini kata Subario tak lagi bergantung pada gas elpiji dan kayu bakar. “Biasanya warga menggunakan kayu bakar atau elpiji, sekarang tak pernah lagi, cukup dengan biogas,” ungkap Subario sambil menghidupkan kompor gasnya.

Selain dimanfaatkan untuk menyalakan kompor, biogas juga dimanfaatkan untuk lampu penerang yang digunakan saat aliran PLN mati. Energi ini mampu membuat lampu bertahan hingga beberapa jam.

Cara kerja

Subario mengajak ke belakang rumahnya untuk memperlihatkan peralatan yang ia miliki. Terdapat satu fiber (tabung silindris dibuat dari fiberglass) berukuran besar, diapit dua bak semen berukuran 0,5 meter X 1 meter. Satu bak digunakan untuk memasukkan kotoran sapi ke dalam fiber sembari disiram air, dan kotak semen terakhir merupakan tempat pembuangan saat kotoran sapi telah digunakan.

Sementara fiber berguna untuk mengendapkan kotoran sapi menjadi gas. “Kotoran sapi yang biasa menumpuk setiap pagi di kandang, dibuat bak penampungan yang posisinya lebih rendah dari kandang sapi. Jadi, pagi hari saya tinggal semprot saja selang air ke lantai kandang sapi, kotoran pun berpindah ke bak penampungan,” kata dia.

Untuk satu gerobak sorong kotoran sapi dibutuhkan sekitar 100 liter air, setelah ditampung di bak penampungan kotoran tersebut diaduk menggunakan kayu dan didiamkan sekitar dua jam. Setelah itu, kotoran sapi akan berpindah ke tabung fiber dan menjadi gas. Gas pun dipakai untuk menyalakan api di kompor.

“Selama satu bulan membutuhkan 500 kilogram kotoran sapi, bayangkan ada 16 alat biogas di sini artinya membutuhkan delapan ton kotoran sapi, jadi wajar kotoran sapi sekarang sulit dicari di daerah sini,” kata Subario tertawa.

Menurut dia, empat kubik kotoran sapi bisa digunakan selama empat jam pemasakan. Gas dari kotoran itu akan semakin baik saat musim panas, matahari mempercepat proses pembuatan gas.

Mitigasi perubahan iklim

Dosen Fakultas Kehutanan, sekaligus peneliti perubahan iklim, Universitas Bengkulu, Gunggung Senoaji mengungkapkan,  laporan inventarisasi Gas Rumah Kaca (GRK) Provinsi Bengkulu Tahun 2014, melingkupi data aktivitas dalam tahun 2006 hingga 2013, menggambarkan peningkatan signifikan.

Pada tahun 2006, total emisi GRK mencapai 1.363,31 Gg CO2 eqivalen, dan meningkat menjadi 6.685,15 Gg CO2-e pada tahun 2013. Pada selang periode selama tujuh tahun telah terjadi peningkatan emisi GRK sebesar 5.321,84 Gg CO2-e atau 760,26 Gg CO2-e per tahunnya. (1 Gg atau gigagram setara 1.000 ton).

“Sektor peternakan menyumbang emisi terbesar keempat sebesar 244,15 Gg CO2-e, urutan pertama pengadaan dan penggunaan energi, menghasilkan emisi terbesar di Bengkulu,” ungkap Gunggung Senoaji.

Gunggung mengatakan sapi menghasilkan kotoran, sendawa serta kentut yakni CH4 atau gas metan. Gas ini 21 kali lebih berbahaya dari asap knalpot kendaraan bermotor atau CO2 yang merusak lapisan ozon, dan mengakibatkan pemanasan global, memicu perubahan iklim.

“Jadi langkah yang dilakukan Pemerintah dengan masyarakat memanfaatkan kotoran sapi menjadi biogas adalah bentuk mitigasi perubahan iklim, yang artinya tindakan aktif untuk mencegah, memperlambat terjadinya perubahan iklim, pemanasan global dan mengurangi dampak perubahan iklim, pemanasan global,” ungkap Gunggung.

Sementara itu, Kepala Bidang Pengembangan Usaha, Dinas Peternakan Provinsi Bengkulu, Mohamad Iqbal, menyatakan di Bengkulu terdapat 120 ribu ekor sapi dan 40 ribu ekor kerbau dan berpotensi dimanfaatkan kotorannya menjadi biogas.

“Program ini dilakukan memang sebagai upaya mitigasi perubahan iklim dengan memanfaatkan kotoran sapi sebagai sumber metan menjadi biogas, program semacam itu akan terus ditingkatkan, namun masyarakat diharapkan dapat pula merawat dan mengembangkan peralatan dan pengetahuan yang telah diberikan itu,” kata Mohamad.*

Published in ClimateReporter