Bangkit dari Bencana di Titik 268 Km

Oleh Yudhistira, Kontributor Berita Satu TV Medan,
peserta kunjungan kawasan ke Desa Tanjungleban, Riau, Juni 2014

(Catatan penulis: Jujur. Ini bukanlah kegiatan biasa karena di setiap kegiatan kita diajak mengolah nalar, naluri dan kejelian sebagai seorang jurnalis untuk “mengangkat batang terendam” yang  belum sempat atau tak pernah dikupas secara tuntas atau bahkan tidak pernah diangkat ke permukaan. Mungkin selama ini semua orang hanya fokus pada peristiwa bagaimana kebakaran lahan di Riau bisa terjadi, dampaknya seperti apa atau bahkan kerugian yang ditimbulkannya hingga membuat  Negara ini turut kalang kabut. Padahal semestinya, bencana ini harus disikapi sedemikian rupa sebelum bencana kembali melanda, karena ini sudah menjadi tradisi tahunan. Artinya, tentu lebih baik mencegah daripada mengobati.  Sebagai salah satu peserta, sebenarnya saya sangat berharap ke depan bisa diberi  kesempatan untuk mengikuti field trip kembali, tentunya di tempat lain yang mungkin perlu digali baik dari segi potensi atau segala hal di dalamnya yang selama ini tidak  pernah diketahui khalayak. Sukses terus buat LPDS yang mampu membuka wawasan jurnalis di negeri ini.)

 

Neraka! Api panas mengganas di lahan gambut yang luas. Hutan desa musnah.  Api yang berkobar hebat Feb-Maret 2014 seolah tak pernah berhenti. Berulang … terus berulang…  dan semakin sering.  Bagai api dalam sekam, si jago merah merayap di bawah gambut dan sewaktu-waktu siap menggeliat tanpa terduga. Akan tetapi, kini 2.436 jiwa penduduk Desa Tanjungleban, Provinsi Riau, bisa sedikit bernapas lega, walau neraka itu belum berakhir. Selama ini kawasan Tanjungleban dikenal sebagai lahan utama untuk menanam sawit, baik oleh masyarakat sekitar, perusahaan perkebunan swasta, ataupun pendatang yang datang menyerbu. Padahal,  lahan gambut bukanlah pertapakan empuk untuk menuai hasil besar dari tanaman “kurma Indonesia” itu dibandingkan dengan tanaman sawit di tanah mineral. Namun, murahnya harga lahan menghipnotis siapa pun untuk ikut-ikutan ekspansi ke Desa Tanjungleban di titik 268 kilometer utara ibu kota provinsi, Pekanbaru.

Hanya tiga pilihan kerap menghantui penduduk, jika musibah itu tetap melanda. Frustasi, menjual lahan pertapakan mata pencaharian mereka atau harus bangkit berbuat untuk lepas dari belenggu bencana secara bersama, meskipun tetap saja banyak warga yang skeptis.

Muhammad Nur,  46 tahun, tokoh masyarakat, guru SD Negeri DesaTanjungleban, bercerita dengan logat kental Melayu Riau, “Pada saat saya pindah ke sini tahun 1998, desa ini masih sangat dingin karena dikelilingi oleh  hutan. Jaraknya hanya 300 meter dari jalan raya.”

“Empat tahun kemudian,” kata PNS golongan 3B  ini yang  bermata pencaharian sampingan di areal perkebunan sawit dan karet, “hutan mendadak punah saat pembalak liar di bawah dukungan aparat keamanan bersenjata meluluh-lantakkan seluruh pohon. Sebaliknya, masyarakat di sini… mau nebang satu pohon saja ketakutan. Kami diancam oleh oknum-oknum bersenjata.”

Tahun 2011, setelah hutan itu gundul,  satu persatu toke atau pengusaha masuk melakukan konversi, menyulap hutan gundul berlahan gambut menjadi areal perkebunan sawit.

Dari tahun ke tahun areal perkebunan sawit semakin luas, terhampar di tiga dusun: Dusun Menggalau, Bukitlengkung, dan Dusun Batuluas. Banyak warga asli desa  frustrasi  akibat intensnya bencana kebakaran lahan sehingga mereka memilih eksodus, serta memilih menjual tanah mereka kepada pendatang yang umumnya dari Sumatra Utara.

Tapi tidak bagi Muhammad Nur.  Kecintaannya pada desa ini membuatnya lebih memilih tetap bertahan di tempatnya, walau terkadang bapak empat  anak tersebut   bergidik karena bencana terus mengancam. Kebakaran lahan dijadikannya momentum untuk memutar otak agar kawasan tempatnya bergantung bisa terlepas dari musibah yang terjadi akibat ulah manusia.

Jalan terbuka.  Tim peneliti Universitas Riau lewat relawan Solusi Tuntas Bencana Asap (STBA) bersama peneliti asal Jepang, berkunjung untuk mencarikan solusi cara  menanggulangi dan mengantisipasi terjadinya kebakaran lahan.

“Lahan saya bekas kebun karet yang terbakar seluas 2 hektare dijadikan proyek percobaan. Lahan tersebut kami  tanami kayu seperti jelutung, meranti dan pohon buah-buahan berbatang keras. Ini merupakam upaya untuk mengantisipasi kembali terulangnya bencana kebakaran lahan.

“Untuk itu kami menerapkan teori sekat air, yakni membentuk bendungan kecil di tiap kanal pengairan areal sawit. Cara tersebut melembabkan tanah gambut sebagai penangkal sebaran api saat merayap di antara ranting kayu,” M. Nur menjelaskan.

Semula masyarakat mencibir terhadap rencana ini, bahkan mereka menyebutnya tidak masuk akal. “Kerja gila,” katanya.  Namun, setelah melihat hasilnya, lama kelamaan mereka mulai menerima uji coba penangkal api tersebut.  Kini mereka pun optimis dan berbuat bersama melindungi desa dari bencana kebakaran lahan melembabkan tanah gambut sebagai penangkal sebaran api saat merayap di antara ranting kayu membentuk gambut.

Teori sekat air yang membentuk bendungan kecil di tiap kanal pengairan areal sawit akhirnya bisa diterima akal warga. Dengan suka rela merekapun turut turun tangan membantu dan berbuat untuk terus melembabkan tanah gambut sebagai penangkal sebaran api saat merayap di antara ranting kayu membentuk gambut.

Sekarang setidaknya ada belasan warga yang mulai bergabung menjadi relawan.    Mereka mengarungkan pasir sebagai penyekat air  untuk menahan ketinggian volume air,  sehingga serapan air bisa menjangkau lebih jauh.  Karung penangkal api tersebut  dilaksanakan di lahan, plot uji coba tanaman kayu dan di areal kebun sawit.  Masyarakat pun mulai sadar akan pentingnya menyelamatkan desa dengan cara ini, terutama mengamankan areal perkebunan sebagai penopang kelanjutan hidup, katanya.

Haji Atim, Kepala Desa Tanjungleban, juga antusias mendukung program ini. Bahkan direncanakan pemerintah desa sudah menyiapkan lahan seluas 500 hektar untuk menjadi proyek uji coba tanaman kayu lanjutan.

“Sebelumnya Pak Rektor Universitas Riau hanya minta 10 hektar untuk lahan lanjutan tanaman kayu, kami malahan  sudah menyediakan lahan tidur seluas 500 hektar agar bisa dimanfaatkan bersama oleh warga,” ungkap Atim sumringah.  Kini ia juga berencana menyiapkan lahan untuk kebun nanas guna mengurangi beban warganya yang merugi setelah lahan perkebunannya musnah terbakar.

Lewat program penghijauan hutan dan tanaman alternatif ini, semua warga di sini berharap bahwa  suatu saat neraka yang selama ini berkuasa di desa mereka, bakal berubah menjadi surga di dunia. *

Published in ClimateReporter