Oleh Kris Razianto Mada, Kompas.com, Batam
(Juli 2015)
DALAM diam dan jauh dari perhatian banyak orang, perubahan iklim terus menambah korban. Dalam hitungan bulan Kota Batam di Kepulauan Riau akan masuk daftar korban sementara dari perubahan. Jika tanpa langkah serius, Batam akan menjadi korban permanen dalam beberapa tahun ke depan.
Kota di perbatasan Indonesia dengan Singapura-Malaysia itu tak punya sungai atau aquifer sebagai sumber air. Batam hanya mengandalkan hujan sebagai sumber airnya. Sebagian dari hujan ditampung dalam waduk-waduk di berbagai penjuru Batam. Waduk yang hanya mengandalkan hujan sebagai pengisi ulang airnya. Saat hujan berkurang, semakin sedikit pengisi air waduk.
Kepala Stasiun Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Batam, Phillip Mustamu, menyatakan bahwa Batam memang bukan daerah dengan musim tetap, seperti banyak daerah lain di Indonesia. Kerap kali Batam diguyur hujan berhari-hari saat daerah lain sedang kepanasan. Hal sebaliknya dapat terjadi pula, Batam kerontang saat daerah-daerah lain kebanjiran.
Memang ada masa-masa tertentu saat Batam tidak mendapat hujan selama berpekan-pekan. Lazimnya pada Februari atau Mei hingga Juni setiap tahun. “Di luar periode itu, biasanya Batam hujan dua minggu, lalu dua minggu lagi tidak hujan,” ujar Kepala Pusat Data dan Informasi Stasiun BMKG Batam, Agus Tri P.
Meski menyatakan belum banyak berubah, Agus tidak menampik tahun ini tidak sebaik tahun-tahun sebelumnya. Curah hujan di Batam kini menurun. Fenomena sejak dua tahun terakhir disebut Agus sebagai anomasi, belum sampai tahap perubahan pola.
Seperti di tempat lain di dunia hujan di Batam dipengaruhi kondisi daerah lain. Hujan antara lain dapat turun bila angin tidak terlalu kencang di Batam. Kecepatan angin dipengaruhi oleh suhu di belahan lain di dunia.
Masalahnya, musim dingin atau panas di belahan bumi lain tidak lagi berlangsung dalam pola yang sudah beratus tahun dikenal manusia. Musim dingin dapat berlangsung lebih lama dan dengan suhu lebih rendah.
Suhu terlalu dingin di utara atau selatan membuat angin berembus lebih kencang di daerah netral dekat khatulistiwa, seperti Batam. Semakin lama dan dingin musim dingin di belahan bumi lain, semakin lama periode Batam terembus angin kencang. “Dengan angin lebih dari 10 knot, seperti sekarang, sulit terbentuk awan hujan. Terkumpul sebentar, awan tertiup ke tempat lain,” tuturnya.
Penurunan intensitas dan curah hujan membuat permukaan waduk-waduk Batam berkurang drastis. Sepanjang Mei permukaan waduk-waduk Batam berkurang antara 1,2 meter hingga 4,2 meter.
“Tahun ini adalah tahun terburuk. Curah hujan paling rendah dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya,” ujar Wakil Presiden Direktur Adhya Tirta Batam (ATB), Benny Andrianto Antonius.
Benny patut pusing karena dua dari enam waduk di Batam sudah tidak bisa diharapkan. Waduk Nongsa dengan kapasitas produksi 60 liter per detik terpaksa dikurangi operasinya. Pelanggan di sekitar waduk itu mendapat air dari fasilitas pengolahan air di Waduk Duriangkang yang berjarak 30 kilometer.
“Waduk Sungaiharapan paling lama empat bulan lagi. Kalau sampai habis, di sana tidak bisa ditolong. Pejabat-pejabat yang tinggal dekat sana, masyarakat umum, tidak kebagian air. Sumber air bakunya dari mana? Kami ini pengolah, bukan penyedia air baku. Air tidak bisa diskriminasi. Kalau sumbernya habis, semua tidak kebagian,” katanya,
Cadangan
Di atas kertas cadangan total air baku Batam memang cukup untuk menunjang aktivitas industri dan 1,2 juta penduduk kota itu. Saat ini Batam punya pasokan 3.190 liter per detik dari lima dam yang tersisa.
Namun, kapasitas setiap dam berbeda dan setiap dam sudah punya wilayah untuk diairi. Saat satu dam besar berhenti total, sulit mencari pengganti pasokannya. “Jaringan kami sudah terintegrasi di seluruh Batam. Akan tetapi, airnya dari mana?” ujar Benny.
Persoalannya tidak berhenti sampai di situ. Bila tidak ada perubahan besar, Batam hanya punya cadangan maksimal hingga tujuh tahun ke depan. Cadangan itu sudah memperhitungkan dam Tembesi yang masih tahap persiapan operasi.
Pengoperasian dam itu juga dengan catatan curah hujan tetap tinggi sebab dam itu berasal dari rawa yang dibendung, sehingga butuh proses desalinasi paling tidak sampai tiga tahun ke depan. Jika curah hujan semakin menurun, desalinasi dan pengisian air tawar hingga 5,6 juta meter kubik ke dam itu perlu waktu lebih lama.
Secara teoretis Batam hanya punya cadangan sampai 2022. Setelah itu, belum ada gambaran dari mana Batam mendapat cadangan air. Cadangan itu pun dengan catatan curah hujan tidak terus merosot, kapasitas produksi waduk-waduk tidak dipangkas, dan pertumbuhan kebutuhan tetap normal dengan rata-rata 150 liter per detik air setiap tahun.
Jika terjadi kondisi lain, maka cadangan akan habis lebih cepat. Kondisi buruk itu antara lain berupa penurunan curah hujan dan peningkatan kebutuhan air melebihi rata-rata. “Batam habis kalau air sudah tidak ada. Listrik, telepon, atau internet bisa digantikan dengan sumber lain. Air mau digantikan pakai apa? Siapa mau investasi di daerah tidak ada airnya” ujar Benny.
Saat ini yang bisa dilakukan adalah mengerem penurunan cadangan waduk. Penurunan permukaan waduk disiasati dengan mengurangi kapasitas produksinya. Pengurangan itu untuk memberi kesempatan waduk memulihkan cadangannya. Memang, pemangkasan separuh kapasitas tidak banyak menolong sebab kemampuan pemulihan waduk lebih bergantung pada luasan daerah penyangga dan resapan serta curah hujan. Semakin luas daerah resapan, semakin tinggi kemampuan waduk memulihkan diri. Hujan tidak seluruhnya dan serta-merta masuk ke waduk. Sebagian meresap di daerah penyangga, lalu masuk ke waduk.
Daerah penyangga dan resapan merupakan kewenangan Badan Pengusahaan (BP) Batam selaku pengelola seluruh waduk di Batam. Masalahnya, lembaga itu tidak membantah bahwa mereka kewalahan menjaga luasan daerah penyangga. Penjarah dengan motif pembalakan liar hingga penggunaan lahan ilegal terus menggasak daerah penyangga waduk-waduk. “Kami terus berusaha mengendalikan kerusakan daerah penyangga dengan operasi rutin ke dalam hutan,” ujar Direktur Promosi dan Hubungan Masyarakat BP Batam, Purnomo Andi Antono.
BP Batam juga terus menjajaki penyaluran air untuk Batam dari Bintan dan Lingga di Kepulauan Riau, hingga ke Kampar di Riau. Selain itu, dikaji pula pengolahan air laut menjadi air tawar. Bahkan, Batam tidak menutup peluang hingga mengolah kembali air bekas pakai, seperti dilakukan Singapura lewat proyek New Water.
Semua pilihan itu membutuhkan biaya besar. Harga yang harus dibayar agar Batam tidak kehabisan air lalu kehausan akibat perubahan iklim.
Kompas/Kris Razianto Mada Permukaan Waduk Nongsa di Batam, Kepulauan Riau, menyusut lebih dari 4 meter. El Nino membuat curah hujan berkurang dan waduk tadah hujan itu sulit memulihkan cadangannya. Waduk menjadi andalan tunggal Batam untuk memenuhi kebutuhan airnya. Penyusutan cadangan waduk membuat Batam tidak punya air.
Published in