Berguru di Ladang Padi yang Terbakar

 

Laporan Hairil Hiar, liputan6.com, Ternate

Penulis adalah peserta Lokakarya Meliput Daerah Ketiga Angkatan Keempat (MDK IV). Hairil mendapat tugas ke  Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, 24-28 Agustus 2016. Lokakarya diselenggarakan Lembaga Pers Dr. Soetomo dan Kedutaan Norwegia 23-31 Agustus 2016

Didi, Kadus IV saat menunjukkan titik kebakaran bermulanya api memasuki areal ladang padi seluas 30 hektare di Kecamatan Pedamaran, OKI. (Foto Hairil Hiar)

Dusun IV, Sumatera Selatan, Liputan6.com/ClimateReporter  Ladang sawah Didi 4 hektare di Sumatera Selatan tinggal kenangan. Sekarang tumbuh ilalang. Keinginannya menanam kembali padi hangus terbakar pada September 2015.

 

Saat kabakaran, Didi sedang berada di rumahnya. Terdengar teriakan warganya.

“Kebakaran… kebakaran…,” kenang Didi, Kepala Dusun IV, sewaktu keluar dari rumah, tak mengira kebakaran tersebut terjadi di ladang sawah miliknya.

Petaka itu terjadi pada pertengahan September 2015, bersamaan dengan kebakaran yang menimpa Pedamaran Timur, Kayu Agung, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI).

Karena panik, Didi langsung ikut memadamkan api, bersama warga dusunnya, Desa Menang Raya, Kecamatan Pedamaran, menggunakan ember dan alat seadanya.

“Kurang lebih 2 jam datang lah bantuan dari pemerintah menyiram api menggunakan helikopter. Mereka membasahi sekitar areal gambut,” katanya.

Didi tidak sendiri. Sawah warga lain juga terbakar sampai total 30 hektar.

Didi mengatakan rencananya lahan tersebut akan ditanami padi pada 10 Oktober 2015. Namun kebakaran terlebih dahulu menghanguskan mimpi lelaki 32 tahun itu.

Imam Masjid Al Ikhlas itu mengatakan Dusun IV merupakan wilayah transmigrasi sejak 1987. Warga trans seluruhnya berasal dari Jawa.

Suami Siti Marfuah itu mengisahkan kebakaran tahun lalu nyaris membakar rumah-rumah warga setempat.

Dusun IV diisi 150 rumah yang dihuni 163 kepala keluarga. Mata pencaharian warga seluruhnya petani. Seperti menanam padi, cabe, tomat, dan sayur-mayur.

Didi mengungkapkan ladang padi miliknya dahulu sekali panen mencapai 50 sampai 55 karung beras. Berat per karung masing-masing 50 kilogram.

“Kalau dijual biasanya ke tengkulak sini (Desa Menang Raya). Dibelinya per kilo Rp4.500. Kalau 50 kilo ya nilainya mencapai sebesar Rp225.000,” katanya.

Jika dikalikan dengan hasil panen miliknya mencapai 50 karung beras dengan berat masing-masing 50 kilogram saja maka totalnya mencapai Rp11.250.000. Sementara, dalam setahun tanaman padi warga setempat rata-rata dua kali panen.

“Kalau sudah panen, ya bisa hidup dah kita,” imbuhnya.

Lahan gambut di lokasi kebakaran itu berkedalaman setengah sampai 1 meter. Untuk mengantisipasi kebakaran tidak memasuki halaman belakang rumah warga, saat ini mereka bergotong royong membuat kanal mengelilingi dusun dan lahan.

Didi mengatakan sebulan pascakebakaran tahun 2015, warga korban kebakaran diberikan bantuan dari pemerintah berupa ganti rugi lahan seluas 4 hektar.

Seluruhnya, saat ini sedang fokus menanam tanaman bulanan seperti padi, cabe, tomat, dan sayur mayur berupa bayam dan kangkung sebagai sumber pendapatan.

Dusun IV Desa Menang Raya merupakan kawasan dataran rendah. Sepanjang daratan dipenuhi ilalang. Tumbuh di atas lahan gambut tentunya harus diwaspadai.

Pembangunan kanal yang dibuat warga Menang Raya sebagai solusi mencegah api kebakaran tidak masuk ke pemukiman warga Dusun IV. (Foto Hairil Hiar)

Cegah Kebakaran Meluas

Didi mengatakan pembuatan kanal mengelilingi dusun dan lahan bekas garapan sawah 30 hektar yang hangus terbakar, telah selesai. Fungsi kanal itu diutamakan sebagai pembatas meluasnya api agar tidak masuk ke kawasan pemukiman.

Menurut Didi, pembuatan kanal bukanlah solusi yang baik. Hanya saja kebakaran tahun lalu nyaris mengancam rumah-rumah mereka sehingga kanal dibuat. Kanal yang dibuat lebarnya mencapai 3 meter dengan kedalaman 1 meter lebih.

Didi mengatakan oknum yang sengaja membakar lahan pertanian warga itu orangnya susah dicari, “Yang bakar bukan orang sini. Itu orang yang jahil. Kanal ini tembus Teluk Rasau, terus Kali Lembung, sekaligus pembuangan airnya ke sana.”

Pembatas kanal di dusun itu, pada bagian barat dan utara berbatasan dengan Desa Suko Bule, bagian barat berbatasan Muara Danau, selatan berbatasan dengan perkebunan kelapa sawit milik seorang pengusaha ternama Desa Menang Raya.

Bentuk wilayah dusun itu landai, daerah rawa, dan daratan rendah. Lokasi lahan gambut yang ada di dusun itu kedalamannya setengah meter dan banyak menyimpan air. Daerah itu sebelumnya masuk zona anti api yang susah terbakar.

“Yang sebenarnya itu, lahan gambut di sini susah terbakar, tapi karena kemarau panjang 2014 dan 2015 mungkin penyebabnya. Titik api kadang kita tidak tahu darimana, tiba-tiba sudah meluas masuk ke lahan kita. Untuk jenis gambut kedalaman 10 sampai 15 meter tidak ada di sini, kecuali pinggir kali,” katanya.

Jenis gambut yang rawan terbakar adalah berkedalaman lebih dari 3 meter. Sebab gambut yang terbakar itu, kata Didi, sifatnya tidak naik ke permukaan tapi menancap ke bawah. Kedalaman gambut lebih dari 5 meter itu paling berbahaya jika terbakar. Karena bentuk gambut seperti itu, sambung Didi, lebih susah dipadamkan.

“Kalau api di dalam gambut, selama belum ada hujan, selama itulah bara api tetap di dalam gambut. Kalau ini sudah terbakar ya selesai lah,” jelasnya.

Jelutung Penakluk Lahan Gambut

Kepala Dusun IV Menang Raya itu menerangkan empat hektare lahan miliknya sengaja dijadikan kebun percontohan tanaman jelutung selama enam bulan belakangan usai kebakaran menghanguskan tanaman padinya. Jelutung tanaman sejenis karet. Getahnya lebih bermutu.

“Kita belum lakukan penanaman. Sampai sekarang baru tanam jelutung. Nanti kalau kegiatan jelutung selesai dulu baru tanam lagi,” kata Didi.

Sejauh ini ilalang dan semak belukar sengaja dibiarkan tumbuh subur. Belum dilakukan penebasan karena trauma dengan kebakaran tahun lalu.

“Takutnya kalau ditebas (disemprot), tiba-tiba ada orang jahil. Karena itu biarlah kegiatan jelutung ini besar dulu. Sekarang baru enam bulan,” kata dia lagi.

Bersama anggota Kelompok Tani Harapan Jaya dan SHI, Didi menanam 1.000 bibit pohon jelutung demi mencegah kebakaran di areal sawah seluas 30 hektare.

Melalui kelompok taninya, mereka bergantian mengawasi perkembangan jelutung bersama-sama dengan padi untuk mencegah orang luar membakar lahan.

“Yang membakar ini macam-macam, setahu kita selalu dari luar, terkadang juga sama yang punya lahan. Kalau lahan sini kita jaga, yang sana dibakar. Itu yang susah,” ucap Didi.

Jelutung milik Didi yang baru berusia 6 bulan. (Foto Hairil Hiar)

Didi menerangkan masa panen jelutung adalah saat tanaman itu berusia tujuh tahun. Berbeda dengan tanaman karet lain yang juga ada di dusun itu, jelutung menghasilkan getah karet berkualitas lebih baik dan bisa menetralkan kondisi tanah gambut yang asam. Selain itu, jelutung juga relatif hemat air.

“Kita ambil getahnya, lebih bagus dari karet. Getahnya diambil baru dijual. Kalau harga yang paling murah Rp30.000 per kilo. Kalau harganya mahal ya lain lagi. Satu pohon, kata SHI (Serikat Hijau Indonesia) itu, dapatnya satu kilo. Itu satu kali gesekan dalam sehari. Itu bisa dilakukan setiap hari kalau panen,” tutur Didi.

Menurut Didi, tanah tempat jelutungnya ditanam tidak bisa ditanami tanaman keras, kecuali akasia, sehingga jelutung adalah pilihan tepat. Apalagi, ia dijanjikan pihak ketiga yang sanggup menampung hasil panennya kelak. Padahal, ia sadar jika selama beberapa tahun tanahnya tidak menghasilkan pendapatan berarti.

“Kata warga payah ini, bagi saya alhamdulillah, ini lahan saya. Berhubung saya ini perangkat, ya berikan contoh dulu, bagaimana suatu saat nanti ketika ingin melakukan penanaman begini kan, sudah ada contoh,” Didi beralasan.

“Di Indonesia terdapat dua jenis jelutung, yaitu Dyera costulata Hook dan Dyera lowii Hook. Untuk jelutung di Sumatera disebut labuai. Pohon jelutung berbentuk silindris, tingginya bisa mencapai 25-45 m, dan diameternya bisa mencapai 100 cm. Kulitnya rata, berwarna abu-abu kehitam-hitaman, dan bertekstur kasar,” kata Sarifudin Gusar, penggiat SHI Desa Menang Raya, Kabupaten OKI, menjelaskan.

Dia mengatakan cabang jelutung tumbuh pada batang pohon setiap 3-15 m. Bentuk daunnya memanjang, pada bagian ujungnya melebar dan membentuk rokset.

“Sebanyak 4-8 helai daun tunggal itu duduk melingkar pada ranting. Jelutung berbunga dua kali setahun,” kata Sarifudin memungkasi.

Atasi Kebakaran

Didi mengatakan kegiatan menanam jelutung juga sekaligus untuk mempersiapkan lahan sawah sebelum ditanami padi kembali. Ia mengatakan tanaman jelutung juga cocok berdampingan dengan padi karena tidak menghasilkan zat asam.

“Kita akan tanami padi pada tanggal 10 bulan 10 nanti,” ujar Didi.

Sekretaris Kelompok Tani Harapan Jaya Lisman mengisahkan sebelum kebakaran melanda lahan mereka, warga setempat berlomba-lomba menanam padi karena memperoleh hasil yang baik. Namun karena tergiur keuntungan tambahan tetapi dengan cara instan, warga malah membakar lahan secara liar yang menyusahkan warga lainnya.

“Akhirnya kita yang susah. Kita berharap adanya kegiatan jelutung ini, mereka ndak berani lagi bakar membakar. Lalu nanti setelah jelutung besar, baru kita lakukan penebasan totalitas,” kata Lisman.

Lisman mengatakan jelutung yang sudah ditanam saat ini memasuki umur 6 bulan. Mereka baru bisa memanennya setelah berusia 7 tahun.

“Jelutung ini tidak bercabang, dia akan tumbuh menancap terus ke atas. Selama empat sampai lima tahun, baru kita bisa tanami padi lagi,” pungkasnya.

Kelompok Tani Harapan Jaya Dusun IV Menang Raya. (Foto Nefri Inge)

Editor Warief Djajanto Basorie

Published in ClimateReporter