Oleh Arneliwati, spesialis keperawatan, Universitas Riau,
peserta kunjungan kawasan ke Desa Tanjungleban, Riau
TIDAK ada lagi udara segar dan angin bertiup sepoi–sepoi yang menyegarkan di desa ini. Hari–hari kelabu. Langit menghitam. Awan berarak. Oh, bukan! Bukan awan. Itu jerebu, kata masyarakat di negara tetangga. Ya, asap yang muncul dari dampak buruk kebakaran lahan gambut di beberapa wilayah di Provinsi Riau.
Salah satu wilayah di Provinsi Riau yang mengalami musibah kebakaran terparah dan terluas Februari-Maret 2014 adalah Desa Tanjungleban dan Desa Sepahat, Kecamatan Bukitbatu, Kabupaten Bengkalis.
Pada kunjungan kelompok Wartawan Meliput Perubahan Iklim di desa ini Juni lalu, terungkap bahwa di sini minim fasilitas kesehatan. Mereka hanya mengenal bidan desa. Belum ada tenaga dokter yang bertugas di sini, sehingga saat kabut asap berlangsung tidak ada petugas kesehatan yang mengedukasi masyarakat menggunakan masker pada saat ke luar rumah.
Namun, menurut pengakuan istri Kepala Desa Tanjungleban, Ny. H. Atim, warga di desanya cukup sehat pascakebakaran dan tidak banyak menderita Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA), kecuali pada saat kebakaran lahan. Selain itu Desa Tanjungleban mengalami masalah air bersih. Hampir di setiap rumah airnya berwarna kecoklatan seperti teh dan bau. Ini tidak layak untuk dikonsumsi, sehingga untuk minum masyarakat menggunakan air galon yang dibeli.
Menurut Sri Rezeki, istri Muhammad Nur, seorang guru SDN 24 di Desa Tanjungleban, kebakaran lahan menjadi sumber ketakutan bagi semua orang. “Udara yang dihirup tidak bersih dan segar banyak partikel–partikel berbahaya yang dapat merusak paru-paru,” katanya.
Dokter Sri Melati Munir Sp. P, seorang spesialis paru mengatakan, “Zat asap kebakaran karbon monoksida (CO) beredar melalui aliran darah dan paru mengurangi pengiriman oksigen ke jaringan tubuh, kemudian menimbulkan gejala sesak napas, kebingungan, dan dada terasa berat. Pada tingkat yang lebih tinggi karbon menyebabkan sakit kepala, lemah, pusing kebingungan, disorientasi, gangguan penglihatan, coma dan hingga risiko kematian. Sulfurdioksida (SO2) gas yang menimbulkan sesak napas karena bronkokonstriksi, selanjutnya mengiritasi mukosa pernapasan, Ozon (O3) dapat mengiritasi tenggorokan.”
Penggunaan masker sebagai alat proteksi diri dari ancaman bahaya asap belum digunakan secara maksimal. Menurut Abu Bakar, Kepala Regu I Masyarakat Peduli Api (MPA) Desa Sepahat, anggota MPA tidak memakai masker sebagai proteksi ketika melakukan pemadaman api.
“Ini sangat berbahaya untuk kesehatan anggota MPA. Kalau ada yang sakit tidak ada biaya khusus untuk pengobatan bagi para anggota MPA. Kami biasanya pakai uang desa untuk berobat. Asap menimbulkan iritasi mata, kulit dan gangguan saluran pernapasan yang lebih berat, fungsi paru berkurang, bronkitis, asma, dan kematian,” katanya.
Keluarga Pak Abu Bakar merasakan dampak asap. Anak dan istrinya menderita ISPA. Untuk berobat mengalami kesulitan karena tempat berobat jauh dari Desa Tanjungleban. Peningkatan insidensi ISPA membuktikan adanya pengaruh kabut asap terhadap sistem pernapasan manusia. Yang lebih mengkhawatirkan adalah dampak kronik paparan kabut asap berupa kanker paru yang dapat timbul pada masa yang akan datang.
Secara umum kabut asap dapat mengganggu kesehatan semua orang, baik yang dalam kondisi sehat maupun dalam kondisi sakit. Pada kondisi kesehatan tertentu, orang akan menjadi lebih mudah mengalami gangguan kesehatan akibat kabut asap dibandingkan orang lain, khususnya pada orang dengan gangguan paru dan jantung, lansia, dan anak-anak.
M. Nur, seorang guru sekolah dasar, meliburkan anak-anak SD selama dua minggu pada saat kondisi desa terkepung asap. Ia sangat prihatin dengan kondisi anak didiknya. “Untunglah waktu terjadi kabut asap sekolah diliburkan untuk mengurangi risiko ancaman bahaya ISPA terhadap anak,” ujarnya, Ini mengingatkannya pada antisipasi bahaya ISPA yang pernah dilakukan pemerintah Riau dengan meliburkan anak sekolah.
Published in