Bom Waktu di Bukitlengkung

Oleh Fajar Fahrudin, infokaltim.com, Samarinda,
peserta kunjungan kawasan ke Desa Tanjungleban, Riau

(Catatan penulis: Lokakarya Meliput Perubahan Iklim LPDS ini bermanfaat dalam menambah pengetahuan khususnya meliput perubahan iklim di daerah lahan gambut Riau; menambah persaudaraan, mengeratkan ikatan emosional di antara sesame jurnali. Lokakarya ini tidak sekedar  berbicara tentang situasi tentang lahan gambut, tapi juga degradasi pantai. (Peserta) punya pengalaman menarik  terkait meliput perubahan iklim di daerah lahan gambut Riau. Para mentor dapat mentransfer ilmu pengetahuan dengan baik, sehingga dapat diterima  peserta.)

 

KEBAKARAN lahan gambut di Dusun Bukitlengkung, Riau, Februari-Maret 2014 mengubah nasib warga dalam sekejap. Seorang di antaranya, Tugiadi, kehilangan harta yang dikumpulkannya dengan jerih payah selama tiga tahun. Dia menderita stres, sampai-sampai lupa nama istrinya.

Organisasi kampanye lingkungan hidup global Greenpeace sejak 2007 mengingatkan dan meminta pemerintah Indonesia mengantisipasi dampak El Nino. Badai ini  biasanya ditandai dengan kekeringan panjang yang bisa mengganggu produksi pangan dan meningkatkan risiko kebakaran lahan. Apakah ini ada hubungannya dengan kebakaran lahan gambut yang kaya karbon di Dusun Bukitlengkung, Riau?

 

Kebakaran lahan ini memang sudah berlalu, tetapi dampaknya masih terasa sebagaimana dialami Tugiadi,53 tahun, pendatang asal Jawa. Lahan gambut tersebut menyimpan bom waktu  yang sewaktu-waktu akan “meledak” lebih dahsyat dari sebelumnya. Kebakaran  menyisakan bongkahan dan hamparan akasia yang sudah mongering. Sedikit saja tersulut percikan api, maka area ini akan menjadi lautan api dan tentunya akan menambah daftar panjang warga miskin Dusun Bukitlengkung. Hal ini ditegaskan Azwanto, Kepala Dusun Bukitlengkung, mendampingi beberapa warga yang sedang bergotong-royong mendirikan sebuah masjid.

Kebakaran memupuskan cita-cita Tugiadi dan istrinya yang ingin hidup tenang di rumah sendiri. Tempat mungil baru saja akan dinikmati, tahu-tahunya,  dilalap api. “Hancur! Hancur harapan punya rumah sendiri,” katanya lirih. Suaranya hampir tidak terdengar karena tertahan di tenggorokan.

Gubuk kenangan itu meninggalkan duka yang mendalam. Rumah tersebut sebenarnya tidak terlalu besar hanya 6 x 5 meter tanpa dapur. Tugiadi—sambil  melempar pandangan ke arah bekas rumahnya—mengenangkan peristiwa kebakaran lahan dan rumahnya yang terlalap api. Rumah tersebut belum seratus persen selesai.

Tugiadi hanya buruh lepas di perkebunan kelapa sawit. Mata pencarian yang satu-satunya itu lenyap begitu saja. Bagi pemilik kebun sawit di Dusun Bukitlengkung berpenghasilan satu setengah juta rupiah per bulan, tetapi warga yang tak punya lahan jadi buruh kasar pemetik buah sawit seperti halnyaTugiadi penghasilannya jauh lebih sedikit lagi.

Untuk mencari penghasilan tambahan sebagian warga sudah biasa menelusuri jalan berlumpur sejauh  12 km. Itulah yang juga dilakukan oleh Tugiadi. Ia mengais rezeki jadi buruh kasar di salah satu perusahaan perkebunan. Selama tiga tahun bekerja ia berhasil mengumpulkan uang Rp12 juta. “Hasil jerih payah itu sekarang ludes dimakan api dalam sekejap,” katanya.  

Tugiadi, lelaki paruh baya,  pindah dari Jawa mengadu nasib ke Kisaran, Sumatera Utara. Ia kemudian tergiur eksodus ke Riau untuk mengais rezeki, tetapi nasib berkata lain. Sesampainya di Dusun Bukitlengkung hampir dua tahun setengah menggantungkan kehidupanya pada tetangga yang juga asal Jawa.

“Saya menumpang bersama istri saya, Nani Suryani,” katanya. Tugiadi tak ingin berlama-lama lagi menumpang. Akan tetapi, nasib berkata lain. Lahan dan rumahnya ludes dimakan api. Warga berusaha keras memadamkan api, tetapi apa daya peralatan tak memadai. Mereka hanya memiliki ember dan sialnya lagi sumber air susah didapat.

Tugiadi ingat benar saat itu. Sutarno, 58, tetangganya, terengah-engah. “Saya tidak sanggup lagi Pak,” teriak Sutarno. “Kita tinggalkan saja tempat ini. Biarkan saja rumahmu ini. Ini  bukan rezeki sampean,”  teriaknya sambil menarik tangan Tugiadi. “Kita akan ikut terpanggang jika tidak segera keluar.”

Tugiadi tersungkur, tetapi tangannya cepat disambar oleh Sutarno. Mereka terus berlari dengan sisa tenaganya yang hampir habis sebab terlalu banyak menghirup asap. Akhirnya mereka sampai di ujung dusun, tutur Sutarno mengenang tragedi mengenaskan.

Setelah peristiwa itu Tugiadi sering lupa nama istrinya sendiri. Otomatis beberapa orang warga tersenyum dan di antara mereka berucap, “Lupa, toh, Pak, sama istri sampean.”

Tugiadi pergi merantau ke Riau, katanya, untuk mengubah nasib. Namun, hasil jerih payahnya bertahun-tahun, kini lenyap dalam sekejap. “Saya tidak punya apa-apa lagi, Mas! Apes. Semuanya ludes,” tuturnya dalam bahasa Jawa. 

Dusun Bukitlengkung merupakan lokasi kebakaran yang terparah yang terjadi di Riau bulan kedua tahun 2014. Akibat bencana api ini 2.000 hektar lahan gambut ludes dilalap api termasuk milik perusahaan dan lahan masyarakat. Kurang lebih 70 KK kehilangan mata pencaharian dengan mengandalkan berkebun sawit membuat masyarakat stres. Dari musibah ini masyarakat dapat mengambil hikmah betapa pentingnya menjaga lingkungan, terutama kekejaman api. Api kecil menjadi kawan besar menjadi lawan.

Mereka mengharapkan perhatian pemerintah Riau terutama soal sarana pendidikan, tenaga kesehatan, dan memulihkan lumpuhnya ekonomi masyarakat dusun.

Miris rasanya, anak usia sekolah di Bukitlengkung kehilangan tempat belajar, sekolah habis dilalap api. ”Tolonglah kami! Tolonglah warga Bukitlengkung!” bisik Kepala Dusun, dengan suara bergetar, namun tetap tegar.

Published in ClimateReporter