Oleh Hartatik, Harian Suara Merdeka, Semarang
NADHIRI (53) bisa tersenyum bangga melihat kerja keras dan penantian warga Desa Timbulsloko, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak, mulai menampakkan hasil. Tinggi air pasang atau rob yang masuk ke permukiman sudah jauh berangsur turun dibandingkan dengan setahun silam.
Itu bisa dilihat teras rumahnya yang kini tak terjamah rob, sekalipun permukaan sungai kecil di depan rumahnya sudah sejajar dengan badan jalan. Kondisi ini jauh berbeda ketika tahun lalu banjir rob masuk ke dalam rumah hingga setinggi dada orang dewasa.
‘’Rumah ini dibangun tahun 1995. Saat itu terasnya 70 sentimeter lebih tinggi dari jalan. Baru dua bulan lalu saya tinggikan kurang lebih 80 sentimeter,’’ ujar penjabat Kepala Desa (Pj Kades) Timbulsloko tersebut saat ditemui di rumahnya, Jumat (31/7).
Desa Timbulsloko merupakan satu dari tiga desa di Kecamatan Sayung selain Sriwulan dan Bedono yang memiliki kondisi lingkungan cukup parah akibat abrasi dan rob. Hampir setiap hari masyarakat harus terbiasa dengan masuknya air laut ke jalan desa hingga ke dalam rumah.
Pada awalnya, menurut bapak tiga anak ini, desa yang berpenghuni 1.230 KK itu merupakan kawasan dengan sebaran lahan pertanian dan tambak serta mangrove di sepanjang pantainya. Akan tetapi, sekitar 1980-an terjadi konversi lahan pertanian dan mangrove dalam jumlah yang cukup tinggi karena pembukaan tambak. Erosi pantai atau abrasi mulai terjadi pada tahun 2000-an. Selang tiga tahun kemudian, desa tersebut telah kehilangan sekitar 400 sampai 1.300 meter daerah pesisirnya.
Untuk mengurangi dampak yang dirasakan oleh masyarakat akibat erosi tersebut, berbagai usaha telah dilakukan, bahkan upaya keras warga untuk menekan laju abrasi dan rob sudah tak terhitung nilainya.
Nadhiri merasa beruntung memiliki warga yang tidak pernah putus asa. Buktinya hingga kini tidak ada warga yang berkeinginan meninggalkan tempat tinggalnya sekalipun sudah terkepung rob. Sebaliknya mereka tak berhenti menggelorakan asa dan yakin suatu saat Timbulsloko bisa normal seperti desa lainnya di Demak.
‘’Abrasi dan rob memang di luar kendali manusia, tetapi warga tidak ingin tinggal diam melihat desa tempat tinggal mereka hilang tak berbekas seperti yang terjadi di dua perdukuhan Desa Bedono,’’ imbuh suami Kholifah (50).
Pernah suatu kali, lanjutnya, sungai di desa tetangga tengah dinormalisasi. Warga pun berinisiatif untuk menyewa backhoe (ekskavator) dari lokasi proyek tersebut. Lalu mereka sepakat iuran dengan besaran sekitar Rp50.000 sampai Rp 100.000 per KK.
Iuran warga dari dua dukuh tersebut terkumpul senilai Rp20 juta digunakan untuk menyewa alat berat tersebut. Selanjutnya, ekskavator didatangkan ke Timbulsloko guna mengalihfungsikan tambak yang sudah rusak menjadi tampungan air rob semacam bendungan.
Namun, ternyata hal itu tak bertahan lama, malah ketinggian air pasang semakin naik. Garis pantai di desa itu telah bergeser satu kilometer hingga dua kilometer, menyusul tenggelamnya tambak milik warga dan hancurnya hutan bakau di pantai tersebut.
Berbagai pihak, baik swasta, pemerintah daerah maupun pusat pun ikut terlibat. Dari sisi regulasi, pihaknya telah menerbitkan peraturan desa (perdes) tentang perlindungan kawasan pesisir. Dalam perdes itu, disepakati kawasan perlindungan pesisir terbagi menjadi tiga zona utama, yaitu area mangrove, area rehabilitasi, dan area larang tangkap.
‘’Untuk area larang tangkap terdapat larangan seperti melintas dengan perahu, menjaring, ngakar, njebak, oyor dan menjala ikan. Bagi yang menebang mangrove bisa dikenai sanksi menanam 100 batang mangrove atau denda Rp25.000,’’ bebernya.
Mohammad Sulkhan, Kasi Pemantauan dan Pemulihan Kantor Lingkungan Hidup (KLH) Demak, menjelaskan bahwa pemanasan global dan degradasi lingkungan menyebabkan terjadinya abrasi dan akresi di empat kecamatan pesisir meliputi Sayung (8 desa), Karangtengah (2 desa), Bonang (5 desa), dan Wedung (5 desa).
Abrasi telah merusak sedikitnya 1.111 hektar pesisir, 1.577 hektar tambak dan 187 hektar permukiman warga. Kecamatan Sayung merupakan wilayah terparah akibat terkena abrasi.
Hutan mangrove yang rusak akibat dikonversi menjadi tambak menyebabkan besarnya kerusakan yang ditimbulkan dari naiknya gelombang dan permukaan air laut. Kerugian tersebut ditaksir sekitar Rp400,25 miliar, meliputi kerusakan tambak, permukiman warga dan mangrove yang tergerus ombak.
“Laju abrasi juga dipicu dari adanya bangunan yang menjorok ke laut, sehingga terjadi perubahan arus dan imbasnya pada daratan di sekitarnya. Bangunan itu seperti reklamasi pelabuhan di Kota Semarang yang berbatasan dengan wilayah Sayung, Demak,” jelasnya.
Hari Adi Susilo, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Demak, menyatakan bahwa saat ini tengah diperluas pemasangan alat pemecah ombak berbasis alam atau disebut dengan hybrid engineering (HE).
Teknologi yang diadopsi dari Belanda ini diyakini mampu mengurangi laju abrasi dan menstabilkan garis pantai dengan membalikkan proses hilangnya sedimen. Secara teknis, jumlah sedimen yang terdeposit di pantai harus lebih banyak daripada yang tersapu.
‘’Prinsipnya hybrid engineering ini bekerja sama dengan alam dan memberikannya sedikit bantuan. Akan tetapi, membiarkannya melakukan kerja keras untuk kami,’’ ujarnya.
Bisa dibilang, kata Hari, HE merupakan pendekatan dari beberapa tahapan perlindungan pesisir dengan tujuan akhir mengembalikan pertahanan alami pantai. HE sendiri dibangun dengan menggunakan bahan‐bahan yang tersedia secara lokal seperti kayu, bambu, dan ranting pohon.
Perangkat ini mengadopsi proses alam, yakni meniru fungsi dari struktur sistem perakaran mangrove alami. Teknik HE diterapkan dalam bentuk petak-petak, ditujukan secara perlahan, tetapi pasti untuk mengembalikan tanah yang terabrasi oleh laut.
‘’Sebelumnya kami pernah membuat alat pemecah ombak di Timbulsloko, tetapi tidak bertahan lama dan malah hilang tersapu ombak,’’ imbuhnya.
Lalu, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) bekerja sama dengan Konsorsium Echosape, Deltares, Imares, Wetlands International, WUR, Witteveen Boss, Kementerian PU dan Perumahan Rakyat, Undip dan UNESCO-IHE meluncurkan program “Membangun Bersama Alam”. Timbulsloko terpilih menjadi desa percontohan HE lantaran desa ini sebelumnya menjadi lokasi program Pengembangan Desa Pesisir Tangguh (PDPT) yang juga dilaksanakan oleh KKP.
Sejak 2013 struktur HE telah dibangun di Dukuh Bogorame dan Dukuh Wonorejo, Desa Timbulsloko. HE memungkinkan dilalui oleh air dan lumpur, mampu memecahkan, tetapi tidak memantulkan gelombang, sehingga sedimen dapat terperangkap di dalamnya.
Bangunan yang menganut sistem perakaran mangrove ini, dalam jangka panjang akan ditanami oleh mangrove setelah sedimennya terkumpul. Selain dari Belanda, lanjutnya, Pemerintah mengucurkan dana dari APBN untuk proyek HE sepanjang 1,6 kilometer di Timbulsloko.
Adapun Pemkab Demak menambah luasan HE itu sepanjang 200 meter dengan alokasi anggaran Rp150 juta dari APBD II. Apri Susanto, Technical Officer Coastal Safety Wetland Indonesia menjelaskan, program ‘’Membangun Bersama Alam’’ mendapatkan bantuan dana senilai 5 juta Euro berbentuk skema public private partnership dari pemerintah Belanda, akan dijalankan selama lima tahun ke depan.
Demak dipilih karena intrusi air laut menyebabkan banjir rob dan telah menenggelamkan 14.700 hektare lahan, merendam enam ribu hektare tambak . Di lokasi proyek percontohan, yakni Desa Timbulsloko telah dibangun dua bendungan dapat ditembus air (permeable) pada akhir 2013. Hasilnya tumpukan sedimen bertambah 40 cm sampai akhir 2014, sehingga butuh tiga tahun untuk mencapai ketinggian sedimen ideal yaitu satu meter. Proses ini lebih cepat dua tahun dibandingkan dengan di Belanda karena kondisi perairan di utara Jawa lebih dinamis.
‘’Teknisnya dua baris kayu yang ditancapkan di tambak warga, tengahnya diisi serasah, yakni kotoran (buangan, sampah, dsb). Sedimen yang terbawa pasang surut air laut harapannya bisa terperangkap. Setelah mengendap satu sampai tiga tahun, mangrove akan tumbuh sendiri secara alami,’’ tukasnya.
Kelanjutan proyek ini akan diserahkan kepada pemerintah daerah setempat dengan mengedepankan aspek pemberdayaan masyarakat sebab dari awal masyarakat dikondisikan agar ikut memiliki dan merawatnya proyek hibrid ini.
Published in