Bakau Ditebang, Luas Daratan Terancam Berkurang

Oleh Zaki Setiawan, IsuKepri.Com, Batam,

peserta lokakarya MPI di Kota Batam, 22-23 Januari 2013

 

PENEBANGAN tanaman bakau di sepanjang bibir pantai di Kepri menjadi pemicu terjadinya abrasi. Jika tidak ada penanaman kembali bakau pengganti, diprediksi dalam lima tahun ke depan, 10% —15%  luas daratan Kepri akan hilang akibat tanah dikikis arus air laut.

Kegelisahan seolah terpendam dari raut muka Masrani (47). Nelayan Kampung Agas, Kelurahan Tanjunguma, Kecamatan Lubukbaja ini mengaku mulai kesulitan mendapatkan hasil dari menangkap ikan di laut sekitar.

Untuk mendapatkan umpan ikan laut dari ikan-ikan kecil seperti belanak dan tamban, perlu waktu hingga sepuluh jam. Sore hari sekitar pukul 18.00 WIB penjerat umpan dipasang, sekitar pukul 04.00 umpan ikan baru didapatkan. Itu pun dalam jumlah yang tidak seberapa sebagai bekal melaut, cukup untuk bekal semalam melaut dengan tiga nelayan.

Namun, apa daya rutinitas melaut sebagai satu-satunya pekerjaan utama tidak bisa ditinggalkan, kecuali rela dapur tidak “ngebul”. Dengan umpan yang didapat, hasil merawai, bisa mencapai 3 kilogram ikan. Merawai merupakan cara nelayan untuk memancing ikan di laut dengan banyak mata pancing.

Minimnya jumlah ikan hasil merawai mulai dirasakan nelayan seiring reklamasi besar-besaran di Pulau Bokor, pulau di sekitar perairan sekitar. Terdapat ratusan nelayan di kawasan Tanjunguma, Tanjungtritip, Patamlestari, dan Tiban yang berada di sekitar proyek reklamasi Pulau Bokor, pulau yang akan dikembangkan sebagai kawasan kepariwisataan di Batam.

Padahal, sebelum ada reklamasi nelayan sangat mudah mencari umpan. Tidak perlu dalam hitungan jam, hanya beberapa menit ikan belanak dan tamban sudah banyak dihasilkan. Bisa untuk bekal melaut bagi minimal lima nelayan yang terkadang masih sisa.

Begitupun dengan  ikan yang dihasilkan dari merawai, sekurangnya bisa mencapai 10 kilogram ikan laut seperti kerapu, pari, kakap merah, hiu kemejan dan unga didapat dalam semalam. Ikan hasil melaut ini di jual ke pasar pagi Jodoh, yang berjarak sekitar 2 kilometer dari Tanjunguma. Dengan harga bervariasi Rp10 ribu-Rp12 ribu per kilogramnya.

“Dalam semalam kami bisa mendapatkan penghasilan Rp100 ribu hingga Rp200 ribu dari hasil melaut,” ungkap Masrani.

Ketua RW 04 Kelurahan Tanjung Uma, Abdul Karim (60), juga merasakan hal yang sama. Dampak reklamasi yang disertai dengan penebangan pohon bakau yang ada di perairan Tanjunguma dan Tiban, berdampak pada hasil tangkapan ikan nelayan.

“Dulu ada dua puluhan keramba dan ratusan tapak kelong yang dimiliki nelayan Tanjunguma. Akibat pengurukan, penimbunan sungai dan perairan, kini tidak ada lagi keramba dan tidak sampai sepuluh tapak kelong yang tersisa,” katanya.

Persoalan berbeda diungkapkan Abas, Ketua RW 06 Kelurahan Sambau, Kecamatan Nongsa. Terkait berkurangnya luas Pulau Putri, salah satu pulau terluar dan tapal batas Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Awalnya, pulau yang berhadapan dengan negara tetangga Singapura ini memanjang dalam satu daratan dekat perairan internasional. Kini pulau itu seperti terbelah tiga dengan perairan yang membatasi di antaranya.

“Dulu, pada tahun 1960-an, luas Pulau Putri mencapai enam kali lapangan sepak bola, sekarang tidak sampai satu lapangan bola kalau laut lagi pasang,” ungkapnya.

Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Kepri, Edi Wan,  menjelaskan tidak hanya abrasi dan musnahnya tanaman bakau yang menjadi persoalan di Perairan Kepri. Namun, juga persoalan limbah dari industri seperti galangan kapal atau shipyard yang beroperasi di bibir daratan dan limbah yang berasal dari transportasi laut atau kapal yang melintasi Perairan Kepri.

Menurut Edi Wan, abrasi terjadi akibat ketidakseimbangan ekosistem laut. Sistem ekologi ini terbentuk oleh hubungan timbal balik antara makhluk hidup dan lingkungannya di laut, seperti karang, bakau, dan pasir yang merupakan faktor dominan bagi ketahanan daratan atau pulau. Ketiga ekosistem ini saling mendukung, jika salah satunya rusak, maka akan mengancam kerusakan ekosistem lainnya.

Keberlangsungan kehidupan karang di antaranya ditentukan oleh hewan karang. Hewan ini sangat sensitif dengan pencemaran atau limbah. Hewan yang biasa menempel pada karang ini akan pergi jika merasa tidak nyaman yang akhirnya akan mengakibatkan karang menjadi rapuh.

Begitupun dengan tanaman bakau di bibir pantai, ketiadaannya akan menyebabkan limbah tidak bisa terurai. Limbah merupakan ancaman berbahaya bagi kesuburan ekosistem laut yang ditandai dengan sedikit-banyaknya jumlah ikan.

“Tahun 1980-an Kepri merupakan penghasil ikan terbesar di Indonesia. Sekarang tidak masuk lagi dalam catatan, akibat berkurangnya kesuburan laut dan illegal fishing,” ungkapnya dalam Seminar Perbatasan di Pulau Putri, Batam, tapal batas NKRI, Sabtu (22/12/2012).

Untuk mengatasi abrasi, Edi Wan menjelaskan, dibutuhkan kesadaran masyarakat sekitar dan kepedulian pemerintah dalam menjaga pulau-pulau, terutama yang ada di perbatasan. Dengan menghijaukan kembali pulau, seperti penanaman bakau yang memiliki manfaat besar bagi menjaga ekosistem laut.

“Jika tidak diantisipasi, tidak menutup kemungkinan Batam akan seperti pantai Utara Jakarta. Terdapat sebanyak 4.208 pulau di Provinsi Kepri. Dengan kondisi saat ini, diperkirakan dalam sepuluh tahun ke depan 10—15  persennya hilang akibat abrasi,” kata Edi.

Selain itu, pengawasan yang ketat terhadap perilaku nelayan dalam menangkap ikan di laut juga harus ditingkatkan. Agar tidak menggunakan peralatan yang justru dapat merusak ekosistem laut, seperti karang. Penangkapan ikan menggunakan bom ataupun pukat harimau oleh kapal-kapal besar yang melanggar ketentuan merupakan sumber kerusakan ekosistem laut.

Sesuai dengan ketentuan, kapal berbobot di bawah 10 GT (gross tons) harus mendapatkan izin dari pemerintah kabupaten/kota untuk melakukan penangkapan ikan di laut dengan alat tangkap berupa pancing, pancing rawa dan bubu. Kapal dengan bobot 10 GT—30  GT, juga harus mendapat izin dari pemerintah kabupaten/kota dengan alat tangkap pancing panjang, jaring dan hanya bisa menangkap ikan mulai 4—12  mil, sedangkan kapal bobot di atas 30 GT harus mendapat izin dari kementerian dengan alat tangkap pukat dan operasi tangkapan di atas 12 mil atau lautan lepas.

“Pengawasan efektif dalam menjaga perairan hanya bisa dilakukan dengan memberdayakan masyarakat atau nelayan,” katanya.

Terkait limpahan limbah di laut Kepri yang banyak diakibatkan oleh aktivitas industri, terjadi akibat jarangnya industri memiliki tempat pengelolaan limbah di darat. Rata-rata limbah industri mengalir bebas ke laut menjadikan laut ibarat “tong sampah” terbesar bagi limbah.

Begitupun dengan aktivitas transportasi dari kapal dan tanker, juga memberikan kontribusi meningkatnya limbah di perairan Kepri. Di tepi-tepi pantai tidak jarang ditemui limpahan limbah kental, licin berwarna hitam.

Setiap tahunnya ada sekitar 365.500 ton limbah di perairan laut Kepri. Maka tidak aneh jika laut menjadi dangkal tertimbun sampah yang tercampur limbah.

Mengalirnya limbah-limbah ke laut, menyebabkan ikan, tumbuhan dan karang mati. Hewan laut seperti ikan, kuncinya pada insang dan akan tertutup jika terkena limbah.

“Diperlukan koordinasi dengan pihak-pihak terkait lintas sektoral dalam mengatasi limbah di laut. Izin bagi perusahaan shipyard harus diperketat dan hanya diberikan bagi mereka yang telah memiliki pengelolaan limbah di darat. Serta memberikan sanksi yang tegas bagi perusahaan yang melanggar dan kapal-kapal yang memberikan kontribusi limbah di perairan laut Kepri,” jelasnya.

Sementara itu Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Kota Batam, Dendi Purnomo menyatakan bahwa rusaknya tanaman bakau atau mangrove di Kota Batam banyak diakibatkan oleh reklamasi dan pengembangan industri. Proses pembangunan di sejumlah wilayah pesisir pantai yang mengabaikan dampak lingkungan ini telah menyebabkan punahnya tegakan mangrove.

Pada tahun 1990 tegakan mangrove di Kota Batam mencapai 27% atau 1.500 km² dari luas Pulau Batam 415 km² (41.500 ha). Kini luas tegakan mangrove mengalami penyusutan sampai 23%.

“Saat ini tegakan mangrove di Kota Batam tinggal 4% saja dari sebelumnya 27% atau tinggal sekitar 14,6% saja,” ungkapnya.

Mengatasi ancaman punahnya mangrove di seluruh kawasan perairan di Kota Batam, Dendi mengaku bahwa Pemerintah Kota Batam telah melakukan sejumlah kebijakan. Di antaranya mewajibkan penanaman 2 hektar mangrove atas setiap hektar penebangan mangrove yang digulirkan sejak 2008. Serta meningkatkan kerja sama lintas sektoral dalam menjaga kelestarian dan penanaman kembali mangrove.

“Pemerintah Kota Batam memiliki komitmen, minimal 30% untuk mempertahankan hutan di setiap pulau. Sekarang komitmen ini meningkat menjadi 37 persen karena sekali hilang hutan, tidak bisa diharapkan lagi untuk tumbuh,” katanya.

 

 

Published in ClimateReporter