Oleh Ma’as
Wartawan Media Jambi, Kota Jambi, dengan penugasan ke Papua
(Catatan penulis: “Ucapan terima kasih kepada LPDS yang telah memberi kesempatan kepada saya untuk mengikuti Liputan Daerah Ketiga (LDK) di Provinsi Papua. Banyak pengalaman yang diperoleh dari hasil liputan tersebut. Mudah-mudahan dapat berlanjut untuk tahun-tahun ke depan. Pasalnya, persoalan kerusakan lingkungan yang mengakibatkan perubahan iklim jarang sekali wartawan yang menulis. Dengan adanya lokakarya ini setidaknya peserta memahami peliputan perubahan iklim di daerah lain.”)
Kalau malam Jayapura itu indah seperti Hong Kong, tetapi kalau siang kosong seperti kebun singkong. Itu kata pemeo. Memang demikian, ibu kota Provinsi Papua itu indah pada waktu malam. Lampu gemerlapan dari bangunan dan kapal yang bersandar di teluk. Ya, seperti di Hong Kong. Namun, siang tak lagi kosong. Kota yang cekung dikelilingi bukit itu kini telah jauh berubah.
Beberapa tahun lalu perbukitan itu berhutan lebat. Akibat bertambahnya jumlah penduduk, kawasan itu dijadikan perladangan dan pemukiman masyarakat.
Perbukitan di Papua berpasir berbeda dengan daerah lain, sehingga jika hujan turun tidak dapat menahan air dan terjadilah banjir lumpur. ”Jika kondisi ini tidak ditangani secara serius dalam beberapa tahun ke depan Kota Jayapura bakal terkubur, tinggal kenangan dan ini sangat mungkin terjadi, mengingat lereng perbukitan yang curam,” ujar Hanggua Rudi Mebri, Direktur Yayasan Emrereuw Sentani Papua, sebuah organisasi peduli lingkungan.
Pemerintah, kata dia, tidak tegas dan terkesan bekerja setengah hati dalam penyelamatan lingkungan. “Dampaknya ketika hujan turun sedikit saja sebagian wilayah sudah terendam dan ini tinggal menunggu bom waktu saja. Berbeda dengan banjir di daerah lain,” ujarnya.
Dikatakannya, Kota Jayapura dengan luas wilayah 94.000 hektare terdiri atas lima distrik, yaitu Distrik Abepura, Jayapura Selatan, Jayapura Utara, Muara Tami, dan Disrik Heram. Terdapat kira-kira 30 persen tidak layak huni karena terdiri atas perbukitan yang terjal, rawa-rawa, dan hutan lindung. “Tapi sebagian wilayah itu kini berubah menjadi pemukiman,” katanya menjelaskan.
Selain itu Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang disahkan belum berjalan. Seharusnya pemerintah menetapkan mana-mana daerah yang boleh dibangun dan dilarang agar aturan tersebut dapat dipatuhi dan ada sanksi tegas bagi yang melanggar.
Untuk mengatasi masalah ini dibutuhkan komitmen dan kerja sama berbagai pihak. Regulasi penegakan aturan mendesak dilakukan. Dia menawarkan untuk pelestarian lingkungan agar melibatkan kelompok adat, yaitu Majelis Rakyat Papua (MRP) dan duduk bersama. “Kondisi Papua tidak sama dengan daerah lain di Indonesia. Kami memiliki adat tersendiri. Saya sudah sarankan solusi ini di hadapan Gubernur Papua,” ucapnya.
Ulah manusia
Koordinator Divisi Jaringan Kerja Rakyat (Jerat) Papua, Esra Mandosir, menjelaskan banjir terjadi di Jayapura. Selain penggundulan hutan di perbukitan, RTRW belum jelas dan faktor manusia sendiri. Hasil pantauannya, banjir disebabkan di atas Bukit Angkasa akibat tangan-tangan jahil. “Pemerintah daerah kurang peduli terhadap kerusakan lingkungan dan setelah bencana datang baru sibuk melakukan penanaman pohon,” ujarnya.
Masyarakat, katanya, dibiarkan bermukim di lereng bukit yang curam dan tinggal di bantaran sungai. Selain itu saluran air yang dibangun di sepanjang jalan terlalu sempit dan ketika hujan, air melimpah ke jalan. “Inilah beberapa penyebab terjadinya banjir,” ungkap dia.
Pemerintah harus merelokasi masyarakat yang bermukim di lereng bukit yang curam, tinggal di bantaran sungai ke tempat yang aman. Selanjutnya regulasi aturan harus ditegakkan. “Pemerintah jangan tunduk pada pengusaha,” ujarnya.
Menanggapi masalah ini, Kepala Biro Humas dan Protokol Setda Provinsi Papua, F. X. Mote mengakui selama ini Provinsi Papua belum memiliki RTRW. RTRW baru beberapa waktu lalu disahkan dan disosialisasikan ke tengah masyarakat. “Jadi dengan adanya RTRW akan ditetapkan mana-mana daerah yang dibangun dan yang dilarang,” ujarnya saat ditemui di ruang kerjanya.
Luas kawasan hutan yang ada 46.169,52 hektare. Terdiri atas hutan konservasi 707,63 ha, hutan lindung 12.130,09 ha, hutan produksi 7.701,13 ha, hutan produksi konservasi 9.277,29 ha dan areal penggunaan lain 10.043,40 ha.
Pemerintah, kata dia, telah menetapkan kawasan cagar alam yang harus dilindungi. Salah satunya kawasan Pegunungan Cycloop yang terletak di Kota Jayapura dan Kabupaten Jayapura, yang rencananya akan dijadikan kawasan hutan untuk paru-paru Jayapura. “Kami juga sudah memberlakukan program serupa untuk menjaga kelestarian dan sumber daya hayati di kawasan ini bersama Badan Lingkungan Hidup (BLH), Club Pecinta Alam (CPA), Universitas Cenderawasih (Uncen) dan Universitas Sains dan Teknologi Jayapura (USTJ),” jelasnya.
Kawasan ini harus dijaga sebab hutan ini satu-satunya penyangga kehidupan satwa, baik itu di Kabupaten Jayapura ataupun Kota Jayapura. Selain itu kawasan ini merupakan daerah tangkapan air juga sebagai pasokan air untuk Kota Jayapura.
Upaya dilakukan pemerintah untuk menjaga kelestarian hutan, seperti rehabilitasi hutan dan lahan, pembentukan kelompok-kelompok binaan, penyuluhan. Pemasangan papan imbauan dan pembentukan satgas pengamanan.
“Setiap ada kunjungan gubernur ke suatu daerah selalu melakukan penanaman pohon. Jadi kami sangat concerned untuk melestarikan hutan,” ucapnya. (*)
Published in