Titik Tengah Indonesia Dibangun dan Digugat

Laporan Agus Nuryadhyn, Hr Bangka Pos, Pangkalpinang, 26 September 2016

Penulis adalah peserta Lokakarya Meliput Daerah Ketiga Angkatan Keempat (MDK IV). Agus mendapat tugas ke Makassar, Sulawesi Selatan, 24-28 Agustus 2016. Lokakarya diselenggarakan Lembaga Pers Dr. Soetomo dan Kedutaan Norwegia 23 – 31 Agustus 2016

 

Makassar, ClimateReporter – Langkah saya terhenti, saat berada di Pantai Losari, Kota Makassar. Mata berpusat pada  jembatan berbentuk rumah adat suku Toraja bertiang 10 pancang.

 

 

Dari Pantai Losari dapat terlihat satu lokasi yang di atasnya ada satu bangunan gedung sebagai wisma negara. Di lokasi itu merupakan proyek pembangunan Centre Point of Indonesia (CPI), yang juga disebut sebagai titik tengah Indonesia.

Bila pandangan beralih ke arah bagian barat dari Pantai Losari ada terdapat satu pulau, yang disebut sebagai Pulau Lae lae.

Mungkin, tidak banyak orang tahu, titik tengah Indonesia yang berada di Makasar. Itu pun, sesungguhnya masih kurang tepat berada di tengah. Bila ditarik garis dari ujung Sumatera hingga ujung Papua seharusnya letak titik tengah indonesia itu tepat berada di sekitar laut Selat Makassar.

Lahan reklamasi saat ini dalam proses pembangunan. Desain berbentuk burung garuda dilihat dari atas. Dari kepala, sayap dan ekor burung garuda lahan yang dipergunakan sekitar 60 hektare. Sekitar 80 persen dikelola pemerintah daerah.

Dari proyek CPI seluas 157 hektare, diantaranya di atas lahan reklamasi untuk Pemprov Sulawesi Selatan akan dibangun Masjid berkubah 99, kantor pemerintahan, area terbuka hijau, taman interaktif dan terdapat pula pantai buatan.

Sebelumnya di sekitar lahan reklamasi itu, ada terdapat tanaman mangrove, yang luasnya 2-3 hektar.

Di seberang areal reklamasi terdapat Pulau Lae lae, yang dihuni lebih dari 1.600 jiwa di pulau seluas 8 hektar.

Dibangunnya proyek reklamasi, membuat kekhawatiran masyarakat yang tinggal di sekitar Pulau Lae-lae. Karena sewaktu-waktu datang gelombang besar yang bisa menghantam rumah penduduk yang berada di sekitar bibir pantai pulau Lae-lae. Selain itu dapat mengurangi penghasilan nelayan, yang kesehariannya menggantungkan hidup mencari udang dan kepiting. Ini terjadi saat pembangunan CPI dimulai sekitar tahun 2009-2010.

Walhi menggugat

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Walhi, menggugat CPI karena memandang proyek ini melabrak peraturan perundang-undangan.

Menurut Direktur Eksekutif Walhi Makassar Asmar, aspek pokok ijin reklamasi dan amdal pemerintah daerah CPI belum rampung. Sedangkan proses pelaksanaan reklamasi sudah dilakukan sekitar 10 hektar.

“Kita menganggap ada persoalan  kewenangan dan prosedur yang sudah dilabrak,” tegas Asmar. Walhi minta moratorium dan penghentian proyek reklamasi, Asmar mengatakan.

“Dalam persoalan ini Walhi bukan hanya membuktikan pencemarannya tapi juga kerusakan terhadap oceanografi, ekosistim yang ada di laut. Walhi menggugat untuk mencegah kerusakan yang terjadi,” jelasnya.

Menurut Asmar, untuk mengatur wilayah pesisir itu harus ada zonasinya. Sedangkan saat ini, untuk zonasi belum ada.

Asmar mengatakan perspektif budaya Sulsel merupakan budaya bahari. Karena sejak zaman dahulu Sulsel menggunakan pinisi yang merupakan simbol bahari

“Proyek CPI menghilangkan nilai budaya, Karena proyek CPI ini merupakan konsep kota modern,”katanya. Sehingga pembangunan CPI berdampak terhadap perubahan alam.

Asmar mengemukakan reklamasi dapat berakibat merusak ekologi oceanografi sedimentasi, dan  akan dapat mengancam masyarakat yang berada di Pulau Lae lae.

Bahkan menurut Asmar, peneliti dari Universitas Hasanuddin (Unhas) menyatakan 60 persen wilayah pesisir sudah rusak.

“Apabila dilakukan reklamasi, maka akan menambah lebih parah kerusakannya. Makanya Walhi menolak reklamasi,” jelas Asmar.

Namun pemerintah provinsi Sulsel terus melakukan pembangunan proyek CPI ditargetkan selesai 2020.

Pemerintah Provinsi Sulsel akan menjadikan pembangunan CPI sebagai ikon Kota Makassar.

Tokoh masyarakat Pulau Lae lae Umar Daeng Situju menjelaskan lokasi yang saat ini menjadi tempat proyek CPI itu dulunya sebagai tempat masyarakat nelayan mencari udang .

Sebelum pemasangan tiang pancang, Umar Daeng Situju menjelaskan waktu itu baru ada papan proyek. Saat itu, pendapatan nelayan dari menangkap udang, kepiting cukup besar.

“Sebelum ada reklamasi, kami bisa mendapatkan 100 hingga 200 keranjang udang kecil sebagai bahan baku untuk membuat terasi. Namun sekarang ini, pendapatan hanya sekitar 30 keranjang,” ujarnya.

Lelaki paruh baya itu menyebutkan sebelum dibangun reklamasi CPI  di area Marisol, ada 2 hingga 3 hektar merupakan tanaman mangrove.

Bahkan, Umar Daeng Situju mengatakan masyarakat yang berada di Pulau Lae lae merasa terancam dengan adanya pembangunan CPI.

“Bila CPI tersebut dibangun, dampaknya bila saat ombak besar datang masuk ke pulau Lae lae, hingga ombak menghempas masuk ke rumah. Sebelum ada pembangunan pantai, ombak tidak ada naik ke pulau,” jelasnya.

Ombak itu dari barat ke timur dan saat kembali ke barat itulah kata Umar Daeng Situju, dapat menghantam ke pulau dan kenyamanan tidur masyarakat pada saat malam hari bisa terganggu.

Senada H Sukiman juga tokoh masyarakat Lae lae, mengemukakan dibangunnya CPI akan berdampak pada penduduk Pulau Lae lae. Dari segi keamanan, masyarakat merasa khawatir dan terancam akan hempasan ombak yang masuk ke pulau. Hempasan ombak dirasakan saat memasuki musim angin barat. Saat gulungan ombak menerjang pembatas reklamasi, dan saat kembali menuju ke arah pulau Lae lae.

“Kalau betul-betul dibangun, maka bisa berdampak terhadap pulau yang ada di sekitar tempat pembangunan proyek CPI,” tegas Sukiman yang didampingi Ketua LPM Pulau Lae Lae M Syargani.

Jalur transportasi bagi nelayan pesisir dan masyarakat dari pulau lainnya di sekitar Makassar menjadi sempit, kata Sukiman.

Ditemui terpisah Daeng Bollo, ibu rumah tangga berusia 57 tahun ini pernah tinggal di sekitar lahan yang saat ini direklamasi mengaku sudah tidak dapat lagi mencari udang kecil.

“Dulunya saat tinggal di sekitar areal reklamasi, udang kecil banyak di dapatkan. Dengan adanya pembangunan reklamasi CPI, penghasilan kami sudah berkurang, dan kepiting sedikit ditemukan,” jelasnya.

Ibu memiliki tujuh orang anak menjelaskan bahwa tanaman mangrove yang ada di lokasi tempat dulunya ia tinggal, bahwa dialah yang menanam.

“Tanaman mangrove ini dapat menahan abrasi dan membuat tanah menjadi tertahan,” ujarnya.

BLHD menjawab

Kepala Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD)  Provinsi Sulawesi Selatan, H Andi Hasbi Nur, menjelaskan di lokasi CPI itu baru ada  bangunan jembatan dari besi dan bangunan Wisma Negara.  Lahan yang akan direklamasi itu seluas 157 hektar.

Pemerintah provinsi tidak saja mereklamasi lahan seluas 157 hektar. Namun hampir di seluruh pesisir pantai Makassar akan direklamasi. Karena Kota Makassar merupakan daerah rendah.

Dari hasil penelitian, pada 100 tahun ke depan ada beberapa kampung yang ada di daerah sekitar Selat Makassar akan tenggelam.

Bahkan Pulau Lae lae juga akan direnovasi, tapi tidak disambung dengan proyek CPI.

Untuk menanggulangi jangan sampai air laut masuk ke darat, maka pesisir pantai di Makassar dinaikKan hingga 2 meter.

“Wilayah pesisir pantai dan lokasi CPI  akan dinaikKan 2 meter. Hal ini dilakukan untuk mempengaruhi naiknya air laut,” jelasnya.

Pembangunan proyek CPI itu dimulai tahun 2009, sedangkan untuk pemancangan dilakukan pada tahun 2010 hingga 2011 dan target penyelesaian proyek pembangunan CPI pada tahun 2020.

“Dana untuk pembangunan itu besar, karena untuk timbunannya saja sudah tembus angka triliunan rupiah. Kalau menggunakan dana APBD terlalu lama prosesnya dan akan menyerap dana. Makanya pembangunan proyek ini dilakukan kerjasama dengan phak ketiga, untuk bantu reklamasi” jelas Hasbi.

Di sisi lain Hasbi mengatakan pembangunan CPI untuk memperbaiki kondisi pantai dan mempercepat proses agar menjadi lebih baik. karena di lokasi CPI ini merupakan tempat sedimentasi.

“Tanpa dilakukan reklamasi pun, pada akhirnya akan tertutup dan terjadi sedimentasi. Karena dari Sungai Jeneberang pernah ada kalderan yang runtuh, jatuh masuk sungai dan mengalir hingga ke laut Selat Makassar hingga mengarah di lokasi CPI itu,” kata Hasbi.

Hasbi mengemukakan gugatan Walhi itu mempersoalkan reklamasi. Lembaga advokasi lingkungan itu menganggap perijinan reklamasi yang keluar itu tidak benar, dan  menurut Walhi belum ada zonasi .

“Bukan amdal yang dipersoalkan, tapi ijin reklamasi. Karena menurut Walhi belum ada aturan zonasi. Sedangkan untuk zonasi saat ini sedang dibahas di Pemrov Sulsel,” jelasnya.

Dalam aturan tentang zonasi, menurut Hasbi, itu harus mengacu pada rencana tata ruang terhadap zonasi atau rencana tata ruang.

“Sekarang secara hukum, kita punya RTRW,” ungkapnya. Namun Hasbi mengemukakan ke depan Sulsel membutuhkan zonasi.

 

Published in ClimateReporter