“Puntung” Masih Menyisakan Bara

Aries Munandar, koresponden harian Media Indonesia, Pontianak.
peserta kunjungan kawasan ke Desa Tanjungleban, Riau, Juni 2014

Kebakaran lahan berangsur padam saat hujan mulai mengguyur pada akhir Maret 2014.
Namun, rentetan dampaknya masih membara.

(Catatan penulis: Lokakarya Meliput Perubahan Iklim dan kunjungan kawasan di Riau 30 Mei – 4 Juni 2014 merupakan pengalaman berharga. Banyak pengetahuan baru yang diperoleh. Dari segi teknis meliput dan menulis hingga pengayaan wawasan tentang perubahan iklim.  Kegiatan ini sekaligus menyegarkan kembali pengetahuan lama yang sering kali terlupa karena pekerjaan jurnalistik dianggap sudah menjadi rutinitas.Rasa kekeluargaan antarpeserta dan dengan para mentor serta panitia juga menjadi nilai plus dalam kegiatan ini.)

PUPUS sudah harapan Tugiadi. Keinginannya untuk segera menempati rumah baru kini tinggal cerita. Jilatan api dari lahan gambut yang terbakar membuyarkan mimpi lelaki berusia 53 tahun itu.

Rumah seukuran 6 x 5 meter tersebut telah kehilangan separuh wujudnya. Jilatan api hanya menyisakan atap dan beberapa potong dinding semen. Bagian lainnya hangus dan terjerembab ke tanah.

“Rumah sebenarnya sudah 75% (rampung). Biayanya habis sekira Rp12 juta,” ujar warga Dusun Bukitlengkung, Kabupaten Bengkalis, Riau itu. Tugiadi menetap di dusun yang berada di Desa Tanjungleban, Kecamatan Bukitbatu tersebut sejak tiga tahun lalu. Dia selama ini menumpang di salah satu rumah warga setelah hijrah dari kampung halamannya di Deli Tua, Sumatera Utara. Sekira enam bulan lalu Tugiadi mendirikan rumah. Jaraknya dua kilometer dari tempatnya menumpang.     

Rencana tinggallah rencana. Tugiadi dan istrinya, Nani Suryani, harus memendam hasrat untuk memiliki rumah karena keburu disergap api.

Rumah Tugiadi terbakar bersama tiga rumah warga lainnya. Petaka itu melanda pada 20 Februari 2014, bersamaan dengan maraknya kebakaran lahan gambut di Bukitlengkung.

Api mulai mengepung permukiman warga sekitar pukul 15.30 WIB. Serangannya cepat dan dahsyat, sehingga warga kewalahan. Berember-ember air yang diguyurkan ke lahan terbakar tak mampu menjinakkan api.

Rumah di kanan kiri kediaman Tugiadi tersebut pun akhirnya hangus menjadi puing. Begitu pula gedung madrasah yang berada di satu hamparan, tiga lokalnya sekejap menjadi abu dan arang. “Api berkobar sejak sore, kami tidak tahan lagi. Kami mundur (berhenti memadamkan api) sekitar jam 9 malam,” kenang Tugiadi.

Kebakaran lahan di Bukitlengkung tak hanya menghanguskan bangunan. Setidaknya dua ribu hektare akasia dan kelapa sawit juga terpanggang. Perekonomian setempat pun lumpuh karena kelapa sawit menjadi tulang punggung pendapatan warga.

“Dari dua hektare kebun sawit milik saya (sekira 300 pohon), tinggal 30 pohon sawit yang selamat,” ucap Sukandar, 36 tahun, lirih.

Nasib serupa juga dialami oleh Sutarno, 56 tahun. Separuh dari tiga hektare kebun sawitnya yang siap dipanen hangus diamuk api. Keuntungan sekira Rp1,5 juta yang membayang di depan mata pun pupus.      

Kebakaran lahan di Bukitlengkung telah padam saat hujan mulai mengguyur pada akhir Maret. Namun, rentetan dampaknya masih membara. Banyak warga tak bisa lagi berkebun karena lahan telah porak-poranda. Begitu pun untuk mengganti tanaman yang mati. Mereka tak sanggup membeli bibit sawit yang seharga Rp12 ribu sebatang akibat gagal panen.

“Mereka tak punya penghasilan lagi. Kami berharap pemerintah memberi bantuan bibit sawit,” ucap Kepala Dusun Bukitlengkung, Aswanto.    

Lahan bekas terbakar akhirnya dibiarkan telantar. Ribuan bahkan mungkin jutaan pohon kelapa sawit dan akasia mati bergelimpangan di hamparan gambut. Onggokan pohon mengering tersebut bak puntung yang sewaktu-waktu membara kembali kala musim panas terik tiba.

“Sekarang ini dalam kondisi basah. Jadi, relatif aman (dari kebakaran). Kalau kering, berpotensi terbakar lagi,” kata anggota Tim Pakar Pusat Studi Bencana (PSB) Universitas Riau, Arifudin.

Jika sampai terbakar lagi, Bukitlengkung akan kembali menyumbang emisi gas rumah kaca pemicu pemanasan global. Karbon yang bertambat di lapisan gambut dan tanaman memuai menuju atmosfer.

Agus Fahmudin dan I G Made Subiksa dalam Lahan Gambut: Potensi untuk Pertanian dan Aspek Lingkungan, menyebut kandungan karbon pada lahan gambut beserta vegetasinya lebih besar 10 kali lipat daripada tanah mineral. 

Reklamasi
Tak mau wilayahnya terus disorot gara-gara kebakaran lahan, perangkat Desa Tanjungleban pun menyiapkan beberapa rencana aksi. “Lelah juga awak, nih, sebentar-sebentar dipanggil Bupati, Pak Camat, ngurus soal asap,” ucap Kepala Desa Tanjungleban, Atim.

Rencana aksi itu di antaranya, mewajibkan setiap pemilik lahan gambut membangun penyimpanan air. Ketentuan ini berlaku untuk kepemilikan lahan di atas 10 hektare. Itu guna mengantisipasi kebutuhan air sewaktu terjadi kebakaran lahan. “Untuk lahan yang 1—2 hektare, pembuatan kantong air diambil dari kas desa (disubsidi),” lanjutnya.

Pemerintah desa juga bakal menggalakkan budi daya nanas di lahan bekas terbakar. Komoditas ini dipilih berangkat dari pengalaman di lapangan. Gambut yang ditanami nanas tak pernah kecipratan kebakaran lahan. Lidah api seakan menghindar saat melintasi lokasi penanaman tersebut. “Lahan di sekililingnya terbakar, tapi nanas tak ikut hangus,” ungkap Atim.

Nanas selama ini sudah dibudidayakan oleh beberapa warga Tanjungleban dan wilayah di sekitarnya. Atim juga mulai tertarik membudidayakan buah dengan kulit bersisik tersebut. Dia menanam 12 ribu bibit nanas di lahan seluas 50 x 50 meter di belakang rumah. 

Sang kepala desa itu berharap besar terhadap budi daya nanas. Apalagi, sudah ada tiga pengusaha yang berjanji menampung hasil panen. Dia pun bakal mendekati petani korban kebakaran lahan di Bukitlengkung agar beralih usaha ke budi daya nanas. Dari pada mereka menganggur, lebih baik bertanam nanas, begitu alasannya. “Bibit nanas juga murah tidak sampai Rp200. Hasilnya cukup lumayan,” jelas Atim.

Soal nanas yang kebal terhadap serangan api dijelaskan secara ilmiah oleh pakar gambut dari Universitas Riau, Haris Gunawan. Menurutnya, tekstur yang kaku membuat daun nanas tak mudah terbakar seperti daun tanaman lain. Begitu pula buahnya yang sarat air. Jarak tanaman nanas yang rapat juga menyulitkan api untuk membesar.

“Tapi ini solusi jangka pendek. Jadi, budi daya nanas harus diikuti penanaman vegetasi lain. Semisal lidah buaya, dan pohon berkayu,” tegas Haris, yang juga Direktur Pusat Studi Bencana, Universitas Riau. *

Published in ClimateReporter