Koresponden Harian Umum Sinar Harapan di Kendari, peserta MDK III Agustus 2015 dengan penugasan ke Pekanbaru
Ya Allah, limpahkan rezeki dan rahmat-Mu kepada pengunjung yang menjaga
kebersihan dan kerapian tempat ini, Amin.
Bocah perempuan memakai penutup kepala tampak mengangkat kedua tangan,
menengadah seolah mengucapkan deretan untaian kalimat tersebut.
Itulah papan reklame yang terpampang di pinggir kawasan hutan larangan adat Ghimbo Potai, di Desa Rumbio, Kecamatan Kampar, Kabupaten Kampar, sekira 48 kilometer arah barat Pekanbaru, ibu kota Provinsi Riau.
Dinamakan Ghimbo Potai karena dahulu di lokasi tersebut terdapat banyak tumbuhan potai, sedangkan ghimbo dalam bahasa masyarakat setempat berarti hutan.
Sepintas gambar dan tulisan papan reklame di pinggir hutan tersebut tidak berbeda dengan papan reklame kebanyakan. Namun. bila ditelisik lebih jauh, pesan moral dalam papan reklame tersebut bermakna mendalam dan mengandung kekuatan magis. Boleh jadi pepohonan berukuran besar berusia ratusan tahun seperti kayu kempas (Koompassia malaccensis), tumbuhan suku Caesalpiniaceae, berlingkar batang sekira tiga meter masih tampak berdiri tegak di kawasan hutan itu berkat kekuatan dari doa yang tertulis pada papan reklame tersebut.
“Pohon-pohon berumur ratusan tahun di kawasan ini, dilindungi oleh masyarakat yang masih memegang teguh adat istiadat. Masyarakat adat beranggapan melindungi hutan ini sama halnya melindungi kehidupan anak cucu,” kata Hasim (60), warga Rumbio Sabtu (22/8).
Hasim singgah beristirahat melepas lelah di hutan tersebut setelah kembali dari kebun karet miliknya.
Dahulu, kata Hasim, pengelolaan hutan larangan adat Ghimbo Potai dikepalai oleh Datuk Godang sebagai kepala adat Rumbio. Sekarang pengelolaannya dipercayakan kepada Masriadi, cucu Datuk Godang. Masriadi tinggal di Desa Padangmutung.
“Kalau ingin mendapatkan keterangan asal-muasal kawasan hutan larangan adat Rumbio, hubungi Pak Masriadi. Dialah yang mengetahui pengelolaan hutan ini, sehingga tetap lestari,” kata Hasim.
Dihubungi melalui telepon selulernya dari Desa Padangmutung, Sabtu (22/8), Masriadi menjelaskan bahwa semula kawasan hutan adat larangan Ghimbo Potai seluas 1.500 hektare lebih. Akibat penggunaan lahan perkebunan oleh masyarakat sekitar, luasnya menyusut tersisa 571 hektare.
“Kawasan hutan yang tersisa itu meliputi empat wilayah desa di Kampar, yakni Desa Rumbio, Padangmutung, Pulansera dan Koto Tibun,” kata lelaki penerima Kalpataru tahun 2011, penghargaan tertinggi bidang lingkungan.
Menurut Masriadi, warga di empat desa tersebut rata-rata hidup sebagai petani sawit dan tanaman karet. Di samping hasil pertanian tanaman pangan, hortikultura, dan tambak ikan.
“Dalam menjual produksi kelapa sawit atau getah karet, warga tidak perlu repot-repot datang ke perusahaan industri pengolahan. Pihak pengelola perusahaan industri sendiri yang datang menjemput sawit atau getah karet warga dan bayar di tempat,” kata lelaki yang mengelola Yayasan Pelopor Sehati, LSM peduli lingkungan di Kampar itu.
Sanksi Sosial
Hutan larangan adat Ghimbo Potai dikuasai oleh Suku Domo dan Pitopang Kedua. Suku tersebut merupakan leluhur warga Kenegerian Rumbio.
Meski demikian, hasil dari pengelolaan hutan tersebut digunakan untuk seluruh anak kemenakan Kenegerian Rumbio.
Dalam melindungi kawasan hutan larangan adat Ghimbo Potai dari ancaman kerusakan, menurut Masriadi, sejak tahun 1996 para pemuda desa bersama masyarakat adat Kenegerian Rumbio bersepakat menerapkan sanksi sosial bagi siapa saja yang terbukti menebang kayu di hutan larangan adat.
Selain itu, juga diberlakukan denda berupa uang Rp8 juta bagi pelaku yang menebang pohon minimal enam batang.
“Saya bersama para pemuda kampung yang memprakarsai penerapan sanksi sosial dan denda uang kepada para penebang kayu di hutan secara ilegal,” katanya.
Menurut Masriadi, sebelum terduga pelaku penebang kayu dijatuhi hukuman denda atau sanksi sosial, lebih dahulu dihadapkan pada sidang adat yang dipimpin kepala adat. Jika terbukti bersalah, barulah pelaku dijatuhi sanksi atau denda.
“Sanksi sosial paling ringan adalah pelaku membersihkan masjid, kantor desa, dan sebagainya. Adapun sanksi berat, pelaku diharuskan memperbaiki jembatan, masjid, atau membayar denda Rp8 juta,” kata ayah dari tiga orang putra itu.
Penerapan sanksi sosial dan denda uang tersebut tampaknya cukup ampuh melindungi hutan larangan Ghimbo Potai di Kampar.
Sejak sanksi sosial dan denda uang diterapkan, luas kawasan hutan sudah bertahan, bahkan bertambah karena penanaman kembali oleh masyarakat adat.
“Kalau kita ukur kembali, luas kawasan hutan larangan adat itu sudah bisa bertambah hingga ratusan hektare ,” ujar lelaki kelahiran 13 Juli 1969 itu.
Sementara itu, aktivis Walhi, Riko Kurniawan, mengatakan bahwa hutan adat Rumbio memungkinkan untuk bertahan dan terus terpelihara.
Karakternya yang khas adalah letaknya di kontur tanah perbukitan, yang relatif sejuk dan menjadi sumber air yang bagus. Sumber air itu menjadi napas kehidupan warga sekitar hutan.
“Jadi,” ujar Riko, “dengan sumber air di kawasan hutan itu, masyarakat adat setempat akan menjaganya dengan lebih baik. Akan tetapi, hal itu tidak akan menjamin kelestarian kawasan hutan larangan adat Rumbio.”
Jika permintaan kayu dari sejumlah perusahaan terus meningkat dan kayu di hutan alam menyusut, bukan tidak mungkin suatu saat nanti kawasan hutan larangan adat Rumbio akan dirambah. Oleh karena itu, perlu ada antisipasi dini dengan cara membuatkan zonasi pada kawasan hutan larangan adat Rumbio tersebut.
“Hutan primer pada hutan larangan mesti dijadikan zona inti (core zone). Lalu dibuat zona penyangga (buffer zone), dan zona transisi di bagian lain kawasan hutan. Dengan begitu, zona inti akan tetap terjaga kelestariannya,” katanya.
Tempat Penelitian
Kawasan hutan larangan adat Ghimo Potai terletak di daratan perbukitan dengan karakter alam tropis Sumatera. Di belantara yang sudah dijaga ratusan tahun itu banyak terdapat flora dan fauna endemik, antara lain pohon petai, meranti, pulai, jelutung, dan kempas; biawak bersisik, kura-kura, dan berbagai jenis kupu-kupu.
“Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah menjadikan kawasan hutan larangan Ghimbo Potai sebagai kawasan wisata terbatas dan pusat penelitian ekologi karena keanekaragaman hayati di kawasan itu,” kata Masriadi.
Berbagai kalangan di Kampar mendesak pemerintah melindungi Ghimbo Potai agar tidak rusak, sebagaimana keadaan sebagian besar hutan negara di Riau.
Kepala Dinas Kehutanan Riau, Fadrizal Labay, yang ditemui di Pekanbaru, Jumat (21/8) mengapresiasi kearifan lokal masyarakat Kenegerian Rumbio yang masih terus menjaga dan melindungi kawasan hutan adat di Kampar.
“Di Riau kami mendorong kelompok-kelompok adat masyarakat mengembangkan pengelolaan hutan melalui program social forestry,” katanya.
Social forestry, kata Fadrizal, merupakan program pengelolaan hutan yang dapat memberi manfaat sosial bagi masyarakat sekitar kawasan hutan. Maksudnya, masyarakat diberikan akses memanfaatkan potensi kehidupan yang ada di kawasan hutan, tetapi tidak dibolehkan merusak hutan.
Menurut Fadrizal, selain hutan larangan adat Ghimbo Potai, di Riau juga terdapat beberapa hutan adat lain, di antaranya hutan adat Imbo Putui (Rimba yang putus) di Desa Petapahan, Kecamatan Tapung, Kabupaten Kampar.
Masyarakat adat yang menguasai 270 hektare hutan itu, kata dia, juga menerapkan sanksi denda bagi siapa saja yang menebang kayu di dalam kawasan hutan tanpa izin dari kepala adat.
“Di Riau ini ada kurang lebih 2.500 hektare kawasan hutan yang dikelola oleh masyarakat adat. Kita terus mengedukasi masyarakat adat agar terus menjaga dan mempertahankan kelestarian hutan yang dikelola itu,” kata Fadrizal.
Riau memiliki kawasan hutan seluas 4,6 juta hektare. Seluas 2,6 juta hektare dari kawasan hutan tersebut sudah dialihfungsikan untuk berbagai kepentingan dan 1,7 juta hektare menjadi lahan konservasi, selebihnya hutan produksi terbatas.
Fadrizal berharap melalui program social forestry, hutan larangan adat Ghimbo Potai dan hutan adat lainnya di Riau bisa terpelihara, sehingga menjadi kawasan penyangga keseimbangan alam dan paru-paru dunia yang memproduksi oksigen di wilayah Riau khususnya dan Indonesia bahkan dunia pada umumnya.
Catatan: Tulisan ini sudah dimuat Sinar Harapan, edisi Rabu, 26 Agustus 2015
Published in