Mencari Air untuk Menyelamatkan Air

Laporan Mismaya Alkhaerat, Ve Channel TV, Makassar, 23 Sep 2016

Penulis adalah peserta Lokakarya Meliput Daerah Ketiga Angkatan Keempat (MDK IV). Mismaya mendapat tugas ke Kabupaten Kampar, Riau, 24-28 Agustus 2016. Lokakarya diselenggarakan Lembaga Pers Dr. Soetomo dan Kedutaan Norwegia 23 – 31 Agustus 2016

 

Kampar, Riau, ClimateReporter – Helikopter menderu-deru. Berputar-putar di atas lahan terbakar. Sebuah kantung besar berisi air tergantung berayun-ayun. Air pun menyembur dan membasahi semak yang berubah menjadi debu dan arang. Namun putaran baling-balingnya yang teramat kencang itu seakan kipas yang memperluas wilayah kobaran api. Lalu memerciki semak yang mulai hangus.

 

Riau tak mau mengalami ulang kejadian 2015. Tahun itu provinsi kaya gambut itu terkurung dalam kabut asap akibat hutan dan gambut terbakar. Aktifitas warga nyaris terhenti karena polusi udara beracun ini. Sekolah-sekolah diliburkan berminggu-minggu. Provinsi lain di Suamtera mengalami nasib sama terutama Jambi dan Sumatera Selatan. Bahkan Singapura dan Malaysia, dua negara tetangga di seberang Selat Malaka, juga jadi korban kabut asap yang dihembus angin barat.

Kebakaran lahan gambut tidak saja menghabiskan tanaman yang di atasnya. Cadangan air dalam kubah gambut juga mengering. Kubah gambut adalah harapan penyimpanan air yang sangat besar. Kubah gambut berfungsi sebagai pendingin dan bisa mengurangi pemanasan global. Stok airnya bisa menghidupi ribuan pohon yang bisa menjadi cadangan oksigen.

Sebanyak 60 persen dataran Riau atau sekitar 5,1 juta hektare adalah ekosistem gambut. Namun kini keadaannya semakin mengering. Gambut yang secara alami basah itu dikeringkan lewat penggalian jejaring kanal ratusan kilometer. Setelah gambut kering, gambut dibakar dan lahannya dialihgunakan menjadi perkebunan kelapa sawit dan akasia. Akibat kebakaran gambut, setiap tahun sejak 1997 kabut asap timbul.

Helikopter membawa kantung air menyiram lahan gambutyang terbakar di Jalan Swadaya, Desa Rimbopanjang (27/8/16). Foto Mismaya Alkhaerat

Helikopter di atas dan sumur bor di bawah. Kedua-duanya sedang berusaha keras memadamkan kobaran api yang melahap gambut di Jalan Swadaya, Desa Rimbopanjang, Kecamatan Tambang, Kabupaten Kampar, Riau.

“Pembuatan sumur bor tersebut merupakan cara tercepat yang dapat kami lakukan untuk menangani kebakaran,” ujar Kepala Desa Rimbopanjang, Zalkha Putra.

Tidak jauh dari tempat api menyala-nyala tampak tiga lelaki dengan sigap berjibaku membuat sumur bor. Empat batang pipa ditanam sepanjang 12 meter. Cepat sekali mereka bekerja. Hanya dalam tempo 1 jam 30 menit pompa air pun selesai. Semula yang keluar sedikit-sedikit air bercampur lumpur dan pasir. Air kian bersih dan menyembur deras.

.

Masyarakat Peduli Api (MPA) Desa Rimbopanjang membuat sumur bor hanya dalam dua jam. Foto Mismaya Alkhaerat

Dua lelaki lainnya menarik selang air dan mengarahkan ke gambut yang sedang terbakar.  Cara ini salah satu upaya yang efisien menangani kebakaran gambut, kata Zalkha Putra.

Mereka itu Masyarakat Peduli Api (MPA) Desa Rimbopanjang yang memadamkan api dengan peralatan sederhana. Hanya memakai sepatu boot karet tanpa masker, tanpa kaca mata pengaman, bahkan kotak Pertolongan Pertama pada Kecelakaan (P3K) pun tidak ada.

“Pada akhir Agustus ini kami memadamkan enam  titik api seluas 5 hektar,“ tambahnya. Desa Rimbopanjang sangat dekat dengan pusat Kota Pekanbaru. Hanya 45 menit dengan mobil. Juga berhampiran dengan Bandara Internasional Sultan Syarif Kasim II.

Desa ini memang strategis. Oleh karena itu, bila terjadi kebakaran akan merepotkan karena mengganggu penerbangan. Itu pulalah urgensinya cara pemadaman api yang efisien dan serba cepat.

“Desa kami memerlukan dua ratus sumur bor.  Sepuluh sumur telah dibuatkan oleh Badan Penanggulangan Daerah, 16 sumur dibuat atas swadaya desa dan selebihnya akan ditangani oleh Badan Restorasi Gambut (BRG). Saat ini tengah dibangun lima puluh sumur bor,” ungkap Kepala Desa Rimbopanjang tersebut. “Selain itu telah dibuat 66 sumur bor yang tersebar di wilayah yang menjadi langganan kebakaran. Kami masih membutuhkan sekira 200 sumur bor lagi.”

Nazir Foead, Kepala Badan Restorasi Gambut, saat meninjau langsung ke Rimbopanjang, menanggapinya dengan mengatakan pihaknya akan segera menambah peralatan pembuatan sumur bor dan menambah dua puluh mesin Robin (generator pengisap air) sesuai dengan kebutuhan Desa Rimbopanjang.

“Alat keselamatan (sepatu tahan api, masker, dan kacamata untuk menahan asap untuk Masyarakat Peduli Api, MPA) pun akan segera kami kirimkan, termasuk insentifnya karena warga meninggalkan pekerjaan utamanya untuk memadamkan api,” kata Nazir Foead.

Badan Restorasi Gambut (BRG) dibentuk Presiden Joko Widodo Januari 2016 untuk mencegah terulangnya musibah 2015 yang menghabisi hutan dan gambut seluas 2 juta hektare di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua.

BRG berusaha menggenjot kerjanya dengan target restorasi kurang lebih 2 juta hektare dalam kurun waktu 2016-2020. Target restorasi gambut 47 persen ada di Riau. Tantangan yang dihadapi adalah belum adanya data akurat tentang luas wilayah prioritas restorasi gambut, Hal ini disampaikan Myrna Safitri, Deputi III Bidang Edukasi, Sosialisasi, Partisipasi dan Kemitraan.

Kepala Badan Restorasi Gambut Nazir Foead memberi keterangan di Posko Satgas Siaga Darurat Karhutla, Lanud Roesmin Nuryadin, Riau, 24 Agustus 2016. Acara dihadiri Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Willem Rampangilei, Gubernur Riau Arsyadjuliandi Rachman dan Kepala BPBD Edwar Sanger. Foto Mismaya Alkhaerat

Riko Kurniawan, Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Riau, mengatakan lahan gambut harus dikembalikan menjadi lahan basah serta perbaikan tata kelola apa pun aktivitas monokultur di bawahnya harus basah.

Sayangnya pembangunan kanal itu justru mengeluarkan air dari gambut. Cara termurah mengurangi atau menetralkan keasaman lahan gambut dengan cara dibakar.” ia menjelaskan.

Nazir Foead menambahkan moratorium juga masih menunggu rapat kabinet karena akan terjadi perlambatan pembangunan infrastruktur jika segera diberlakukan. Dengan moratorium ini pemerintah secara resmi mengeluarkan aturan perpanjangan penundaan pemberian izin baru mengalihgunakan hutan alam dan lahan gambut mulai 13 Mei 2015. Aturan ini ditetapkan dalam Instruksi Presiden Nomor 8/2015 yang menggantikan beleid sebelumnya Instruksi Presiden Nomor 6/2013.

Mata Air Kehidupan

Lain lagi harapan Dr. Ir. Wawan Mp. di Pusat Studi Lingkungan, Universitas Riau. Dosen fisiologi tumbuhan ini mengatakan pemerintah harus menata kelola perairan dan pengawasan di Riau. Perlu sinkronisasi peraturan perundangan biofisik terkait pemanfaatan dan konservasi.  Termasuk di sini pemerataan kesempatan akses terhadap lahan gambut dalam mendukung kesejahteraan masyarakat.

“Kubah gambut harus diselamatkan, jika tidak maka kita akan mengalami kekeringan berkepanjangan dan kebakaran hutan yang terus-menerus,” Ungkap Wawan.”

Itulah mata air kehidupan, yakni yang menyimpan air saat hujan dan menjaga kekeringan dan penyimpanan air saat kemarau. Kalau tidak dapat menjaga kubah gambut, target penurunan emisi itu akan sangat jauh tercapai. Kebakaran dan pemanasan akan terus terjadi, tambahnya.

Wawan mengatakan sekarang ini petani membakar ladang untuk mengelola lahannya.

“Hal itu karena murah. Cukup bermodalkan seribu rupiah. Bandingkanlah berapa biayanya bila mereka harus menyiapkan traktor, pembabatan, serta upaya untuk mengurangi keasaman gambut. Mungkin yang perlu kita lakukan adalah memberikan bantuan kepada petani alat mengolah lahan, misalnya, traktor tangan. Anggaran ini mungkin tidak sebesar biaya yang sekarang dikeluarkan untuk menangani bencana,” tuturnya.

Wawan pun berharap agar kehadiran BRG ini tidak sebatas pemerintahan Jokowi, tetapi harus ada upaya kesinambungan dan pengelolaan tata kelola lahan dan air yang arif.

Upaya yang lain yang dilakukan dalam penanganan restorasi gambut di Rimbopanjang adalah pembuatan kanal bloking (canal blocking) atau sekat kanal. Kanal bloking dilakukan dengan menutup sebahagian kanal agar permukaan air meningkat. Lahan kiri kanan kanal akan menyerap air dan membasahi lahan gambut. Pembasahan ini memulihkan fungsi gambut sebagai dinding tahan api. Upaya ini untuk mengurangi penguapan air di atas lahan gambut. Jika tidak, gambut sangat mudah terbakar karena unsur hara dan tekstur dari gambut yang merupakan pelapukan kayu yang terjadi sejak ratusan tahun lalu.

Untuk budidaya gambut masih perlu penelitian perlakuan penanaman beberapa tanaman yang bisa ditanam di lahan gambut. Tidak semua jenis tanaman bisa dibudidayakan di lahan gambut. Penelitian berbagai perlakuan lahan yang ramah lingkungan masih berlanjut juga. Budidaya lahan gambut sudah dicoba dengan sagu dan nanas yang bernilai niaga.

Kanal bloking di Rimbopanjang telah diupayakan dengan menanam berbagai jenis tanaman. Foto Mismaya Alkhaerat

Saat ini 11 universitas bekerjasama melakukan penelitian dan pengkajian yang serius mengenai gambut, ujar Dr. Haris Gunawan, Deputi Penelitian dan Pengembangan BRG yang juga putera daerah Riau.

Dengan latar belakang ilmu biologi ia melakukan penelitian khusus mengenai gambut di Jepang, Haris merasa terpanggil untuk menelaah mengapa Riau masih ditutupi jerebu (kabut asap). Mengapa pemanfaatannya justru masih merugikan lingkungan. Penanaman di lahan gambut mengakibatkan kebakaran, pencemaran udara, dan peningkatan panas bumi.

Menurutnya, saat ini petani perlu diberikan teknologi tepat guna agar masyarakat tidak membakar lagi lahan jika mereka mengolah lahan. Pendekatan dengan 3R, yakni rewetting, revegetation, revitalization of livelihoods (pembasahan, persemaian dan pembibitan, revitalisasi mata pencaharian) sebagian telah dijalankan di Rimbopanjang. Pembasahan lahan gambut dilakukan baik dengan cara sekat kanal, penimbunan kanal, maupun sumur bor. Sekat kanal adalah upaya pencegahan kebakaran. Sementara sumur bor merupakan tindak pemadaman kebakaran.

Masyarakat Rimbopanjang memiliki hutan seluas 9.000 hektar. Meski sibuk memadamkan api secara bergiliran, warga tetap bertani menanam nanas. Nanas Rimbopanjang merupakan salah satu buah yang digemari warga Riau. Buah itu laku, tetapi petani tidak untung karena harganya yang sangat murah.

 

Buah nanas di Desa Rimbopanjang siap panen. Foto Mismaya Alkhaerat

Katimin, 38, petani nanas warga Jalan Harapan Raya, Desa Rimbopanjang, mengatakan saat ini peminat nanas makin meningkat. Pembeli langsung memetik sendiri di kebun. Harga nanas masih sangat murah hanya Rp3.000 per buah. Katimin bersama isteri dan anaknya menggantungkan hidupnya dengan menggarap lahan gambut milik orang lain yang telah dirawat berpuluh tahun.

“Semoga jangan ada lagi kebakaran di desa kami,” katanya dengan tatapan penuh harap. Agar kami bisa hidup tenang bekerja pada sehat semuanya dan anak-anak bisa sekolah, tambahnya.

Editor Warief Djajanto Basorie

 

Published in ClimateReporter