Jual Danau Toba Jangan Sekadar Nama

Oleh Hartatik, Wartawan harian Suara Merdeka ,Semarang,
peserta MDK II (Meliput Daerah Ketiga), dengan penugasan di Sumatera Utara Agustus 2014

DERU suara truk yang mengangkut kayu pinus meraung-raung kencang, ketika keluar masuk dari Hutan Tele, Kabupaten Samosir, Sumatera Utara. Berpuluh-puluh batang pinus yang ditebang dari hutan alam itu, hanya dalam hitungan jam sudah berpindah tempat.

Dalam sehari tidak kurang dari 10 truk pengangkut kayu-kayu pinus, melintas di jalur lintas timur Sumatera menuju Dairi dan Medan. Kebanyakan truk yang membawa kayu-kayu dari Hutan Tele itu melintas sehabis magrib.

Demikian disampaikan Wilmar Eliaser Simandjorang usai memutarkan rekaman video berdurasi sekira setengah jam yang pernah didokumentasikan saat berada di Hutan Tele.

Secara mengejutkan, pegiat lingkungan dari Lembaga Penyelamatan Kawasan Danau Toba itu mengaku, pernah diancam dibunuh ketika melakukan dokumentasi. Bersama anaknya, Rikardo Simandjorang, mantan Bupati Samosir ini merekam aktivitas truk pengangkut kayu yang tengah keluar dari hutan Tele.

Salah seorang pria tiba-tiba turun dari mobil yang melaju tepat di belakang truk pengangkut kayu. Menurut dia, pria yang mengaku bermarga Hutasoit itu mengeluarkan kelewang, senjata tajam seperti parang namun panjang. Kamera Wilmar yang digunakan  untuk merekam itupun diminta paksa oleh pria tersebut.

‘’Kelewang itu diarahkan ke perut saya, sambil mengancam akan membunuh jika handycam tidak diserahkan sama pria tersebut,’’ ujar Wilmar seraya menyebutkan kamera itu tidak berhasil diamankan.

Belum lama ini, Wilmar melakukan aksi damai di depan kantor dinas bupati Samosir. Pendiri Hoetagindjang Pusuk Buhit Eco Tourism Movement (HPBEM) ini menuntut pencabutan izin penebangan hutan Tele yang dilakukan perusahaan setempat.

Di Hutan Tele ini terdapat anak-anak sungai yang mengalir ke wilayah Dairi sebagai sumber air irigasi dan kebutuhan rumah tangga masyarakat disana. Selain itu, areal ini merupakan daerah resapan air yang menjadi sumber air bagi masyarakat di lembah-lembah Samosir, seperti Kecamatan Sianjur Mulamula dan Harian.

Alih fungsi hutan alam Tele sangat berdampak buruk bagi ketersediaan air di wilayah Dairi, dan desa-desa yang berada di bawah. Sekaligus akan sangat rawan bencana lingkungan seperti kekeringan, banjir dan longsor sebagaimana yang sudah sering terjadi di beberapa desa di Kabupaten Samosir, demikian Wilmar.

Hutan Tele merupakan kawasan penyangga Danau Toba dan pohon-pohonnya menjadi primadona bagi pengusaha kayu. Namun sayang, seiring dibicarakan justru semakin memprihatinkan.

Kerusakan hutan di kawasan Danau Toba sungguh ironi. Perusakan hutan justru dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang mengantongi izin konsesi dari pemerintah.

Penebangan pohon di hulu yang terjadi selama ini pun, telah dirasakan dampaknya. Bahkan telah mengancam kehidupan masyarakat yang bermukim di pinggiran danau.

Pada musim hujan tiba sebagian besar daerah yang berada di sekitar kawasan danau terancam bencana alam, seperti banjir bandang dan longsor. Tidak bisa dilupakan peristiwa banjir bandang pada 2010 di Desa Sabulan dan Desa Ransang Bosi, Kecamatan Sitio-tio yang menelan korban jiwa dan korban materi.

Selanjutnya, bencana longsor akibat penggundulan hutan merusak sejumlah rumah warga di daerah Sianjur Mulamula pada 2011. Akan tetapi pemerintah daerah di sekitar Danau Toba itu tidak peduli dengan kerusakan yang sudah parah di kawasan tersebut.

Perambahan hutan, kata dia, terus terjadi dan terkesan dibiarkan tanpa alasan. Bahkan, lanjut dia, ada kepala daerah yang memberikan ijin pemanfaatan kayu dan ijin pendirian sawmill.

Informasi yang dilansir dari website Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), hutan Tele ditetapkan menjadi Areal Pengunaan Lain (APL) oleh menteri Kehutanan sejak 1980. APL merupakan area di luar kawasan hutan yang digunakan sebagai pembangunan di luar bidang kehutanan.

Lahan yang ditetapkan sebagai APL menjadi wewenang mutlak pemerintah daerah. Karena itulah, salah satu alasan mengapa Pemkab Samosir merasa punya kuasa memberikan izin kepada siapapun termasuk perusahaan untuk mengelola tanah tersebut.

Salah satunya, pemberian Izin Prinsip, Lokasi dan Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) oleh bupati Samosir kepada  salah satu perusahaan kayu untuk mengelola hutan Tele menjadi areal pertanian, peternakan dan perkebunan.

Ketua Forum Kalpataru Sumatera Utara, Marandus Sirait, menyatakan, kerusakan hutan di Danau Toba terjadi karena pemerintah tidak serius menjaganya. Selain itu, masih dijumpai keterlibatan oknum aparat yang ikut menjadi beking cukong-cukong pembalak kayu.

Sekitar 1999, para peneliti mendeteksi tanda-tanda kerusakan yang terjadi pada lingkungan alam Danau Toba. Kerusakan ini seperti penggundulan hutan, hutan terbakar, pencemaran air danau akibat penggunaan pestisida berlebihan.

Ditambah peningkatan jumlah keramba jala apung di kawasan danau, pembuangan sampah dan limbah peternakan babi langsung ke danau, hingga pembangunan hotel yang tidak sesuai ketentuan.

‘’Dulu kayu (segala jenis pohon) disini tidak laku, kecuali untuk kayu bakar. Tapi berkembang jaman, kayu apapun bisa laku, kayu yang lunak ataupun tua semua dibabat,’’ kata pria yang meraih berbagai penghargaan bergengsi seperti Danau Toba Award dari gubernur, Piala Wanalestari dari menteri kehutanan dan Piala Kalpataru dari presiden.

Seiring bertambahnya laju pertumbuhan penduduk, terjadi alih fungsi lahan besar-besaran. Alhasil hutan rakyat pun berkurang luasannya.  Padahal era 1980-an, Danau Toba menjadi kawasan pariwisata terbaik kedua setelah Bali.

Tapi ketika pariwisata danau itu anjlok setelah 1997 maka masyarakat setempat beralih profesi ke bidang pertanian dan perikanan keramba. Akhirnya, hutan pun beralih fungsi menjadi lahan pertanian.

Tidak hanya hutan rakyat, tapi juga perambahan pada hutan negara. Tidak ada tindakan tegas dari pemerintah daerah setempat dan malah terjadi pembiaran.

‘’Selama pemerintah tidak tegas, jangan harap Danau Toba bisa makin baik. Bupati dan gubernur tidak cukup, harus presiden yang turun tangan sebab danau ini sudah ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Nasional,’’ jelasnya.

Marandus tidak muluk-muluk berharap. Ia dan aktivis lingkungan lainnya hanya minta seluruh pemangku kepentingan konsisten. Bersama masyarakat, mereka harus ikut melindungi lingkungan danau. Upaya itu dengan tidak membiarkan praktek perusakan lingkungan, serta jangan memberikan ijin-ijin konsesi kepada perusahaan-perusahaan yang merusak hutan dan lingkungan.

Informasi yang dihimpun dari Badan Koordinasi Pengelolaan Ekosistem Kawasan Danau Toba, pada 2012 pernah dilakukan analisa jenis tutupan daerah tangkapan air (DTA). Dari hasil analisa citra satelit, luasan hutan di DTA Danau Toba adalah 57.604,88 hektar.

Kepala Bidang Pengendalian Pencemaran Lingkungan dan Pengolahan Limbah Badan Lingkungan Hidup (BLH) Sumatera Utara, Rismawati Simanjuntak, mengatakan, sekitar 97 persen tanah pada DTA Danau Toba merupakan tanah yang peka sampai dengan sangat peka terhadap erosi.

Kondisi alamiah seperti itu dan pengelolaan yang kurang tepat, imbuh dia, telah mengakibatkan kerusakan DTA Danau Toba. Diantaranya berupa pengurangan luasan hutan dan peningkatan luasan hutan kritis.

“Sesuai tata guna lahan hutan kesepakatan pada 2009, luasan hutan di DTA Danau Toba adalah 143.840,32 hektar atau 51 persen dari luasan DTA,’’ terangnya.

Namun hingga kini luasan ini belum pernah tercapai. Bahkan luasan hutan di DTA Danau Toba cenderung menurun dari tahun ke tahun. Pada 1985 luasan hutan pada kawasan ini mencapai 78.558,18 hektar (28% dari total  DTA). Tapi 12 tahun kemudian (1997), luasan ini menyusut menjadi 62.403,19 ha (22%).

“Sekarang sudah dirumuskan gerakan penyelamatan Danau Toba atau disebut Germadan. Gerakan ini mencakup skala prioritas yang harus dilakukan tujuh daerah hulu dan tiga daerah hilir, mengait daya dukung dan daya tampung Danau Toba,’’ imbuhnya.

Tujuh daerah hulu itu mencakup Kabupaten Simalungun, Toba Samosir, Samosir, Humbang Hasundutan, Dairi, Tapanuli Utara dan Simalumun. Sedangkan tiga daerah hilir Danau Toba meliputi Kabupaten Asahan, Batubara dan Tanjungbalai.

Direktur LSM Goa (Generation of Action), Lamhot Sitorus mengatakan, eksploitasi hutan di wilayah daerah tangkapan air yang berlangsung bertahun-tahun itu kini mengancam kelestarian Danau Toba.

LSM Goa sendiri, selama ini bergerak pada beberapa kecamatan di Kabupaten Simalungun, diantaranya Siantar, Parapat, Tigaras, Tanah Jawa dan Dolok Silau. Kondisi hutan di pinggiran Simalungun ini sudah sangat memprihatinkan, sebab penebangan hutan dimana-mana.

“Pelaku (penebangan) para cukong besar menggunakan alat berat, mereka juga dilindungi oknum aparat. Semestinya aparat penegak hukum ini bersih,’’ sambungnya.

Menurut dia, perusakan tersebut ada yang disengaja maupun tidak. Kekurang pedulian Pemkab terhadap lingkungan sangat disayangkan. Ia pun mempertanyakan pengusulan Danau Toba sebagai Taman Bumi (Geopark) Kaldera Toba.  Lamhot termasuk tokoh lingkungan yang tidak sepakat Danau Toba diusulkan kepada Unesco sebagai Geopark Kaldera Toba.

Dari dulu entah sudah berapa banyak lembaran kertas yang dihabiskan pemerintah baik daerah maupun pusat dan para ahli lingkungan, untuk mengupas kondisi, problema dan prospek Danau Toba.

Begitupun digelarnya beragam seminar tingkat lokal, regional, nasional bahkan internasional seputar danau terbesar di Indonesia ini, sudah tidak terhitung lagi. Karena itu, kata kepala Desa Lumban Nabolon Kecamatan Uluan Kabupaten Toba Samosir ini, jika ingin ‘’menjual’’ Danau Toba maka perbaiki terlebih dulu kerusakan yang ada di dalamnya.

‘’Namanya indah, tapi dalamnya rusak. Bagaimana orang tertarik datang ke Danau Toba. Jadi kalau mau jual Danau Toba jangan sekadar nama saja,’’ ucapnya.

 

(Catatan penulis: Kesempatan luar biasa bisa terpilih menjadi satu dari 10 fellow lokakarya dan meliput daerah ketiga (LMDK) yang diselenggarakan Lembaga Pers Dr Soetomo serta Kerajaan Norwegia. Dari sekian fellowship yang pernah saya dapatkan baru kali ini dikemas dalam bentuk peliputan ke provinsi yang notabene bukan daerah domisili.
Pastinya seru tapi sekaligus dag dig dug ketika salah satu mentor mengumumkan saya harus berangkat ke Medan. Selain baru pertama kali singgah, sebelumnya sama sekali tidak ada seseorang yang pernah saya kenal di kota surganya kuliner itu.
Untung saja LPDS memasangkan saya sekamar dengan jurnalis perempuan asal Medan. Horas bah, demikian batin saya mengucapkan syukur atas kemudahan dan kelancaran selama melaksanakan peliputan perubahan iklim yang ditugaskan LPDS.  Terima kasih tak ternilai untuk para mentor dan staf LPDS atas kesempatannya yang telah memberikan saya pengalaman dan teman-teman baru dari berbagai daerah.)

Published in ClimateReporter