Mengais Untung, Berujung Buntung

Oleh Zuli Laili Isnaini, Dosen Antropologi, Universitas Riau,
peserta kunjungan kawasan ke Desa Tanjungleban, Riau, Juni 2014

Catatan penulis: Lokakarya ini menarik bagi saya, apalagi melihat korban kebijakan yang tidak populis bagi mereka. Masyarakat yang terpinggirkan dan dimiskinkan oleh kebijakan akibat kalahnya perebutan akses sumberdaya dari korporasi dan pemilik modal. Namun, sempitnya waktu di lapangan menyebabkan sedikitnya informasi yang mampu digali. Akan lebih baiknya bila waktu di lapangan jauh lebih lama dengan metode live in, observasi, observasi-partisipatoris, dan wawancara mendalam.


Tugiadi,  53,  hampir seluruh rambutnya  abu-abu. Ayah dua anak ini menceritakan  kebakaran rumah papannya  Jumat malam, 20 Februari 2014. Tanpa ragu ia menjelaskan awal mula terjadinya musibah tersebut.

Rumah Tugiadi terbakar di Dusun Bukitlengkung, DesaTanjungleban, Riau. Selain rumah, tiga lokal Madrasah Diniah Aliah juga terbakar di dusun tersebut di Kecamatan Bukitbatu, Kabupaten Bengkalis. Berikut cerita Tugiadi:

“Pukul 4 sore aku, orang rumahku, dan Igun tetangga yang rumahnya habis terbakar, mengupayakan supaya rumah tidak sampai terbakar. Sebelum terbakar, sekeliling rumah sudah penuh asap dan rumah sudah disiram sampai basah. Tetapi karena asap dan api semakin besar, hanya tiga orang saja menyiram, maka tidak sanggup lagi berada di tempat itu, dan selanjutnya rumah kami tinggalkan. Pukul 9 malam rumah mulai terbakar dan sekarang masih tersisa pasaknya saja.

Kita bangun rumah susah, punya satu sak semen kita angsur. Ada batu, ada kayu kita buat secara angsur-angsur. Saya inap di rumah kawan, mandhah. Pekerjaan saya moco-moco lahan punya warga sini, sebagai buruh panen, semprot, dan lainnya.Aku di sini baru tiga tahun. Tadinya di Bukitkapur, Dumai. Selama belum ada rumah, tinggal di rumah kawan, sekarang kembali inap di rumah kawan”.

Tugiadi mengaku dana yang sudah habis untuk pembuatan rumah papan sebesar 12 juta rupiah dan sudah 75 persen bangunan berdiri.  Namun  semuanya lenyap karena rumah terbakar. Lahan yang digunakan untuk rumah diberikan oleh seseorang kepadanya dan ia mengaku tidak memiliki lahan apapun kecuali lahan untuk rumah tersebut. Hal itu yang membuat Tugiadi dan istri yang bernamaNeni Suryani merasa kecewa dan sedih. Mereka berdua saja yang tinggal di tempat tersebut, Dua anaknya berada di Medan.

Hal yang sama juga dirasakan Sutarno, 56, pemilik lahan sawit yang terbakar. Ia mencoba peruntungan di Dusun Bukitlengkung setelah satu tahun lalu ia menjual lahan sawit dan lahan kelapanya di Kisaran, Sumatera Utara, seluas 1,5 ha dengan harga Rp 120 juta. Uang tersebut digunakannya untuk membeli lahan di Bukitlengkung karena harga lahan masih miring. Baru satu tahun lalu ia menjual sawit dan baru enam bulan tinggal di Bukitlengkung dengan 1 ha sawit yang siap panen. Karena musibah, 1,5 ha lahannya habis terbakar. Ia membeli lahan sawit dari Pak Larman, asli dusun tersebut seluas 3 ha. Modal selebihnya ia gunakan untuk membuat rumah.

Seorang mantan pekerja PTP VI yang sekarang menjadi PTP IV di Perbaungan daerah Medan, bernama Sunaryono pulang ke Boyolali, Jawa Tengah, setelah berhenti bekerja di Medan.  Ia juga mengadu nasib di Bukitlengkung.

Paruh baya ini saat masih di Boyolali telah membeli lahan sawit warga Bukitlengkung seluas 3 ha di tahun 2009 meskipun ia belum memiliki rumah di tempat tersebut. Tahun 2011 Sunaryono membeli lagi lahan 2 ha senilai Rp 40 juta dan 3 ha di tahun 2009 sehargaRp 75 juta.

“Sebelum terbakar, setiap lahan mampu dipanen sawit sebanyak 1,1 ton per dua minggu. Namun sekarang setelah terjadi kebakaran,  kami mengalami kerugian karena sudah 1,5 bulan tidak ada panen”, ungkapnya.

Satu orang kehilangan rumah dan dua orang  lainnya telah kehilangan sawit siap panen membuktikan Bukitlengkung memiliki dayatarik ekonomi tersendiri bagi para pendatang. Ketiganya merupakan warga pindahan dari tempat lain yang sengaja melakukan pengaduan nasib untuk memperoleh tingkat ekonomi tinggi. Bukan untung yang didapatkan, bunting hasil yang diraih mereka setelah kebakaran besar melanda sejak akhir Februari 2014.

Warga menyayangkan tindakan pemerintah yang kurang cepat menindak pembakar lahan, padahal nama-nama pemilik lahan yang terbakar sudah ada di kantong yang berwajib. Hal itu diungkapkan Kepala Dusun Bukitlengkung Azwanto.

Menurut laki-laki pertengahan 20-an tahun tersebut, peraturan yang dibuat oleh pemerintah terhenti di polres dan polsek, padahal para saksi sudah diwawancarai.

Dusun Bukitlengkung terdiri dari 70 jiwa yang 50 % warganya terdaftar sebagai penduduk Dumai, sedangkan Dusun Bukitlengkung masuk pada daerah administrasi Kabupaten Bengkalis. Hal tersebut terlihat dari tiga kasus korban kebakaran lahan yang masing-masing belum lama tinggal di Dusun Bukitlengkung.

Sebagai seorang kepala dusun, Azwanto meminta bantuan kepada siapapun untuk memberitahukan kepada pemerintah dan pihak perusahaan sekitar DusunBukitlengkung. Bantuan bisa berwujud pemberian bibit karet dan sawit, biaya pembuatan kantong-kantong air di lahan sawit masyarakat, mesin pemadam kebakaran, dan infrastruktur seperti jalan dan tenaga kesehatan.*

Published in ClimateReporter