Batik Bakau Berkibar di Prancis

Oleh Nazat Fitriah, Wartawan TVRI Kalimantan Selatan dengan penugasan ke Sumatra Utara Maret 2014

KARTIKA Hanum, 30, duduk tepekur di lantai. Hanya sebelah tangannya yang menjepit canting yang sibuk bergerak-gerak. Ia menggoreskan malam, lilin untuk membatik, mengikuti torehan tipis pensil di atas kain yang terbentang di tangannya yang sebelah lagi.

Sekilas tak ada yang terlihat istimewa dengan batik yang tengah dikerjakan warga Desa Sicanang, Kecamatan Medan Belawan itu.   Akan tetapi, kalau mengikuti proses pembuatan batik tersebut hingga selesai, maka kita akan tahu di mana letak keistimewaannya. Ya, batik yang sedang digambarnya tersebut adalah batik organik. Pewarna kainnya menggunakan bahan alami yang berasal dari tumbuhan pohon bakau.

“Kami baru tahu kalau dari pohon bakau itu bisa menghasilkan warna-warna setelah ikut pelatihan, bakau bukan hanya untuk kayu bakar,” tutur Kartika yang ditemui di stan Dinas Koperasi dan UKM Provinsi Sumatra Utara di arena Pekan Raya Sumatra Utara (PRSU) Maret 2014.

Kartika adalah salah satu perajin batik organik berbasis pohon bakau binaan LSM peduli lingkungan di Medan, Yayasan Gajah Sumatra (Yagasu).  Beberapa waktu lalu, ia dan seorang kawannya diikutkan pelatihan membatik di Museum Tekstil Jakarta.  Di sanalah ia mendapat ilmu tentang kegunaan pohon bakau, yakni  selain menyerap karbon dioksida, mencegah abrasi, dan tempat berkembang biak sejumlah biota laut,  juga sebagai bahan pewarna tekstil.

Pengembangan batik organik dengan pewarna alami dari pohon bakau merupakan bentuk pemberdayaan ekonomi masyarakat ala LSM Yagasu. Agar masyarakat mau ikut berperan serta dalam pelestarian bakau, dipandang lebih mudah dengan pendekatan ekonomi.

Saat ini sekira 70 persen kawasan hutan bakau di Sumatra Utara hilang karena alih fungsi lahan. Hanya tersisa 50 ribu hektare yang masih terjaga. Padahal, dalam kaitannya dengan mitigasi perubahan iklim, Yagasu mencatat bahwa peran hutan bakau mengalahkan hutan terrestrial alias hutan yang ada di daratan karena mampu menyerap 130 ton karbon per hektare atau lima kali lebih banyak.

“Kami merintis program batik organik ini baru sekitar enam bulan,” kata Slamet Mugiono, Officer Manager Yagasu, menjelaskan.

Hampir semua bagian dari pohon bakau bisa dijadikan bahan baku pembuatan pewarna tekstil, mulai akar, batang, hingga buahnya. Dari sejumlah eksperimen, sejauh ini sudah dihasilkan lebih dari 30 warna.
Namun, pembuatan batik organik menuntut kesabaran tinggi karena memakan waktu sangat lama dibanding batik yang menggunakan pewarna kimia. Untuk membuat pewarnanya saja, proses perebusan bahan-bahannya memerlukan waktu 7—9  jam.

“Adapun untuk menghasilkan warna kain yang maksimal, pencelupan harus dilakukan enam sampai tujuh kali untuk kain  sutera dan 18 kali untuk kain katun. Beda dengan pewarna kimia, sekali celup cukup,” imbuh Slamet.

Jadi, harap dimaklumi jika batik organik dengan pewarna alami dari pohon bakau ini dihargai selangit. Ada yang dibanderol ratusan ribu, ada pula yang mencapai Rp2,5 juta per helainya.

Karena baru dirintis, saat ini pemasaran belum berjalan. Akan tetapi, batik bakau karya tangan-tangan terampil perajin di pesisir pantai Sumut ini sudah siap-siap berlenggak-lenggok di panggung catwalk salah satu kiblat mode dunia, Prancis .

“Kami ada kerja sama dengan Hermes. Mereka sebagai donatur untuk batik ini. Jadi, rencananya mau dipamerkan di Prancis, sekitar bulan Juni. Semoga setelahnya batik bakau ini jadi lebih dikenal lagi,” Slamet berharap.

Published in ClimateReporter