Sebelum Hutan Gambut “Pensiun”

Oleh Helti Marini Sipayung
Koresponden LKBN ANTARA, biro Bengkulu, peserta MDK III Agustus 2015 dengan penugasan ke Pontianak

Agus menggali tanah pada suatu sore yang cerah  bulan Mei. Di sebelahnya ada polibag atau kantong plastik hitam berisi bibit pohon ulin. Setelah membuat lubang tanam, bibit pohon  diletakkan di dalamnya lalu ia bergabung dengan belasan orang yang mengelilingi ulin itu.

Pastor Ari yang memakai jubah putih ikut dalam lingkaran itu. Kedua tangannya memegang Alkitab. Didampingi para tetua adat, pria berkaca mata itu memimpin doa penanaman pohon ulin. Penanaman pohon di Bukit Trap tersebut merupakan bagian dari acara adat “Nyukat Bumi”.
Nyukat Bumi adalah upacara adat bersuasana religi yang dilestarikan masyarakat adat Labai Hilir di Kabupaten Ketapang, Provinsi Kalimantan Barat (Kalbar). Nyukat Bumi berarti memperkuat dan menghormati bumi.

Setiap memasuki musim tanam antara Maret dan Mei, masyarakat adat yang mendiami tepian Sungai Labai, anak Sungai Kapuas itu,  menanam berbagai jenis pohon seperti beringin, ulin, dan tapang bahkan pisang untuk menghormati dan memperkuat bumi.

“Menanam pohon adalah simbol penghormatan terhadap bumi karena hutan membuat bumi kuat dan bisa memberikan makanan kepada kami,” kata Kakek Bumi, salah seorang tetua adat setempat.

Sebelum Kristen masuk ke Bumi Borneo, tetua adat yang memimpin doa tersebut. Kedatangan para misionaris ke Bumi Khatulistiwa membuat sebagian masyarakat adat Labai Hilir memeluk agama Protestan dan Katolik. Sejak itu, pemimpin agama dilibatkan dalam kegiatan tahunan tersebut.

Nyukat Bumi adalah kearifan lokal masyarakat adat Labai Hilir yang diwariskan turun-temurun untuk memelihara dan merawat hutan di wilayah adat mereka. Mereka sudah mempraktikkan tata kelola hutan dan lahan dengan membagi dua tipe hutan, yakni hutan rimba yang dapat dikelola untuk berladang dan hutan lindung atau konservasi.

Hutan rimba atau oleh warga setempat diberi nama Bukit Tunggal berjarak sekira 10 kilometer dari desa. Kawasan ini diolah untuk menanam padi dan sumber pangan utama lainnya.
Adapun hutan lindung yang disebut Bukit Trap berada 16 kilometer dari desa “dipanen” untuk mendapatkan hasil hutan nonkayu seperti rotan dan madu. Luas kedua kawasan hutan ini mencapai 15 ribu hektare.

Namun, masyarakat mulai resah setelah dua perusahaan hutan tanaman industri (HTI), PT Daya Tani Kalbar dan PT Asia Tani Persada, masuk ke wilayah itu pada 2011. Kedua perusahaan yang memiliki konsesi seluas 23 ribu hektare di wilayah Kabupaten Ketapang itu merupakan pemasok kayu ke perusahaan bubur kertas “Asia Pulp and Paper” (APP).

“Kedua perusahaan ini masuk tanpa sepengetahuan masyarakat dan mengambil 15 ribu hektare lahan masyarakat adat,” kata Direktur Lingkaran Advokasi dan Riset (Link-AR) Borneo, Agus Sutomo.

Perkumpulan Link-AR Borneo mendampingi sekira 1.000 jiwa masyarakat adat Labai Hilir untuk memperjuangkan ribuan hektare hutan yang masuk dalam konsesi dua HTI itu.

Dari 15 ribu hektare hutan yang diklaim masyarakat adat, seluas 4 ribu hektare sudah dikelola perusahaan dengan menanami akasia dan sisanya sekira 11 ribu hektare masih berupa hutan gambut yang dapat diakses masyarakat untuk memanen hasilnya.

“Masyarakat menuntut komitmen perusahaan untuk menghentikan penebangan hutan alam yang ada di dalam konsesi dan menuntaskan konflik sosial,” ujar Agus.

Berdasarkan catatan APP, ada 38 konsesi perusahaan HTI yang memasok kayu bubur kertas ke perusahaan itu termasuk PT Daya Tani Kalbar dan PT Asia Tani Persada yang terdapat di Kalbar.

Pada Februari 2013 perusahaan produsen bubur kertas Asia Pulp & Paper (APP) mengumumkan komitmen Kebijakan Konservasi Hutan atau “Forest Conservation Policy” (FCP) sebagai kontribusi menurunkan emisi karbon.

Untuk mendukung penurunan emisi, APP mengumumkan lima komitmen yang akan dipatuhi bersama seluruh perusahaan pemasok kayunya.
Komitmen pertama, mengembangkan area yang bukan lahan hutan, sesuai dengan hasil identifikasi dan penilaian hutan bernilai konservasi dan karbon tinggi.
Kedua, APP dan seluruh pemasok kayunya akan mendukung strategi pemerintah Indonesia untuk pengembangan rendah emisi dan penurunan gas rumah kaca.

Ketiga, menghindari dan menyelesaikan konflik sosial di keseluruhan rantai pasokannya.
“Komitmen ketiga ini yang menjadi peluang bagi masyarakat adat Labai Hilir untuk menuntaskan konflik lahan,” ucapnya.
Keempat, menegaskan bahwa sumber serat kayu APP berasal dari seluruh dunia telah mendukung prinsip manajemen hutan yang bertanggung jawab.
Kelima, pemantauan independen dari kelompok masyarakat sipil.
Aniela Maria, Deputy Director Sustainability and Stakeholder Engagement APP saat diminta konfirmasi tentang konflik masyarkat adat Labai Hilir, membenarkan penyelesaian konflik dengan masyarakat merupakan bagian dari komitmen perusahaannya.

“Konflik di Kalbar sedang dalam proses negosiasi. Pihak masyarakat didampingi oleh Link-AR Borneo, sedangkan mediator yang ditunjuk bersama adalah Impartial Mediator Network (IMN),” katanya.

Saat ini, kata Aniela, perundingan masih berjalan. Salah satu poin yang masuk tahap diskusi adalah persoalan kayu hutan alam yang ditebang perusahaan sebelum diberlakukan moratorium penebangan pada 2013.

Ia menambahkan bahwa khusus untuk lahan gambut, APP telah membuat inisiatif baru, yakni program pengelolaan praktik terbaik gambut atau “Peatland Best Practice Management Programme”.

Peluncuran program ini ditandai dengan komitmen awal APP untuk merehabilitasi dan merestorasi seluas 7.000 hektare kebun akasia yang merupakan ekosistem gambut di Pulau Sumatera.

Lahan gambut yang memiliki nilai konservasi dan stok karbon tinggi akan direhabilitasi atau istilah APP adalah “dipensiunkan” dengan beberapa teknik. Untuk lahan yang ditumbuhi akasia muda akan dimatikan dengan menutup kanal sehingga muka air naik.

Adapun bagi kebun yang berisi akasia siap panen, terlebih dahulu akan diambil kayunya lalu ditinggalkan tanpa menanam ulang, sehingga terjadi suksesi alam untuk penghutanan kembali.

Program ini akan menggunakan pendekatan bertahap, dikoordinasikan oleh Deltares, konsultan Belanda dengan spesialisasi lahan basah.

Deltares menggunakan pesawat LiDAR (Light Detection and Ranging), teknologi penginderaan jarak jauh yang memanfaatkan laser untuk membangun citra tiga dimensi yang sangat akurat. Gambaran itu menunjukkan stuktur vegetasi, elevasi, dan tinggi air kanal untuk mengetahui kedalaman lahan gambut.

“Ini baru tahap awal dan akan bertambah luas karena di beberapa konsesi, termasuk di Kalbar, masih berlangsung penelitian,” kata Aniela.

Hutan Gambut
Ekosistem gambut merupakan kawasan penyimpan karbon terbesar sekaligus pengatur hidrologi, tetapi dapat menjadi penyumbang emisi terbesar bila dikonversi untuk perkebunan maupun terbakar.
Kepala Badan Lingkungan Hidup Provinsi Kalbar, Darmawan, mengatakan bahwa sektor kehutanan dan lahan gambut merupakan sektor yang memiliki potensi besar untuk upaya reduksi emisi karbon, mengingat kontribusi emisi sektor ini mencapai 60 persen dari total emisi.

Dengan luas hutan sekira 9,2 juta hektare dan lahan gambut seluas 1,7 juta hektare, emisi gas rumah kaca di Kalbar diperkirakan sangat signifikan untuk dikelola. Hal ini sejalan dengan komitmen pemerintah Indonesia mengurangi emisi sebesar 26 persen secara mandiri dan menjadi 41 persen dengan bantuan negara lain.

Dalam Rencana Aksi Daerah untuk Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD-GRK) Kalbar, jumlah total target penurunan emisi dalam kondisi business as usual (BAU, kondisi tanpa adanya rencana aksi menurunkan emisi),  Kalbar berkontribusi 113.699.248 ton CO2-eq atau 3,85 persen dari target nasional.

Adapun jumlah total target penurunan emisi dalam kondisi  BAU  pada 2010 hingga 2020 sebesar 0,0624 gigaton CO2e, dengan nilai 0,04 gigaton CO2e atau 64,1 persen pada bidang kehutanan dan lahan gambut. Satu gigaton sama dengan satu milyar ton.

Beberapa langkah strategis untuk mencapai target tersebut yakni skenario mitigasi dari sektor pemanfaatan lahan kehutanan, pertanian dan lahan gambut yang berpotensi menghasilkan emisi.

“Dengan pengelolaan yang baik pada sektor-sektor berbasis lahan ini dapat menyerap dan menyimpan karbon,” ujarnya.

Selain itu, tata kelola lahan yang baik juga menghasilkan manfaat lain berupa kelestarian keanekaragaman hayati, pemanfaatan ekonomi, dan pengurangan kemiskinan masyarakat di sekitar hutan, termasuk meningkatkan hak-hak kelola masyarakat.

Tata guna lahan tersebut menurutnya juga termasuk dalam lima bidang prioritas secara nasional, yakni pertanian, kehutanan dan lahan gambut, energi dan transportasi serta pengelolaan limbah.

Secara terpisah Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Tanjung Pura, Gusti Hardiansyah, salah satu anggota tim penyusun dokumen RAD GRK Kalbar, menjelaskan mitigasi berencana.
Menurut Gusti,  perkiraan emisi yang dihasilkan Kalbar tanpa mitigasi berencana mencapai 552 juta ton CO2 pada 2020 dengan angka baseline atau acuan sebesar 202 juta ton pada 2010. Bila melakukan mitigasi berencana maka emisi yang dilepas hingga 2020 sebesar 253 juta ton CO2 atau menurun hingga 54,17 persen.

Dosen Fakultas Kehutanan Universitas Tanjung Pura Kalbar, Dwi Astiani, mengibaratkan ekosistem gambut sebagai barang antik yang membutuhkan perlakuan khusus dalam pengelolaannya.

Hasil penelitian kandungan karbon lahan gambut di Kalbar, menurut Dwi, bervariasi antara 500 dan 1.000 ton per meter, bergantung pada kematangan gambut. Kedalaman gambut di daerah itu bisa mencapai 12 meter hingga 13 meter khususnya di wilayah Sungaiputri, Kabupaten Ketapang.

Dwi yang saat ini meneliti pengelolaan gambut di perkebunan sawit mengatakan komitmen untuk mengelola gambut lebih bijak perlu didukung semua pihak untuk mempercepat upaya penurunan emisi.

Selain sektor swasta, menurutnya, tidak kalah penting memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang fungsi gambut, tata kelola, dan bahaya membakar gambut untuk membuka atau membersihkan lahan.

“Jangan menunggu pensiun, tetapi selamatkan gambut yang masih tersisa karena gambut itu seperti minyak kalau terbakar akan habis,” katanya.

Published in ClimateReporter