Oleh Warief Djajanto Basorie
Pada 27 Oktober penerbangan Garuda Indonesia GA 160 dari Jakarta tidak mendarat di Padang sesuai jadwal pukul 8.05. Sebenarnya pesawat itu tidak meninggalkan landas dari Bandara Soekarno-Hatta. Pilot memutuskan untuk tidak terbang pukul 6.15 karena Bandara Internasional Minangkabau, BIM, punya jarak pandang hanya 700 meters karena kabut asap. Prosedur operasi baku Garuda ialah jarak pandang minimum harus 1200 meter untuk pesawat mendarat.
Dr Nur Masripatin, Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, tak jadi terbang saat itu. Kehendaknya ialah untuk terbang pagi itu dan kembali ke Jakarta lewat tengah hari. Ia diundang berbicara hari itu pada lokakarya Meliput Perubahan Iklim bagi wartawan setempat di ibukota provinsi Sumatra Barat. Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS) penyelenggara lokakarya tersebut dengan dukungan Kedutaan Besar Kerajaan Norwegia. Topik direktur jenderal PPI adalah Penanaganan Perubahan Iklim di Indonesia, Peta Kini dan Peta Esok. Dua anak topik ialah penanggulangan kabut asap dan kedudukan Indonesia dalam Konferensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Perubahan Iklim di Paris 30 November – 11 Desember.Dr Nur mengirim pesan SMS ke penyelenggara lokakarya bahwa ia sudah di dalam pesawat pukul 5.55 saat awak kabin mengumumkan penundaan. Jadwal kerja dirjen tidak memungkinkannya menumpangi penerbangan lebih lanjut untuk bergabung dengan lokakarya.
Kemudian pada 29 Oktober Harian Umum Rakyat Sumbar di Padang memuat berita halaman 1 tentang perempuan 7 tahun Renata Putri Adelis yang meninggal karena infeksi saluran pernafasan akut, ISPA, akibat kabut asap. Akut berarti timbul mendadak dan cepat memburuk.
Kabut asap ialah produk sampingan kebakaran lahan gambut dan hutan tropis di Indonesia yang melepaskan konsentrasi tinggi karbon dioksida. Emisi karbon ke atmosfir mengarah ke pemanasan global dan perubahan iklim.
Kabut asap berwarna kuning. Ini pertanda adanya kandungan sulfur dan bahan kimiawi lain dalam pupuk dan insektisida yang disemprotkan pada tanaman kelapa sawit. Sulfur ini menimbulkan ISPA.
Penundaan penerbangan dan kematian tiba-tiba merupakan dua dari sekian konsekuensi memilukan kabut asap, suatu kejadian tahunan di Indonesia. Kabut asap tahun ini berawal di Sumatera Selatan akhir Agustus dengan pembakaran gambut untuk membuka lahan guna pembibitan sawit.
Musim kering yang diperkeras fenomena El Nino membuat gambut tropis yang kering menjadi mudah terbakar. Kebakaran berikut kabut asap beracun itu menyebar ke provinsi tetangga Jambi, Riau, and Sumatera barat.
Pulau besar Kalimantan dengan rawa gambut yang luas juga tak luput dari kobaran api. Palangka Raya, ibukota Kalimantan Tengah, diselimuti kabut asap pekat.
Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, LAPAN, memperkirakan dari 1 Juli hingga 20 Oktober, 2.089.000 hektare hutan dan gambut telah terbakar di seluruh Indonesia. Ini 32 kali luas Jakarta Raya.
Satu angka tidak menggembirakan lagi datang dari World Resources Institute di Washington. WRI melaporkan volume emisi karbon Indonesia akibat kebakaran hutan dan gambut itu pada 14 Oktober sudah melebihi emisi karbon rata-rata harian seluruh perekonomian Amerika. Besaran ini ialah 15,95 juta ton karbon dioksida eqivalen.
Kabut asap adalah bahaya yang dapat dicegah. Pemerintah hendaknya menutup lubang-lubang peluang hukum yang memungkinkan pembakaran terjadi. Desentralisasi pada tahun 2000 melapangkan jalan bagi pemerintahan daerah untuk membuat peraturan yang berlawanan dengan kehendak nasional.
Gubernur Agustin Teras Narang di Kalimantan Tengah, misalnya, menandatangani Peraturan Gubernur Nomor 15/2010 Mei 2010 yang mengizinkan orang membuka lahan hingga 5 hektare dengan pembakran untuk mmudahkan penanaman tanaman perkebunan. Peraturan pembakaran ini layaknya dicabut.
Hal mengenaskan di Kalimantan Tengah ialah lahan hasil pembakaran ditanami bibit-bibit sawit. Greenpeace mengunggah foto-foto kejadian ini 5 November ini sebagaimana diberitakan situs lingkungan Mongabay. Mencabut izin pelaku usaha gambut harus dilanjutkan dengan pengawasan tidak adanya penanaman bibit sawit baru secara ilegal.
Lebih jauh, menurut undang-undang, khususnya UU Perkebunan 2014 , izin untuk alih guna lahan harus memenuhi tolok ukur analisa mengenai dampak lingkungan. Kriteria AMDAL ini tidak sepenuhnya dipatuhi.
Karena niat pakai lahan itu menyangkut tata ruang, Kementerian Agraria dan Tata Ruang harus bertindak agar alih guna lahan itu memenuhi ketentuan AMDAL.
Ketika Susilo Bambang Yudhoyono masih presiden, ia pada 2011 menetapkan moratorium menerbitkan izin baru terkait hutan primer dan lahan gambut. Presiden Joko “Jokowi” Widodo memperpanjang moratorium itu dua tahun lagi Mei lalu.
Presiden Jokowi layaknya menetapkan peraturan menyeluruh yang mencabut semua izin yang mengarah ke pembakaran gambut danhutan. Apapun aturan yang dibuat, dan pemerintah sedang merancang belasan aturan baru, penegakannya harus dilakasanakan.
Mulai 29 Oktobr hujan harian telah turun dan memadamkan sebagian titik api. Tetapi penyebab-penyebab akar adanya pembakaran gambut itu harus ditangani dengan kepemimpinan tegar.
Masalah kabut asap ini merupakan batu ujian krusial kepemimpinan Jokowi. Ini adalah kesempatan bagi Jokowi untuk bertindak meyakinkan dan memenuhi sasaran Indonesia bebas kabut asap 2018.
SBY menghadapi ujian serupa dua bulan setelah dilantik jadi presiden. Pada 26 Desember 2004 tsunami menewaskan lebih dari 200.000 jiwa di Aceh. SBY mendapat peluang unuk bertindak dalam dua hal dan berhasil: rekonstruksi Aceh dan pemulihan perdamaian di provinsi ini yang dilanda konflik.
Sementara itu, dengan konferensi perubahan iklim di Paris Desmber ini, Indonesia harus membuat penjelasan. Indonesia harus menjelaskan bagaimana RI dapat mencapai target penurunan emisi karbon sebanyak 29 persen pada 2030 bila emisi karbon hariannya akibat pembakaran gambut sudah melebihi emisi harian Amerika. Dr Masripatin dan tim Indonesia selayaknya sudah merumuskan penjelasannya itu.
Published in