Laporan Hairil Hiar, liputan6.com, Ternate
Penulis adalah peserta Lokakarya Meliput Daerah Ketiga Angkatan Keempat (MDK IV). Hairil mendapat tugas ke Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, 24-28 Agustus 2016. Lokakarya diselenggarakan Lembaga Pers Dr. Soetomo dan Kedutaan Norwegia 23-31 Agustus 2016.
Desa Menang Raya, Sumatera Selatan, Liputan6.com/ClimateReporter – Seperti fenomena gunung es. Semakin ditelusuri semakin banyak ditemui. Demikian kata Aidil Fitri, Direktur Eksekutif Hutan Kita Institute (HaKI) Sumatera Selatan.
Aidil mengatakan, konflik alih fungsi lahan pertanian masyarakat menjadi perkebunan sawit semakin mumpuni. Sebab musababnya menjadi konsumsi publik. Melalui siapa dan untuk apa pengalihan fungsi lahan terjadi di Bumi Sriwijaya.
Dia mengatakan, warga kota Palembang mengetahui adanya dugaan keterlibatan pejabat tinggi. Melalui media di sana, dalangnya diduga pejabat tinggi.
Jembatan Ampera, ikon ibukota provinsi Sumsel. (Foto Hairil Hiar)
Palembang sebagai pusat ibukota provinsi Sumsel dan pusat kerajaan Sriwijaya kala itu, secara geografis berbatasan dengan provinsi Jambi di bagian utara, provinsi Kepulauan Bangka Belitung di bagian Timur, provinsi Lampung di bagian selatan, dan di bagian Barat berbatasan dengan provinsi Bengkulu.“Memiliki jejak buram tentang hadirnya perkebunan sawit,” sambung Aidil.
Aidil mengungkapkan jejak itu mengenai konflik berdarah antara perusahaan perkebunan sawit dengan masyarakat terkait lahan.
Aidil mengatakan konflik lahan tersebut tersebar di beberapa kabupaten di Sumsel. Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), bagian Timur Sumsel yang paling tinggi.
“Konflik yang terjadi memiliki akar permasalahan yang sama. Lebih disebabkan karena alih fungsi lahan warga menjadi perkebunan sawit,” katanya.
Aidil mengatakan perusahaan-perusahaan tersebut dalam mendapat persetujuan hanya melalui rekomendasi atau izin dari pemerintah kabupaten maupun provinsi.
“Yang kemudian turun ke camat dan kepala desa yang membuat persetujuan mengatasnamakan warga pemilik lahan. Persetujuan itu dimanipulasi,” paparnya.
Aidil mengemukakan lahan warga yang dialihfungsikan menjadi perkebunan sawit dan hutan tanaman industri (HTI) tidak melalui persetujuan warga.
“Mereka hanya datang kasih informasi. Tidak ada persetujuan dari warga terkait lahan. Yang kemudian lahan itu dibuka untuk perkebunan sawit,” katanya.
Awal Mulanya Konflik
Aidil menjelaskan pemerintah seharusnya mengalihfungsikan lahan warga lebih dulu memberikan informasi, meminta pendapat masyarakat dan persetujuan.
“Apakah masyarakat setuju atau tidak kehadiran perusahan sawit di situ. Karena tidak adanya proses itu ya jadinya menimbulkan konflik,” katanya.
Aidil mengurai akar konflik itu bermula dari atas, yaitu pejabat tinggi yang berwenang mengeluarkan rekomendasi atas izin usaha perkebunan sawit.
“Prosesnya tidak dari bawah. Sehingga proses diskusi atau meminta persetujuan ke masyarakat itu tidak ada. Yang ada paling perusahaan berkoordinasi dengan pemerintah. Yang kita temukan seperti itu, perusahaan menganggap, misalkan sudah ada persetujuan dari desa dan sudah sosialisasi itu selesai,” katanya.
Aidil Fitri saat memaparkan presentasi permasalahan konflik sosial dan pengembangan perhutanan sosial di World Conservation Congress, Honolulu, Hawaii. Nampak Gubernur Sumsel Alex Nurdin (pojok kanan). (Foto Dok. HaKI Sumsel)
HaKI, kata Aidil, melihat konflik yang terjadi itu antara perusahaan dengan warga terkait lahan. Sumber utama ekonomi dan ganti rugi lahan dua faktor penyebabnya.
Pemprov Dinilai Belum Serius
Ketua Serikat Petani Sriwijaya Anwar Sadat mengatakan seluruh wilayah perusahaan sawit dan HTI di Sumsel memiliki konflik. “Kabupaten OKI satu-satunya yang tertinggi. Baik itu perkebunan sawit maupun HTI,” katanya menimpali.
Mantan Direktur Eksekutif Walhi Sumsel itu mengatakan konflik terjadi sejak 2009 dan terus bertambah. Sejauh ini, sambung Anwar, langkah-langkah penyelesaian dari penegak hukum setempat pun masih sebatas meredam konflik.
Anwar menilai pemprov setempat tidak serius menyelesaikan kasus sengketa lahan antara masyarakat terkait lahan dengan perusahaan perkebunan.
“Artinya konflik itu hanya diredam tetapi tidak diselesaikan. Kasus di OKI itu, misalnya Mesuji sampai leher terputus, kasus Sodong itu 7 orang meninggal. Kedua kasus ini terkait dengan alih fungsi lahan. Juga Kecamatan Lampang, Kecamatan Pampangan, dan Air Sugihan. Rata-rata konflik ini tersebar di OKI,” ujarnya.
Anwar mengatakan seluruh permasalahan konflik hampir sama. Yaitu pengeluaran izin perusahaan yang sudah bermasalah. Di antaranya wilayah yang selama ini dikelola masyarakat sebagai kawasan hutan dan pertanian diambil alih perusahaan.
Dia mengungkapkan pemerintah setempat berpendapat bahwa sesuai data Kesbang Linmas melihat konflik yang terjadi itu merupakan sengketa antara individu.
“Jadi kata pemerintah itu antara individu dengan perusahaan. Tapi kalau kami Walhi melihat konflik yang terjadi itu bukan individu per individu tetapi antara komunitas (masyarakat) dengan perusahaan. Ini yang harus didudukan dulu,” terangnya.
Misalnya, sambung Anwar, dalam catatan WALHI Sumsel, yang menimbulkan konflik dalam hal pengelolaan kawasan hutan di Kabupaten OKI, di antaranya masyarakat Desa Pedamaran V dan masyarakat Desa Cinta Jaya, Kecamatan Pedamaran dengan PT Rambang Agro Jaya, dan masyarakat Desa Pulau Geronggang, Kecamatan Pedamaran Timur dengan PT Tempirai Palm Resources.
“Penyelesaian konflik yang dilakukan pemerintah dengan perusahaan ini lebih pada upaya meredam dengan cara-cara, misalnya melakukan kriminalisasi, menakut-nakuti masyarakat. Tetapi tidak menyelesaikan persoalan,” imbuhnya.
Tabel : Daftar Konflik Masyarakat dengan Perusahaan di OKI
No |
Wilayah Konflik |
1 |
Masyarakat Desa Sungai Sodong Kecamatan Mesuji dengan PT SWA |
2 |
Masyarakat Desa Nusantara Kecamatan Air Sugihan dengan PT SAML |
3 |
Masyarakat Kecamatan Cengal dan Sungai Menang dengan PT Lonsum |
4 |
Masyarakat Desa Cipta Sari Kecamatan Mesuji Raya dengan PT Tania Selatan |
5 |
Masyarakat Desa Mataram Jaya dan Kemang Indah dengan PT AEK Tarum |
6 |
Masyarakat Desa Jungkal Kecamatan Pampangan dengan PT Maha Indo |
7 |
Masyarakat Desa Sidomulyo Kecamatan Sungai Menang dan Sungai Tepuk dengan PT Telaga Hikmah IV |
8 |
Masyarakat Desa Purwosari Kecamatan Lempuing dengan PT Tania Selatan |
9 |
Masyarakat Desa Pulau Geronggang Kecamatan Pedamaran Timur dengan PT Tempirai Palm Resources |
10 |
Masyarakat Desa Cinta Jaya Kecamatan Pedamaran dengan PT Rambang Agro Jay |
11 |
Masyarakat Sungai Menang dengan PT Pratama Nusantara Sakti |
12 |
Masyarakat Desa Mulya Jaya, Desa Karya Mukti, Desa Jaya Bakti, Kecamatan Mesuji Raya dengan PT Sinar Sasongko |
13 |
Masyarakat Desa Bumi Makmur Kecamatan Mesuji Raya dengan PT Waimusi Agro Indah |
14 |
Masyarakat Desa Sungai Belida Kecamatan Lempuing dengan PT Buluh Cawang Plantation |
15 |
Masyarakat Desa Mukti Air Sugihan Kecamatan Air Sugihan dengan PT SAML |
16 |
Masyarakat desa Riding Kecamatan Pangkalan Lampan dengan PT Bumi Mekar Hijau |
17 |
Masyarakat Desa Jungkal Kecamatan Pampangan dengan PT Gading Cempaka Graha, PT Tempirai Palm Resources dan PT Waringin Agro Jaya |
Sumber : Walhi Sumsel/Anwar Sadat
Konflik Menurut Pemprov
Wakil Gubernur Sumsel Ishak Mekki mengatakan pihaknya terus berupaya menyelesaikan persoalan konflik lahan yang terjadi di daerahnya.
Dia mengatakan sengketa itu lebih diakibatkan karena banyak daerah di Sumsel yang ingin mengembangkan pembangunan di berbagai sektor, sehingga banyak wilayah yang menginginkan adanya pemekaran berpisah dari kabupaten induk.
“Dengan adanya pemekaran tersebut maka akan timbul permasalahan saat akan mengembangkan batas wilayah, seperti adanya konflik sengketa tanah warga dan antar daerah dalam mempertahankan luasan wilayah masing-masing,” katanya.
Dia menegaskan permasalahan tersebut masih sering terjadi sehingga terus diatasi. Dia mengaku pemprov setempat telah menyiapkan aparatur negara untuk dapat menyelesaikan konflik yang berkembang di masyarakat.
“Luasnya wilayah yang menjadi lahan komoditi para investor di bidang perkebunan kelapa sawit dan sebagainya juga dapat memicu konflik antar perusahaan perkebunan kelapa sawit dengan masyarakat atau antar perusahaan,” tutupnya.
Saat dikonfirmasi lebih lanjut mengenai upaya pemprov menyelesaikan konflik yang terjadi di wilayahnya, wagub tidak memberikan penjelasan. Ishak Mekki langsung menaiki mobil yang telah diparkir di depan pintu utama Polda Sumsel.
Hal serupa juga tidak ada jawaban saat ditanyakan kepada Staf Khusus Bidang Perubahan Iklim dan Kehutanan Pemprov Sumsel Najib Asmani. Melalui pesan WhatsApp dan telepon seluler, Najib Asmani menolak memberikan komentar.
Lahan Konflik Sumber Ekonomi
Ketua Kelompok Tani Harapan Jaya, Dusun IV, Menang Raya, Pedamaran, Didi, menyatakan pihaknya tidak akan mengizinkan perusahaan perkebunan sawit atau HTI masuk ke wilayah mereka. Alasanya, lahan sumber ekonomi utama mereka.
“Alasannya ya, lahan kami sebagai sumber pendapatan,” kata Didi.
Didi mengungkapkan tanaman sawit selain rakus air juga kehadirannya mengganggu tanaman warga setempat karena bermunculan banyak tikus.
“Sawit mengundang tikus. Tau-taunya tanaman padi yang diancam,” katanya.
Kalaupun ada izin, kata Didi, bersama warganya bersikeras menolak.
“Walaupun sudah ada sosialisasi tapi kita tetap tolak. Itu tidak boleh. Apalagi di daerah seperti kami ini. Kita semua telah bersepakat. Bahwa di lahan dusun kami ini untuk tanaman padi dan palawija. Kalau di arah selatan itu, alhamdulillah mereka masuk tapi secara langsung sudah berbatasan dengan teluk Rasau. Jaraknya itu 1 km. Jadi ada sawit di sebelahnya tapi tidak apa-apa,” katanya menjelaskan.
Jalan Raya Dusun IV, Pedamaran, OKI yang masih terisolasi. (Foto Hairil Hiar)
“Untuk dusun kami itu hanya yang terdapat di pinggir jalan (depan gerbang masuk dusun IV) itu punya pak Paris seluas 12 hektar. Kalau lainnya dekat sini tidak ada, hanya tanaman karet saja. Itu saja sudah banyak tikus,” katanya.
Menurut Didi, bahwa pengusaha perkebunan sawit dan karet itu merupakan salah satu konglomerasi di Pedamaran, OKI. “Dia paling elit di sini pak. Tapi dia juga mempekerjakan kita. Sifatnya serap tenaga kerja di sini,” imbuhnya.
Kaur Pemerintahan Desa Menang Jaya Andi Sopian mengatakan masalah alih fungsi lahan gambut antara warga dengan perusahaan sudah terjadi sejak 2008.
“Kalau di Menang Raya tidak ada. Konflik-konflik adanya di kecamatan lain. Bukan di kawasan sini. Jadi kenapa saya bilang konflik-konflik itu gak ada di sini karena perusahaan sawit itu tidak ada di kecamatan sini. Adanya di kecamatan-kecamatan lain seperti Kecamatan Pampangan dan Pedamaran Timur,” katanya.
Andi mengatakan Kecamatan Pedamaran memiliki 14 desa, satu desa terdapat 4 dusun. Total dusun, kata Andi, mencapai 48 dengan jumlah penduduk 2.000 lebih. Sebagian besar warga lokal setempat dan satu dusun warga trans dari Jawa.
“Untuk Dusun IV Desa Menang Raya memiliki luas lahan 500 hektar. Posisi dusun ini berada tepat di tengah-tengah luasan hutan dan lahan warga. Kalau lahan kosong di luar pemukiman yang belum terpakai bisa kurang lebih 400 hektar,” pungkasnya.
Jawaban Perusahaan
Head of Corporate Communications APP Randy Salim mengatakan wilayah konflik di OKI tidak berkaitan dengan perusahaan Sinar Mas Group atau Asia Pulp and Paper (APP).
Melalui pesan WhatsApp, Randy menegaskan beberapa perusahaan yang disebut-sebut mantan Direktur Eksekutif Walhi Sumsel bukan bagian dari APP.
“Setelah dikroscek, PT Rambang Agro Jaya dan PT Tempirai tidak ada hubungannya dengan APP atau pun Sinar Mas Group,” kata Randy.
APP enggan berkomentar terkait penyebab konflik di Bumi Sriwijaya. Melalui Randy Salim saat dihubungi menolak memberikan jawaban. Ia malah mengulangi respon yang diberikan mengenai kedua perusahaan yang berkonflik tersebut.
Ditanya jumlah dan nama perusahaan Sinar Mas Group di OKI, Randy enggan memberikan jawaban. Bahkan salah satu perusahaan yang diduga bagian dari Sinar Mas Group yakni PT Bumi Mekar Hijau yang berkonflik di Desa Riding, Kecamatan Pangkalan Lampan, yang disebutkan Walhi Sumsel, Randy tidak berkomentar.
Published in