Hal tidak disebut bisa sama bobot maknanya dengan hal yang disebut dengan gamblang. Pidato tiga menit Presiden Joko “Jokowi” Widodo di KTT Iklim PBB di Paris 30 Nov menjawab sebagian pertanyaan tentang penanganan perubahan iklim Indonesia tetapi mendiamkan pertanyaan lain.
Presiden mengungkapkan agenda aksi iklim pasca2020 Indonesia. Tujuan agenda ialah menurunkan emisi karbon sebanyak 29 persen pada 2030 dibanding skenario tidak ada rencana aksi sama sekali. Target bisa meningkat menjadi 41 persen dengan adanya bantuan internasional.
Aksi untuk mencapai tujuan itu adalah rangkaian langkah dalam bidang energi, tatakelola hutan dan lahan, dan bidang maritim.
Langkah-langkah dalam bidang energi adalah pengalihan subsidi BBM ke sektor produktif dan peningkatan penggunaan sumber energi terbarukan hingga 23 persen dari konsumsi energi nasional tahun 2025.Jokowi tidak mengangkat rencana energinya 2014-2019 untuk meningkatkan kapasitas listrik sebanyak 35.000 megawatt. Dari jumlah itu, 20.000 megawatt dibangkitkan batu bara dan hanya 2.000 megawatt merupakan energi terbarukan. Batu bara melepaskan karbon penimbul pemanasan global dalam volume besar. Hal ini dapat memotong dan mencederai target 29 persen.
Di konferensi Paris, koresponden Kompas.com Firmansyah bertanya kepada Rachmat Witoelar, utusan khusus Presiden bidang perubahan iklim, bagaimana pembangunan pembangkit listirk tenaga batu bara dapat dibenarkan.
Rakyat perlu listrik, jawab Rachmat, Menteri Lingkungan Hidup 2004-2009. Pembangkit listrik batu bara itu jangka pendek. Setelah itu, energi terbarukan akan dikembangkan, mantan ketua harian Dewan Nasional Perubahan Iklim mengatakan.
Jangka pendek atau bukan, pembangunan pembangkit listrik tenaga batu bara dapat mengalami penundaan berkepanjangan karena adanya sengketa tanah dan protes setempat menolak timbulnya pencemaran udara beracun disebabkan pembakaran batu bara.
Lebih jauh, rasionale pemakaian batu bara tidak dapat didukung saat Amerika dan Tiongkok, dua perekonomian terbesar dan dua penghasil polusi terbanyak di dunia, meninggalkan pembangkit listrik tenaga batu bara.
Agenda energi Jokowi hendaknya mengikuti langkah AS dan Tiongkok. Pembangkit listrik berbatu bara layaknya ditinggalkan. Kapasitas energi bersih ditingkatkan.
Pidato Jokowi, sebaliknya, menyinggung musibah kabut asap yang berkecamuk selama empat bulan disebabkan pembakaran rawa gambut yang akhirnya dipadamkan hujan mulai akhir Oktober.
Langkah prevensi telah disiapkan dan sebagian mulai implementasi. Restorasi ekosistem gambut dengan pembentukan Badan Restorasi Gambut, Jokowi menyatakan. Presiden tidak menguraikan bagaimana badan baru ini akan berfungsi.
Dua pertanyaan mengemuka. Pemerintah menghadapi tantangan apa dalam restorasi gambut? Bagaimanakah Badan Restorasi Gambut dapat berfungsi dengan efektif?
Kalau Indonesia mau keluar dari masalah kabut asap dan mempertahankan ekosistem rawa gambut tropis, perbaikan hidrologi dan rehabilitasi menggunakan jenis jenis pohon lokal bisa dikerjakan bersamaan dengan mutlak melibatkan masyarakat, Dr. Haris Gunawan, ilmuwan gambut Universitas Riau mengatakan.
Riau dahulu adalah provinsi kaya gambut. Tetapi banyak rawa gambut telah dikonversikan menjadi perkebunan sawit dan perkebunan akasia untuk membuat bubur kertas.
Tujuan utama restorasi adalah mengembalikan rawa atau air hitamnya di dalam tanah lembab.Dengan demikian kebakaran di bawah tanah tidak akan terjadi karena gambut sudah berupa rawa, kata Dr Haris yang sudah mengadakan percobaan sekat kanal guna memulihkan rawa gambut di Provinsi Riau.
Satu masalah dalam restorasi ialah hidrologi ekosistem beberapa daerah gambut sudah kolaps mendekati kepunahan. Mahkota atau kubah-kubah sebagai tandon (cadangan) atau penyimpan air sudah dikonversi, dibuat kanal-kanal, Haris menjelaskan.
Badan yang akan dibentuk nantinya harus fokus memperbaiki kubah-kubah gambut bersama para pihak, kata Haris yang memperoleh gelar doktornya dari Universitas Kyoto.
Agar Badan itu efektif, pertimbangan teknis, payung hukum, kewenangan lintas sektor perlu dipikirkan. Kepala Badan yang langsung melapor ke Presiden harus memiliki kompetensi, kredibilitas dan berpengalaman luas dalam mengelola kerjasama di tingkat daerah, nasional , dan internasional, Haris berpendapat.
Sementara itu, Dr Gunggung Senoaji, dosen kehutanan di Universitas Bengkulu, mengatakan pemerintah perlu membuat inventarisasi lahan gambut yang terjaga baik. Ini dijadikan kawasan perlindungan lingkungan.
Inventarisasi lahan gambut rusak atau sudah dbuka juga dilakukan. Pertanyaannya, beranikah pemerintah mengambil alih lahan gambut ini untuk dijadikan kawasan perlindungan lingkungan ?
Mengenai tantangan-tantangan, pertama belum ada peraturan yang menetapkan lahan gambut sebagai kawasan perlindungan lingkungan, seperti halnya penetapan kawasan hutan.. Tidak semua lahan gambut berada di dalam kawasan hutan.
Kedua, pemetaan lahan gambut secara nasional belum seluruhnya dilakukan. Contoh di Bengkulu sama sekali tidak ada data luasan gambutnya, kata Dr Gunggung yang memperoleh S3 dalam kehutanan dari Universitas Gadjah Mada tahun 2011.
Mengenai kepastian pemetaan dan kepastian hukum, Dr. Gunggung bercerita pengalaman di studi lapangan.
Gunggung sekarang sedang melakukan kajian konflik masyarakat dalam pemanfaatan lahan hutan produksi. Lahan ini kebetulan lahan gambut di Kabupaten Musi Rawas, Sumatera Selatan.
Dua bulan lalu sekitar 500 hektar lahan gambutnya terbakar, milik masyarakat (legal) dan milik perusahaan HTI (legal).
Pertanyaan dalam benak Gunggung ialah bagaimana bisa pemerintah menetapkan lahan gambut seperti ini menjadi hutan produksi, yang memang ditetapkan untuk ditebang pohonnya? Apakah mungkin pemerintah mau mengambil alih lahan yang sudah dikuasai masyarakat atau perusahaan ini?
Jokowi yang juga adalah sarjana kehutanan UGM, perlu menerima masukan lintas sektor cukup sebelum ia bertindak dalam menanggulangi masalah gambut Indonesia.
Badan Restorasi Gambut yang baru ini harus dibentuk segera dan langsung operasional. Ia hendaknya tidak menjalani masa hamil dua tahun sebagaimana dialami Badan Pengelola REDD+. BP REDD+ belum sampai satu tahun beroperasi kemudian dibubarkan seorang presiden baru Januarari 2015 untuk dilebur ke dalam Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan..
Ditulis oleh Warief Djajanto Basorie | |
Kamis, 26 November 2015 20:21 |
Published in