Mengapa Desa Namo Memilih Mengajukan Hutan Desa?

Oleh Syarifah Latowa, Mongabay.co.id, Palu,
Juli 2015

AKHIRNYA setelah tiga jam perjalanan darat dari ibu kota Sulteng, Palu, tibalah kami di Namo, sebuah desa kecil yang dikelilingi oleh perbukitan. Namo merupakan pemekaran dari Desa Bolapapu yang berpisah sebelas tahun yang lalu dari desa induknya ini. Desa ini secara administratif merupakan bagian dari Kecamatan Kulawi, Kabupaten Sigi.

“Silakan masuk! Jangan sungkan, para tokoh sudah menunggu,” sembari menyalami kami, Basri Ketua Lembaga Pengelola Hutan Desa (LTHD) mempersilakan kami masuk ke lobo (nama setempat untuk rumah adat, tempat masyarakat membicarakan seluruh permasalahan adat dan desa).  Lobo di Namo memiliki ukuran 4 x 6 meter, beratap rumbia, berlantai papan, dengan setengah bagian dindingnya tertutup papan yang berfungsi sebagai sandaran.

Desa Namo merupakan desa yang telah berhasil memperoleh pengakuan pengelolaan hutan desa.  Berdasarkan keputusan Menhut nomor 64/2011, desa ini mengelola wilayah Hutan Desa seluas 490 hektar, yang merupakan bagian dari sistem daerah aliran sungai (DAS) Palu, sub-DAS Miu.  Dari 490 hektar itu, 400 hektar dialokasikan sebagai zona lindung dan sisanya 90 hektar diperuntukkan untuk fungsi pemanfaatan.

Fungsi kawasan lindung di area ini menjadi penting karena jika hutan lindung di Namo dan desa-desa sekitarnya rusak, dapat dipastikan Palu dan daerah di wilayah hilir akan mendapatkan ancaman banjir limpasan saat musim penghujan.

“Secara turun-temurun sebenarnya masyarakat menganggap hutan yang ada di wilayah Namo adalah hutan adat. Dulu kami belum mengetahui bahwa kawasan itu hutan lindung,” tutur mantan Kades Namo, Tau Hamid.

Menurutnya, persoalan mulai muncul ketika masyarakat tidak bisa lagi meluaskan area garapan. “Masyarakat waktu itu bingung tidak tahu harus ke mana lagi memperluas lahan untuk bertahan hidup.  Wilayah kami terhimpit antara Taman Nasional Lore Lindu di timur dan hutan lindung di barat,” kenangnya. “Meskipun dalam pemahaman masyarakat kawasan tersebut wilayah hutan adat.”

Langkah pertama yang dilakukan oleh Kades Namo adalah melakukan negosiasi dengan desa tetangga, Tangkolowi, agar sebagian kapling wilayah desa tetangga itu dijadikan bagian hutan Namo. Saat itu tahun 2007.

“Proses negosiasi berjalan lebih kurang tiga bulan. Mereka setuju, tapi syaratnya kami harus buatkan pesta adat untuk memasuki rumah adat yang mereka buat. Jadi, semua kebutuhan yang diperlukan untuk ritual pesta adat tersebut harus disiapkan masyarakat Namo,” katanya menerangkan.
“Saat serah terima hutan adat  acara dihadiri oleh wakil pemerintah Kulawi, aparat desa dan lembaga adat, serta tokoh-tokoh masyarakat. Mereka semua menyaksikan dan ikut menandatangani persetujuan itu.”

Langkah kedua yang dilakukan oleh Desa Namo adalah meminta hak pengelolaan hutan di hutan lindung lewat program Hutan Desa.  Hamid mengaku pihaknya banyak dibantu oleh Yayasan Jambata (Jagalah Alam Maka Bumi Akan Tetap Abadi), sebuah LSM yang bergerak dalam pendampingan masyarakat. “Tidak saja lewat bantuan konsep, bahkan hingga menyediakan kerbau untuk pesta adat pun dibantu Jambata,” tuturnya.

Menurut Zarlif, Direktur Jambata, kawasan Hutan Desa penting bagi masyarakat karena merupakan aset masyarakat Namo untuk mengelola hutan dari produk bukan kayu. Tantangan terbesar dalam proses tersebut adalah ketika masih sedikit warga yang paham dengan berbagai macam aturan dan terbatasnya sumber daya finansial.

“Pada tahun 2010 kami mengajukan proposal ke Kemenhut melalui Dishut Kabupaten Sigi untuk mendapatkan Hutan Desa. Pada tanggal 21 Maret 2011 Kemenhut menerbitkan SK areal kerja hutan desa di kawasan hutan lindung,” kata Zarlif menjelaskan.

“Hal yang paling sulit adalah memberikan pemahaman terhadap masyakat dalam mengelola area Hutan Desa agar masyarakat mampu memperoleh kehidupan yang layak dari sana. Untunglah ada  Jambata yang setia mendampingi, sehingga semua tercapai,” tukasnya.

“Saat ini kami belum bisa bicara langkah ke depan tentang hasil putusan MK nomor 35/2013. Belum ada peraturan pendukungnya. Harusnya ‘kan ada PP. Setelah PP akan muncul Perda dan turunannya. Kami tidak mau melanggar aturan karena masyarakat di sini masyarakat adat, kami sangat menghargai aturan,” tambah Basri saat ditanya langkah ke depan setelah proses legalitas Hutan Desa disetujui oleh pemerintah di Desa Namo.

Kearifan Lokal
Tau Hamid menjelaskan bahwa hutan bagi masyarakat Namo tidak sembarang diperlakukan, bahkan jauh sebelum Kemenhut pada tahun 1999 meeka menetapkan kawasan di area tersebut sebagai Hutan Lindung yang mendukung fungsi daerah aliran sungai. “Hutan primer tidak boleh diganggu gugat oleh masyarakat adat, sedangkan yang kami   katakan hutan sekunder itulah milik adat menurut pemahaman masyarakat adat,” katanya menerangkan.

Menurutnya, sejak dahulu masyarakat telah mengenal praktik gilir lahan dalam sebuah siklus antara lima hingga sepuluh tahun. “Kalau tahun pertama kami kerja buka kebun di utara, tahun kedua kami mengelola di tengah, dan tahun ketiga kami mengelola di selatan. Lima sampai 10 tahun kembali lagi ke tempat semula. Kearifan semacam inilah yang dilakukan orang tua kami dulu.”

Karena lahan sudah semakin terbatas, intensifikasi lahan-lahan pekarangan menjadi pilihan masyarakat, termasuk menanami pekarangan dengan kacang tanah dan pohon cokelat.

Adapun dari dalam hutan, masyarakat mengolah hasil nonkayu seperti rotan, damar, aren, bambu, madu hutan serta berbagai tumbuhan obat. “Untuk rotan kami dapat hasilkan dan jual 40 ton setiap tahunnya,” tutur Rusdin, Sekdes Namo. Setidak-tidaknya terdapat delapan nomenklatur jenis rotan hutan yang dia sebutkan. Rusdin menambahkan pula bahwa masyarakat Namo telah mulai memproduksi kursi bambu yang bahannya diperoleh dari lahan kebun dan hutan.

Di kawasan hutan yang ada di wilayah Namo pun masih terdapat satwa endemik yang dijumpai. “Anoa, babi rusa, burung alo, tarsius, maleo, musang, dan masih banyak lagi satwa yang hidup di kawasan itu,” tutur Rusdin.

Sumber Link : ‎http://www.mongabay.co.id/2014/09/29/mengapa-pilihan-desa-namo-adalah-ajukan-hutan-desa/

Published in ClimateReporter