Petani Blok Cepu Mandiri dengan Pertanian Organik
Mengubah Perilaku Konsumtif Menjadi Produktif
Sabtu, 25 November 2017 | http://www.suarabanyuurip.com/kabar/baca/mengubah-perilaku-konsumtif-menjadi-produktif
Konsep pertanian organik mulai ditekuni petani di wilayah sekitar Lapangan Minyak Banyuurip, Blok Cepu. Selain produksinya lebih sehat, kegiatan pertanian yang dilakukan juga ramah lingkungan.
PARMIN, (41), tidak lagi merasa risau dengan kelangkaan pupuk yang biasa terjadi pada saat musim tanam seperti sekarang ini. Petani Dusun Bringan, Desa Ngraho, Kecamatan Gayam, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, itu tidak lagi tergantung pada pupuk dan obatan-obatan kimia dari pabrikan.
Karena sekarang ini Parmin mulai menerapkan pertanian semi organik. Sehingga dia mulai mengurangi pupuk dan obatan-obatan kimia, dan lebih mengutamakan pemakaian pupuk kompos baik berbentuk padat maupun cair. Begitu juga dengan obatan-obatan pertanian yang dia pakai juga menggunakan agen hayati.
“Dulu pupuk langka bingung, pupuk ada tapi nggak punya uang juga bingung. Tapi sekarang nggak lagi,” ucap Parmin kepada suarabanyuurip.com Jumat (24/11/2017).
Parmin masih ingat betul empat tahun lalu saat masih menggunakan cara pertanian konvensional. Setiap musim tanam dia membutuhkan pupuk kimia sebanyak 5 kwintal untuk lahannya seluas 5.500 meter persegi (m2). Baik itu jenis phonska, urea maupun TS.
Namun setelah mendapatkan pelatihan dan pendampingan program pengembangan mata pencaharian masyarakat di bidang pertanian dan hortikultura dari Lembaga Swadya Masyarakat (LSM) Bina Swadaya, mitra operator Lapangan Banyuurip, Blok Cepu, ExxonMobil Cepu Limited (EMCL), Parmin mulai beralih.
Dalam program itu ada pembuatan demplot (percontohan) pertanian organik dan Sekolah Lapangan yang menambah keyakinannya untuk memilih ke pertanian organik. Sekolah Lapang menjadi pembelajaran non-formal bagi masyarakat guna meningkatkan pengetahuan, keterampilan, mengidentifikasi, dan menerapkan teknologi sesuai sumber daya setempat secara sinergis dan berwawasan lingkungan.
“Awalnya ya nggak percaya. Karena sudah terbiasa memakai pupuk kimia,” ucapnya.
Dengan memakai pupuk organik ini, Parmin mengaku dapat menekan biaya produksi setiap musim tanam. Jika menggunakan cara konvensional, dirinya menghabiskan 5 kwintal pupuk kimia, namun dengan semi organik ini hanya 2 kwintal pupuk kimia. Sedangkan sisanya menggunakan pupuk kompos padat dan cair maupun obat-obatan dari agen hayati.
“Walaupun produksinya di bawah cara pemakaian pupuk kimia, namun biaya pengeluaran lebih rendah. Karena kita tidak lagi membeli banyak pupuk kimia maupun obata-obatan kimia yang mahal harganya,” ungkap Parmin.
Untuk setiap satu hektar lahan pertanian, jika menggunakan cara konvensional bisa menghasilkan antara 8-9 ton. Namun jika menggunakan semi organik dapat menghasilkan produksi 6 ton dengan luas lahan yang sama.
“Tapi kwalitas produksinya lebih bagus dan sehat dengan semi organik. Karena tidak banyak memakai zat kimia,” ucap Parmin.
Cara pertanian semi organik ini dinilai dapat meningkatkan ekonomi petani. Karena pola pikir petani yang sebelumnya konsumtif, berubah menjadi produktif.
“Peningkatan ekonomi petani tidak harus meningkatkan hasil produksi, namun pengurangan biaya produksi juga merupakan peningkatan ekonomi,” sambung Fatkhur Rohman, petani lainnya asal Desa Begadon, Kecamatan Gayam.
Biaya Produksi Lebih Murah
Ketergantungan pupuk kimia yang menimpa petani sekarang ini menjadi ancaman terhadap kesuburan tanah. Dampaknya, produksi pertanian bisa turun dan berpotensi memunculkan serangan hama yang sulit dikendalikan.
“Unsur hara akan berkurang, tanah jadi tidak subur,” kata Dwi Prayitno, Ahli Pertanian dari Lembaga Sertifikasi Organik Seloliman (LeSOS) Mojokerto, dihubungi suarabanyuurip.com, Sabtu (25/11/2017) malam.
Dengan berkurangnya unsur hara ini, jelas Dwi Prayitno, tanaman akan tumbuh up normal. Meskipun pada satu dua atau tahun produksi padi meningkat, namun pemakaian pupuk kimia akan menjadikan tanaman ketergantungan terhadap zat kimia. Artinya, dosis pemakaian pupuk kimia akan terus bertambah setiap musim tanam.
“Karena itu dari hasil penelitian tanah yang pernah kami lakukan selama setahun dan uji laboratorium di Fakultas Pertanian Brawijaya dulu, kita rekomendasikan untuk menambah pupuk organik,” ungkap Dwi Prayitno, yang pernah menjadi tenaga ahli budidaya di Lembaga Bina Swadaya mendampingi petani.
Idealnya, untuk setiap satu hektar lahan pertanian membutuhkan 4 sampai 5 ton pupuk organik. Pemakaian pupuk organik ini setiap musim tanam akan terus berkurang hingga mencapai 1 ton per hektarnya.
“Kalau pupuk kimia tiap musim tanam terus bertambah. Inilah bedanya antara pemakaian pupuk organik dengan kimia,” jelas Dwi.
Senada dengan Parmin maupun Fatkhur Rohman, dengan pertanian organik ini, menurut Dwi, biaya produksi petani setiap musim tanam bisa berkurang. Dari estimasi yang dia lakukan, petani bisa menghemat lebih dari 50 persen biaya produksi jika menggunakan pertanian organik.
“Semisal kebutuhan tanam jika menggunakan cara konvensional habis Rp 6 juta, kalau memakai pertanian organik hanya Rp3juta,” ucapnya.
Selain itu pemakaian pupuk kimia yang berlebih pada tanaman dalam jangka panjang juga mengancam kesehatan. Semisal mudah lupa, dan pegal-pegal pada tubuh.
Hal itu berbeda jika tanaman menggunakan pupuk organik. Hasil produksinya jauh lebih sehat dan aman dikonsumsi. Namun butuh pasar khusus organik untuk dapat memasarkan hasil pertanian organik.
“Petani masih enggan untuk mamakai cara ini. Padahal harganya di atas produksi pertanian konvensional,” ungkap Dwi.
Menurut dia, ada beberapa faktor yang menjadi penyebab petani di wilayah Lapangan Minyak Banyuurip masih enggan menerapkan pertanian organik ini. Di antaranya belum ada pasar untuk hasil pertanian organik, dan sistim tebas yang dilakukan tengkulak terhadap hasil pertanian organik.
Akibatnya, harga antara produksi pertanian organik akan disamakan dengan produksi padi cara konvensional. Sehingga menjadikan petani lebih cenderung memilih melakukan tanaman padi dengan cara konvensional untuk mengejar peningkatan produksi ketimbang kwalitasnya.
“Apalagi banyak tengkulak yang menakut-nakuti petani, jika padi organik produksi padinya jelek,” ungkap Dwi.
Cara pertanian organik ini mendapat dukungan Dinas Pertanian Bojonegoro karena dapat mengurangi ketergantungan pupuk kimia. Jumlah kebutuhan pupuk pada musim tanam setiap tahunnya terus meningkat.Untuk tahun 2015, alokasi pupuk bersubsidi mencapai 53.928 ton dengan rincian jenis ZA 18.837 ton, SP36 14.640 ton, NPK 38.152 ton, Petroganik 25.481 ton.
Jumlah tersebut meningkat pada tahun 2016 menjadi 54. 922 ton dengan rincian jenis ZA 20.838 ton, SP36 15.317, NPK 37.432 ton, dan Petroganik 25.511 ton. Kemudian alokasi pupuk meningkat lagi pada tahun 2017 yang mencapai 64.784 ton dengan rincian jenis ZA sebanyak 23.985 ton, SP36 16.064 ton, NPK (Phonska) 41.835 ton, dan organik 38.378 ton.
“Ini menandakan ketergantungan petani terhadap pupuk kimia cukup tinggi,” kata Kepala Dinas Pertanian Bojonegoro, Achmad Jupari di temui di kantornya pekan ke dua September lalu.
Karena itu pihaknya terus mendorong kepada petugas penyuluh lapangan (PPL) untuk mengkampanyekan pertanian organik di kalangan petani agar provitas tinggi. Karena jika menggunakan pupuk kimia berlebih akan merusak kesuburan tanah.
“Lahan pertanian juga merupakan warisan kepada anak cucu yang harus dijaga dan dipelihara dengan baik agar nantinya bisa tetap bisa produksi,” pesan Jupari.
Petani Bikin Pupuk Kompos Sendiri
Pertanian organik yang mulai diterapkan petani di wilayah Gayam menjadikan petani semkin produktif. Mereka memanfaatkan limbah kotoran sapi maupun penghijauan menjadi pupuk organik padat dan cair, maupun obat-obatan agen hayati.
Untuk pupuk organic yang diproduksi di antaranya PGPR (Plant Growth Promoting Rhizobakteri), POC (pupuk organic caor), ZPT (zat perangsang tumbuhan), MOL (mikro organisme local). Sedangkan jenis obat-obatan hayati yang diproduksi diantaranya adalah beauveria, trichoderma, corynebacterium.
Ketua Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) Lestari Dusun Sumur Pandan, Desa Gayam, Sukoco mengungkapkan, keinginannya membuat pupuk organik ini dikarenakan melihat adanya potensi peternakan di wilayah Gayam. Hampir tiap warga memiliki sapi yang kotorannya dapat diolah menjadi pupuk organik yang dapat digunakan pupuk bagi tanaman pertanian maupun hortikultura.
“Untuk kotoran ternak kita beli dari warga sekitar. Setiap satu truk basah seharga 700 ribu rupiah. Itu termasuk ongkos tenaga bongkar muat,” kata Sukoco kepada suarabanyuurip, Sabtu (25/11/2017).
Sukoco menjelaskan untuk mengolah kotoran ternak menjadi pupuk organik ada beberapa langkah dilakukan. Pertama mencampur kotoran sapi dengan bahan pengurai, kapur, dan tetes tebu. Campuran itu kemudian didiamkan beberapa hari untuk proses penguraian.
Untuk penguraian tergantung cuaca. Untuk cuaca kering biasanya membutuhkan waktu tiga pekan, sedangkan saat musim hujan lebih lama lagi, yaitu selama enam pekan. Karena itu selama proses penguraian harus dibolak-balik, yaitu satu kali seminggu pada musim kering dan saat musim hujan sekali dalam dua minggu.
Setelah penguraian, kotoran sapi itu selanjutnya digiling menggunakan chopper sebelum dikemas dilakukan pengakayakan agar teksturnya halus. Satu alat yang digunakan membuat pupuk tersebut merupakan bantuan dari Dinas Pertanian Bojonegoro.
“Kalau dari limbah biogas tidak usah di fermentasi. Untuk membuat kompos ini tidak boleh langsung terkena sinar matahari atau air hujan. Jadi semua bahan yang sudah diolah kita tamping di rumah kompos,” ungkap Sukoco.
Dalam membuat kompos ini Sukoco dibantu lima orang anggota KSM Lestari. Mereka memiliki bagian sendiri-sendiri, karena tugas membuat pupuk kompos berlipat-lipat. Untuk setiap satu kilo gramnya pupuk tersebut dijual seharga Rp500.
Produksi Kompos KSM Lestari ini dijual petani di wilayah Gayam seperti Desa Manukan, Ngraho, Katur, Begadon, dan Gayam. Dari target produksi 100 ton, KSM Lestari baru bisa memproduksi paling banyak 30 ton.
“Karena di sini petani belum percaya sepenuhnya dengan kompos. Jadi kita produksi sesuai pesanan,” ucap bapak tiga anak yang tinggal di RT 25 RW 05 Dusun Dawung, Desa Gayam itu.
Sedangkan untuk pupuk organik cair dan obat-obatan agen hayati sebagian petani sudah dapat membuatnya. Selain memanfaatkan kotoran sapi, mereka juga memanfaatkan hijauan yang ada sekitar lingkungan.
“Hampir semua anggota kita sudah bisa membuat sendiri,” sambung Ketua II Koperasi Pengembangan Agrobisnis (KPA) Makmur Sejahtera Bersama Desa Katur, Kecamatan Gayam, Fatkhur Rohman.
Diminati Toko Modern Hingga Hotel
Konsep pertanian organik yang digeluti petani sekitar Lapangan Banyuurip mulai dirasakan hasilnya. Beras hasil pertanian organik mereka semakin banyak diminati pasar lokal maupun regional. Setelah masuk toko modern milik Koperasi Karyawan Redreying Bojonegoro (KAREB), beras organik itu sekarang masuk Hotel Roemah YWI di Malang, Jatim.
Beras organik itu disalurkan melalui Koperasi Pengembangan Agrobisnis (KPA) Makmur Sejahtera Bersama Desa Katur, Kecamatan Gayam. Koperasi ini merupakan binaan Operator Lapangan Banyuurip, ExxonMobil Cepu Limited (EMCL), melalui program pengembangan mata pencaharian masyarakat.
Koperasi ini menampung hasil pertanian organik 256 petani yang menjadi anggotanya yang tersebar di wilayah Gayam, dan dua desa di Kecamatan Kalitidu yakni Sumengko dan Talok.
Jumlah pengiriman beras perdana yang dikirim KPA Makmur Sejahetera Bersama ke Hotel Moerah YWI sebanyak 1 ton dengan jenis non mentik wangi. Harga per kilogramnya Rp9.900.00 jika diambil sendiri di koperasi, dan Rp10.000/kg bila diantarkan.
“Karena ini pengiriman perdana, perwakilan hotel datang mengambil sendiri ke sini,” ucap Ketua II KPA Makmur Sejahtera Bersama, Fatkhur Rohman di sela-sela persiapan pengiriman beras di kantor koperasi, Selasa (31/10/2017).
Sesuai perjanjian, setiap satu bulan KPA Makmur Sejahtera Bersama akan mengirimkan satu ton beras ke Hotel Moerah YWI. Jumlah ini dimungkinkan akan bertambah karena untuk kebutuhan beras karyawan Hotel Moerah juga akan dipasok oleh KPA Makmur Sejahtera.
Ada beberapa keunggulan beras organik produksi petani anggota KPA Makmur Sejahtera Bersama ini. Salah satunya penanamnya menggunakan pupuk organik yang diproduksi sendiri oleh anggota.
“Ini merupakan beras sehat. Karena kita tidak memakai pupuk kimia mulai dari tanam, hingga proses penggilingan,” tegas Fatkhur.
Ada beberapa jenis padi yang ditanam petani anggota KPA Makmur Sejahtera Bersama. Yakni mentik wangi, dan non mentik wangi seperti cierang yang semuanya ditanam tanpa memakai pupuk kimia. Beras Mentik Wangi ini merupakan satu-satunya di Bojonegoro. Beras ini memiliki aroma harum.
Untuk harga beras jenis mentik wangi per kilogramnya Rp10.000 jika diambil sendiri di koperasi, dan Rp11.000 jika diantarkan. Selain melayani Hotel Moerah YWI, KPA Makmur Sejahtera Bersama sejak 2016 lalu hingga sekarang ini juga melayani kebutuhan pasar modern KAREB Bojonegoro sebanyak 1,5 ton.
“Kita juga melayani kebutuhan pasar lokal di sini, dan karyawan EMCL,” ungkap Fatkhur.
Menurut dia, pengiriman beras ke Hotel Moerah YWI ini dipastikan tidak akan menganggu kebutuhan pasar lokal, termasuk pasokan ke pasar moderen milik KAREB. Karena jumlah produksi dari anggota KPA Makmur Sejahtera Bersama setiap kali panen mencapai 420 ton lebih dengan total lahan pertanian yang dikerjasamakan seluas 60 hektar.
“Kita terus berupaya mencari pasar untuk memasarkannya. Dengan begitu diharapkan kedepan bisa berkembang dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, anggota dan lembaga,” pungkas Fatkhur.
Sementara itu, Bagian Prosesing Hotel Moerah YWI, Toni Hariadi mengakui jika kwalitas beras organik produksi KPA Makmur Sejahtera Bersama lebih bagus dibanding beras di pasaran. Yakni selain berasnya tidak patah-patah, juga rasanya lebih enak sehingga sangat tepat untuk disajikan kepada tamu hotel.
“Berasnya tidak lembek dan kaku. Dimakan dingin juga tetap enak,” tuturnya saat mengambil beras di KPA Makmur Sejahtera.
Disamping itu, tambah Toni, harga beras organik KPA Makmur Sejahtera Bersama lebih murah dibanding harga beras di Pasar Besar Malang yang selama ini dibelunya. Di sana harganya mencapai Rp11.100 per kilogramnya, dengan kualitas sama.
“Karena itu pak direktur telah menyarankan ke depan agar beras untuk karyawan hotel juga diambilkan dari sini juga,” pungkasnya.
Juru Bicara EMCL, Rexy Mawardijaya menyampaikan kerjasama KPA ini merupakan bagian dari program Pengembangan Mata Pencaharian Masyarakat di sekitar wilayah operasi EMCL. Program yang didampingi Yayasan Bina Swadaya ini, sudah membentuk beberapa kelompok petani dalam wadah Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM).
“Kita juga membentuk dua koperasi sebagai wadah pemasaran dan permodalan,” kata Rexy dalam satu kesempatan.
Rexy berharap, melalui program pengembangan ekonomi ini, bisa meningkatkan taraf hidup masyarakat sekitar wilayah operasi EMCL. Saat ini, kata dia, EMCL melakukan berbagai program kemasyarakatan di bidang pendidikan, kesehatan dan pengembangan ekonomi.
“Ini komitmen kami, sebagai tetangga yang baik, kami terus bersinergi dengan pemerintah,” pungkasnya.(d suko nugroho)
Published in