Hitam Putih Blok Cepu
Minggu, 22 Januari 2017 | http://www.suarabanyuurip.com/kabar/baca/hitam-putih-blok-cepu
Sebuah industri di manapun pasti memberikan dampak positif dan negatif. Tak terkecuali industri Minyak dan Gas Bumi (Migas) Banyuurip, Blok Cepu.
Winto masih ingat betul kondisi Desa Gayam, Kecamatan Gayam, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, 27 tahun silam. Kala itu dia sudah remaja. Masa kecilnya hingga sekarang dihabiskan di desa yang dulunya ikut Kecamatan Ngasem tersebut.
Kondisi infrastruktur, terutama jalan di desanya sangat memprihatinkan. Jalan Gayam hingga Desa Sumengko, Kecamatan Kalitidu, masih berbentuk makadam. Setiap kali turun hujan, dipastikan kendaraan bermotor ataupun mobil tidak bisa melintas. Kalaupun bisa hanya sepeda pancal, itupun masih jarang.
Buruknya infrastruktur jalan sangat dirasakan Winto. Saat itu dia menginjak bangku SMA pada tahun 1992. Dirinya harus jalan kaki dari rumahnya yang berada di dekat kantor kecamatan hingga sejauh 7 kilo meter (Km) sambil menenteng sepatu untuk sampai ke perempatan Dusun Clangkap agar bisa sekolah. Itu dia rasakan hingga lulus SMA pada 1995.
“Kebetulan waktu itu satu kampung yang meneruskan ke SMA hanya saya,” kenang Winto saat menceritakan kondisi Desa Gayam kepada sebelas perwakilan negara saat melakukan sinau bareng bersama masyarakat di balai desa setempat beberapa waktu lalu.
Namun kondisi tersebut perlahan mulai berubah setelah ExxonMobil Cepu Limited (EMCL) menggarap Lapangan Banyuurip, Blok Cepu, medio 2000-2001. Beragam program tanggung jawab sosial (corporate social responsibility/CSR) digulirkan Anak perusahaan ExxonMobil, raksasa migas asal Amerika Serikat tersebut.
Ada tiga bidang CSR yang menjadi andalan EMCL. Yakni bidang kesehatan, pendidikan, dan pengembangan ekonomi. Program itu dikucurkan setiap tahun.
“Alhamdulillah sejak adanya proyek ini, meskipun jalan masih berlobang, namun kami merasa bersyukur. Infrastruktur di wilayah ini banyak terbantu,” ucap Kepala Desa Gayam itu.
Selain infrastruktur jalan, bidang pendidikan di Desa Gayam juga sudah sangat maju. Pun kesehatan, perusahan juga banyak membantu sarana dan prasarana.
“Bisa dikatakan sekarang perubahannya 180 derajat dibanding tahun 1990 an,” ucap Winto.
Perubahan lain yang kentara adalah pola pikir warga terhadap pendidikan. Sebelum adanya proyek Banyuurip para orang tua acuh terhadap pendidikan anak-anaknya. Namun saat ini kepedulian mereka sangat tinggi.
“Sekarang ini bagi mereka menyekolahkan anaknya sangat penting. Karena untuk mendaftarkan pekerjaan yang dibutuhkan adalah lulusan SLTA,” kata Winto, mengungkapkan.
“Ada juga lulusan SMP yang bisa masuk kerja, tapi lebih cepat yang SMA. Ini yang membuat orang tua semakin peduli dengan pendidikan anaknya,” lanjut bapak satu anak itu.
Namun di lain sisi keberadaan proyek migas juga mengakibatkan masyarakat kehilangan mata pencaharian. Ada sekira 600 – 700 hektar (Ha) lahan pertanian yang selama ini menjadi sumber pendapatan mereka tergerus proyek negara.
Sedangkan hasil penjualan lahan sebagian besar telah digunakan untuk kebutuhan konsumtif. Seperti membeli motor, mobil dan membangun rumah. Padahal para pemilik lahan tidak memiliki keahlihan lain, selain bertani.
“Ini sangat memprihatinkan, dan ini pekerjaan rumah bagi kita bersama,” tutur Winto.
Karena itu dirinya menyarankan kedepan yang paling penting adalah memberdayakan sumber daya manusia (SDM). Baik pemberdayaan bidang ekonomi, pertanian maupun lainnya.
Berbeda dengan Winto. Menurut Camat Gayam, Hartono perkembangan yang paling menonjol adalah semakin kritisnya masyarakat terhadap pemerintah kecamatan maupun desa. Artinya kontrol masyarakat terhadap pemerintah sangat tinggi.
“Ini dikarenakan pengaruh-pengaruh orang pintar luar biasa. Ini menjadikan fungsi pemerintah semakin terkontrol,” sambung Hartono.
Selain itu ketaatan masyarakat kepada hukum juga semakin tinggi. Semisal untuk kepemilikan administrasi kependudukan. Begitu kecamatan mengumumkan bisa memproses Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK), masyarakat langsung berduyun-duyun mengurusnya. Termasuk kepemilikan tanah atau sertifikat.
“Ini luar biasa. Ini yang saya rasakan,” ujar Hartono yang mengaku mulai menjadi Camat Gayam 2013 lalu.
Pemerhati pendidikan Kecamatan Gayam, Fandil membenarkan hal tersebut. Ia mengungkapkan, sebelum dimulainya kegiatan di Lapangan Banyuurip, masyarakat Gayam yang tamat SLTA sedikit sekali.
“Jangankan kuliah, waktu itu yang lulus sampai SMA jarang sekali,” kata Fandil.
Karena itulah pada 2006, melalui sebuah yayasan dirinya mendirikan SMA swasta untuk membantu masyarakat agar mudah memperoleh pelayanan pendidikan. Karena pada waktu itu untuk bisa sekolah sampai tingkat SLTA pemuda Gayam harus ke wilayah Kecamatan Kalitidu atau Purwosari.
“Selain itu agar anak yang tidak mampu bisa tertampung di sekolah ini,” kata Kepala SMA Islam Gayam itu.
Keberadaan industri migas ini juga membawa perubahan gaya hidup pemuda Gayam. Menurut dia, kalau dulu mereka ngopinya di warung-warung dekat rumah, tapi sekarang di cafe-cafe.
“Ini juga dampak perubahan. Jadi dengan adanya proyek ini ada dampak postifnya, juga negatifnya,” tegasnya.
Dampak eksplorasi dan eksploitasi migas Banyuurip juga berdampak pada peternak. Menyusutnya lahan pertanian ini mengakibatkan berkurangnya jumlah ternak di wilayah Gayam. Karena ladang penggembalaan maupun rumput yang menjadi pakan ternak telah beralih fungsi.
Sedangkan di sisi lain program peternakan yang digulirkan operator belum mampu mengubah kultur masyarakat tentang peternakan. Warga masih berternak secara tradisional.
“Sehingga orientasi ke bisnis masih jauh dari harapan,” sergah praktisi peternakan Gayam, Mohamad Ja’i.
“Pola ini sangat kontradiktif dengan menyusutnya lahan. Karena hanya mengandalkan pada rumput,” lanjut pengelola Kandang Belajar Sapi Rakyat (KBSR) itu.
Semakin sempitnya lahan ini, menurut Ja’i, perlu ada intervensi teknologi terkait tata kelola peternakan terutama teknologi pakan dengan memanfaatkan limbah-limbah pertanian untuk diolah menjadi produk pakan ternak bergizi guna meningkatkan produktifitas ternaknya.
“Cara itu sudah dilakukan oleh peternak lokal, tapi belum dikembangkan secara masif. Untuk itu diperlukan dorongan dari semua pihak mulai pemerintah kabupaten hingga desa, corporate dan masyarakat untuk saling sinergi,” pungkas Ja’i. (d suko nugroho)
Published in