Independensi Media Pers (Bagian 2)

PERTANYAAN:

Assalamualaikum. Wr. Wb

Semoga Bapak senantiasa dalam rahmat dan lindungan dari Allah SWT.
Langsung saja. Belum lama ini KPI di ”tekan” oleh masyarakat untuk memanggil dua stasiun tv swasta yang sama-sama menjadi kiblat news di Indonesia (tvOne dan MetroTV). Gelombang deras kasus mafia pajak Gayus Tambunan yang juga menyeret beberapa perusahaan besar menjadi sebuah acuan bagi sebagian besar masyarakat yang melapor kepada KPI guna mempertanyakan netralitas dua lembaga pers tersebut.

Masyarakat menilai dua stasiun Tv tersebut tidak netral dalam memberitakan kasus tersebut sehingga terkesan mewakili kepentingan pihak-pihak tertentu baik secara politis dan hal lainnya.

http://berita21.com/2011/01/20/kpi-panggil-metro-tv-tvone/
http://nasional.jurnas.com/show/index/156628?rubrik=Politik+-+Hukum+-+Keamanan

Menarik ketika saya membaca kembali beberapa diskusi kita terdahulu tentang independensi pers di Indonesia. Ketika itu bapak menjawab pertanyaan saya dengan sangat jelas  prihal independensi pers:

“Mengenai campur tangan pemilik media pers, pada hemat saya, sama saja apakah mereka berada di negara otoriter ataupun di negara liberal. Adalah alami jika pemilik perusahaan pers berusaha campur tangan, atau sedikitnya mempengaruhi, dalam penentuan kebijakan redaksi sesuai dengan kepentingannya. Kepentingan itu mungkin bersifat komersial ataupun politis”.

”Tetapi, di negeri dan di tengah kehidupan masyarakat yang menghormati kebebasan pers, menurut pengamatan saya, wartawan dapat lebih mungkin menolak campur tangan pemilik perusahaan pers jika hal itu mengganggu independensi redaksi”.

http://www.lpds.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=13:siaran-langsung-persidangan&catid=2:atma-menjawab&Itemid=21

http://www.lpds.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=11:independensi-media-pers&catid=2:atma-menjawab&Itemid=21

http://www.lpds.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=474:menolak-wawancara&catid=2:atma-menjawab&Itemid=21

Pertama, saya mohon penjelasan secara detail dan padat terkait jawaban Bapak tentang independensi media pers: ”Tetapi, di negeri dan di tengah kehidupan masyarakat yang menghormati kebebasan pers, menurut pengamatan saya, wartawan dapat lebih mungkin menolak campur tangan pemilik perusahaan pers jika hal itu mengganggu independensi redaksi.”

Dengan adanya kasus pelaporan Metro TV dan tvOne oleh masyarakat kepada KPI, apakah kekhawatiran saya tentang independensi media pers betul-betul terjadi? Saat ini,  masyarakat sudah semakin pintar dan jeli, mereka sudah bisa membedakan mana berita yang bersifat informatif dan edukatif dengan berita yang bersifat kepentingan dan “adu domba”.

Hal yang ironis di Indonesia saat ini, pers yang seharusnya menjadi pilar demokrasi, ternyata tidak luput dari penjamahan kepentingan seperti itu. Kekhawatiran saya saat ini adalah, mulai terkotak-kotaknya para calon-calon wartawan yang masih duduk di bangku akademisi, secara tidak langsung mereka “dipaksa” memilih lembaga pers mana kelak yang akan mereka abdikan.

Terakhir, bagaimana seharusnya peranan lembaga-lembaga  pers seperti, Dewan Pers, KPI atau mungkin LPDS sebagai lembaga yang mempersiapkan calon-calon wartawan di kemudian hari dalam melihat atau mengantisipasi kasus ini?

Sekian beberapa pertanyaan dan pandangan saya, mohon maaf apabila ada penulisan yang kurang berkenan

Bandung , 25 Januari 2011

Muhammad Rizky Fauzi
Mahasiswa FISIP UNPAS jurusan ILMU KOMUNIKASI
E-mail: rizky_kotaksurat@yahoo.com

 

 

JAWABAN:

Penjelasan saya tercantum di bawah setiap pertanyaan Saudara berikut ini.

Pertama, saya mohon penjelasan secara detail dan padat terkait jawaban Bapak (dalam diskusi sebelumnya) tentang independensi media pers: ”Tetapi, di negeri dan di tengah kehidupan masyarakat yang menghormati kebebasan pers, menurut pengamatan saya, wartawan dapat lebih mungkin menolak campur tangan pemilik perusahaan pers jika hal itu mengganggu independensi redaksi”.

Di negara yang tidak memiliki kebebasan pers, para pemilik perusahaan pers lazimnya adalah kalangan yang dekat dengan atau didukung oleh penguasa politik yang menguasai pemerintahan diktatorial atau otoriter. Bila wartawan terlibat dalam konflik kebijakan redaksi dengan pemilik perusahaan pers tempat mereka bekerja, ini dapat dianggap sebagai konflik dengan penguasa pemerintahan. Wartawan yang memiliki pandangan politik yang bertentangan dengan pendapat pemilik perusahaan persnya sulit memperoleh lapangan pekerjaan di perusahaan pers yang lain.

Sebaliknya, di negara demokrasi yang menghormati kebebasan pers, wartawan dapat menyuarakan pendapatnya secara terbuka jika mendapat tekanan yang mengganggu independensi kebijakan redaksi dari pemilik perusahaan pers. Wartawan itu juga dapat melaporkan situasi tersebut kepada Dewan Pers dan meminta Dewan Pers sebagai mediator.

Bila konflik itu “dimenangkan” oleh pemilik perusahaan pers, wartawan tersebut masih mungkin bekerja di perusahaan pers yang lain atau mendirikan media pers yang baru.

Dengan adanya kasus pelaporan Metro TV dan tvOne oleh masyarakat kepada KPI, apakah kekhawatiran saya tentang independensi media pers betul-betul terjadi? Saat ini,  masyarakat sudah semakin pintar dan jeli, mereka sudah bisa membedakan mana berita yang bersifat informatif dan edukatif dengan berita yang bersifat kepentingan dan “adu domba”.

Masyarakat sejak dahulu sudah apa yang Saudara gambarkan “pintar dan jeli” dan “bisa membedakan berita yang bersifat informatif dan edukatif dari berita yang bersifat kepentingan (sendiri atau kelompoknya) dan ‘adu doimba.'”

Oleh karena itu, sejak dahulu mereka itulah yang pada akhirnya menentukan nasib dan keberlangsungan (survival) media pers. Pada masa saya menjabat Ketua Dewan Pers (2000-2003), dari antara 1.200 media pers cetak yang ada waktu itu, separuhnya atau 600 tutup hanya dalam waktu sekira 1,5 tahun. Pasti ini karena masyarakat tidak berminat berlangganan media pers tersebut, selain diakibatkan oleh, antara lain, manajemen perusahaan yang lemah.

Marilah kita lihat saja, apakah media massa yang terlampau menonjolkan kepentingan bisnis dan kepentingan politiknya sendiri atau kepentingan kelompoknya dapat bertahan lama jika pengelola media itu tidak meluruskan kembali tujuannya untuk kepentingan publik.

Selain itu, tentulah Komisi Penyiaran Indonesia dan Dewan Pers tidak pernah berhenti mengamati perkembangan media massa kita.

Hal yang ironis di Indonesia saat ini, pers yang seharusnya menjadi pilar demokrasi, ternyata tidak luput dari penjamahan kepentingan seperti itu. Kekhawatiran saya saat ini adalah, mulai terkotak-kotaknya para calon-calon wartawan yang masih duduk di bangku akademisi, secara tidak langsung mereka “dipaksa” memilih lembaga pers mana kelak yang akan mereka abdikan.

Para mahasiswa yang ingin menjadi wartawan tidak perlu merasa dipaksa untuk bekerja di media pers tertentu yang kebijakan redaksinya tidak sesuai dengan idealisme mereka. Mereka dapat bebas memilih di antara sedemikian banyak media massa sekarang ini: 1.000 media pers cetak, lebih dari 3.000 stasiun radio, lebih dari 100 stasiun televisi, dan media online yang cukup banyak jumlahnya.

Atau, mereka dapat mendirikan media massa yang baru sesuai dengan idealisme masing-masing. Tentu saja, masalah kebijakan redaksi tetap perlu dirundingkan dengan para pemegang saham perusahaan media—dengan tujuan agar perusahaan dapat berkembang maju sehingga kesejahteraan pegawainya terjamin. Idealisme dan kebebasan pers sulit berkembang jika kesejahteraan para pengelola media pers tidak terjamin. 

Terakhir, bagaimana seharusnya peranan lembaga-lembaga  pers seperti, Dewan Pers, KPI atau mungkin LPDS sebagai lembaga yang mempersiapkan calon-calon wartawan di kemudian hari dalam melihat atau mengantisipasi kasus ini?

LPDS berfungsi merawat pengembangan idealisme pers melalui pendidikan yang membekali para wartawan dengan standar jurnalisme profesional. Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia tidak dapat berhenti mengamati dan mengingatkan para pengelola media massa untuk mengembangkan standar publikasi dan siaran bagi kepentingan publik.  

Atmakusumah Astraatmadja
Pengajar Lembaga Pers Dr. Soetomo

Published in Atma Menjawab