PERTANYAAN:
Salam jurnalis…
Terima kasih atas ruang yang telah disediakan oleh LPDS untuk semua jurnalis tanah air.
- Bagaimana membedakan antara privasi dengan kepentingan umum? Masalahnya, saya sering membaca harian umum yang ada di tanah air ini memberitakan secara samar antara keperibadian dan kepentingan umum?
- Apa saja perbedaan yang dominan antara privasi dengan kepentingan sosial?
- Privasi yang seperti apa yang boleh dipublikasikan?
- Batasan privasi seperti apa?
Hormat saya.
Raden Marsofyan (Palembang)
radencreet@gmail.com
JAWABAN:
Berikut adalah tanggapan bagi pertanyaan yang diajukan dalam rubrik “Atma Menjawab” pada situs Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS).
Masalah atau peristiwa kehidupan pribadi atau kehidupan privat, yang lazim disebut sebagai privasi atau privacy, dapat diberitakan karena dua alasan:
(1) Sebagai hiburan, yang pada umumnya mengenai kehidupan para artis dan selebritas lainnya; dan
(2) Karena mengandung makna edukatif bagi kepentingan umum sebagai “pelajaran” untuk diikuti atau, sebaliknya, dihindari.
Jadi, kehidupan pribadi boleh diberitakan, tetapi hanya secara terbatas apabila laporan itu dapat merugikan atau mencemarkan nama baik subjek berita.
Kian besar tanggung jawab sosial seseorang (misalnya: pemimpin pemerintahan, pemimpin politik, pemimpin umat, pengusaha besar, cendekiawan terkemuka, atau selebritas) semakin mungkin kehidupan pribadinya diberitakan dengan menyebutkan pula identitasnya (berupa foto, nama, jabatan atau profesi, dan alamat rumah atau kantornya). Akan tetapi, identitas itu tidak dapat ditampilkan jika subjek berita hanyalah “warga biasa”, yang jabatan atau lapangan pekerjaannya kurang-lebih di bawah tingkat direktur.
Jadi, bila yang diberitakan itu adalah subjek berita yang posisinya terkemuka (kurang-lebih setingkat dengan jabatan direktur atau lebih tinggi, atau selebritas), maka identitas subjek berita dapat dilengkapkan pada laporan pers tentang kehidupan pribadi seseorang.
Walaupun demikian, pencantuman identitas dalam laporan pers itu masih tetap harus mempertimbangkan harga diri dan kehormatan subjek berita, dengan tidak memuat foto privat (yang dibuat di ruang pribadi atau ruang tertutup), melainkan hanya foto yang dibuat di ruang publik atau ruang terbuka. Publikasi foto privat hanya dapat dilakukan dengan seizin subjek berita.
Oleh karena itu, dalam pemberitaan mengenai kasus peredaran video pornografis yang dikabarkan dibuat oleh Ariel Peterpan, pers arus utama di Indonesia tidak memuat cuplikan dari video itu, melainkan hanya foto Ariel yang dibuat di ruang terbuka.
Sejauh pengamatan saya selama ini, hanya harian Gorontalo Post di Gorontalo dan Warta Kota di Jakarta yang memuat potongan video tersebut. (Saya mendapat informasi dari penonton televisi bahwa ada stasiun TV yang juga pernah menyiarkan potongan video itu).
Saya mendapat kesan bahwa publikasi cuplikan video ini, yang dibuat di ruang privat, disebabkan oleh ketidaksadaran redaksi media massa tersebut mengenai larangan Kode Etik Jurnalistik yang berlaku secara universal.
Harap diingat bahwa harga diri dan kehormatan warga adalah konstitusional atau dijamin oleh UUD 1945, sebagaimana yang dapat dilihat pada salah satu pasal Konstitusi kita.
Untuk memperjelas pembahasan masalah privasi, saya kutipkan bagian makalah saya di bawah ini:
Berita Kehidupan Pribadi Dibatasi
Peliputan dan pemberitaan tentang privasi atau privacy = kehidupan privat = kehidupan pribadi:
Tidak dilarang, melainkan dibatasi.
(Kode Etik Jurnalistik tahun 2006: Pasal 9 – Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik.
Penafsiran b: Kehidupan pribadi adalah segala segi kehidupan seseorang dan keluarganya selain yang terkait dengan kepentingan publik).
Kritikus dan novelis Ayu Utami berpendapat:
Privasi belum dimengerti penuh oleh masyarakat. Bahkan, masih terjadi tarik menarik mengenai “ruang privat” dan “ruang komunal”.
Akibatnya, insan pers yang tidak mendapatkan persiapan khusus etika jurnalistik cenderung mereproduksi saja ketidakmengertian masyarakatnya.
….
Sekarang, pers Indonesia hendak lebih maju dari masyarakatnya atau tetap ber-”mental kawanan”—membeo praktik-praktik jumud masyarakat?
….
Sering kali pers hanya mereproduksi nilai-nilai masyarakat yang telah jumud (beku, tumpul, dan telah tak adil).
Masyarakat Indonesia memang belum sepenuhnya terlepas dari ciri komunalisme, yaitu masyarakat berkawanan, bergerombol. Di dalam komunalisme, hak individu dan privasi tidak dihargai.
Sementara itu, teknologi dan industri pers adalah buah dari modernitas. Apakah pers, yang lahir dari modernitas, memilih tunduk pada nilai-nilai masyarakat?
….
Adanya Kode Etik Jurnalistik menunjukkan bahwa pers hendak mengorganisasi diri menjadi lembaga yang profesional dan beretika.[1][1]
Tidaklah keliru bila Ayu Utami mengkritik bahwa pers kita tidak jarang “hanya mereproduksi nilai-nilai masyarakat yang telah jumud—beku, tumpul, dan tidak adil.”
Pendapatnya dapat diamati pada banyak pemberitaan dalam pers kita. Mulai dari judul sampai hampir seluruh isinya, laporan jurnalistik media pers kita seolah-olah ”ikut bersorak-sorai” dengan publik yang sama-sama tidak mempertimbangkan—dan tidak memahami—hak privasi.
”Suasana pesta” dalam pemberitaan dapat timbul karena wartawan secara emosional terbawa oleh arus reaksi publik—dengan budaya yang tidak dapat memperlakukan peristiwa privat secara proporsional. Dalam laporan ini sering dimuat nama jelas atau nama lengkap dan pekerjaan atau profesi serta alamat subjek berita pada peristiwa privasi ini.
Malahan ada koran yang memuat foto anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang bertelanjang dada karena tidak sempat mengenakan pakaian selengkapnya ketika digerebek oleh massa pada saat sedang berada di rumah seorang wanita—yang bukan istrinya.
Atmakusumah Astraatmadja
Pengajar Lembaga Pers Dr. Soetomo
Published in