Pertanyaan:
Di daerah saya, Tasikmalaya, Kota dan Kabupaten, menurut informasi dari bagian Humasnya, konon tercatat sekitar lima ratusan orang yang mengaku wartawan, dan puluhan media cetak, harian, mingguan, dan dwi-mingguan, serta yang kadang terbit, kadang pula hanya nama saja, tanpa ada bukti media tersebut terbit dan beredar ke tengah khalayak pembaca.
Sementara perilaku orang yang mengaku wartawan itu sendiri, sebagian besar bersikap tidak sesuai dengan KEJ atau KEWI. Contohnya apabila mereka “menemukan” bahan berita yang menyangkut masalah hukum, kepada nara sumber/korban mereka tidak segan-segan meminta uang kalau berita tersebut tidak ingin dimuat. Sehingga munculah pameo pers identik dengan tukang peras (peres dalam bahasa sunda).
Yang jadi pertanyaan, Dewan Pers selaku lembaga tertinggi insan pers, apakah bisa untuk membuat aturan baku agar citra pers di mata masyarakat tidak sedemikian rendahnya?
19 Desember 2011
Adhitya R. Sudradjat
ajat.jurnalis@gmail.com
Jawaban:
Saudara Ajat:
Pertama-tama, saya ingin meminta maaf bahwa saya baru pada saat ini berkesempatan menanggapi keluhan publik tentang media (yang mengaku sebagai pers) dan “wartawan” yang mengelola media tersebut.
Dewan Pers sudah menyusun kriteria tentang apa yang dapat dikategorikan sebagai wartawan, media dan perusahaan pers, serta organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers.
Dengan demikian, siapa pun yang meragukan suatu terbitan atau media cetak serta stasiun radio, stasiun televisi, dan media online dapat meminta keterangan dan terbitan tertulis dari Dewan Pers di Jakarta.
Media yang isi atau siarannya tidak sejalan dengan standar jurnalistik profesional serta wartawan yang menampilkan perilaku yang tidak sesuai dengan kode etik jurnalistik dapat dilaporkan ke Dewan Pers.
Seseorang yang mengaku sebagai wartawan, tetapi meminta bayaran untuk memuat atau, sebaliknya, tidak memuat suatu informasi sesuai dengan permintaan pemberi bayaran tersebut–jelas bukanlah seorang wartawan.
Bila ia memeras, sebaiknya dilaporkan kepada Kepolisian Negara RI agar diproses melalui jalur hukum.
Saya ingin mengingatkan bahwa wartawan yang meminta atau menerima suap dari sumber informasi menghadapi sanksi moral yang sangat berat, yaitu tidak diperbolehkan menjalani profesi kewartawanan untuk selama-lamanya–tanpa ada grasi.
Tidak seorang pun, dan tidak satu lembaga atau instansi atau perusahaan pun, yang perlu takut kepada media dan “wartawan” seperti itu, sepanjang mereka tetap berupaya agar tidak memiliki materi informasi yang dapat dipublikasikan secara negatif. Dengan kata lain, lembaga, instansi, perusahaan, dan sumber informasi tersebut sebaiknya “bersih”.
Kalaupun mereka diberitakan secara negatif, mereka memiliki Hak Jawab untuk menjelaskan permasalahan yang diberitakan dan meminta jasa Dewan Pers untuk menyelesaikan konflik akibat pemberitaan dengan media pers.
Demikian tanggapan saya kepada keluhan publik di daerah Saudara.
Salam,
Atmakusumah Astraatmadja
Pengajar Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS)
Pengamat pers, mantan Ketua Dewan Pers
19 Januari 2012
Published in