PERTANYAAN?:
Melihat realitas pers di Indonesia saat ini, kebanyakan dari mereka dimiliki oleh para politisi atau para pengusaha yang dekat dengan pemerintah. Hal tersebut, menurut saya, menjadi kemunduran pers Indonesia dalam pemberitaannya. Contohnya ketika Munas Partai Golkar, Metro TV dan TvOne seperti beradu berita yang keduanya mendukung pemimpin mereka yang juga menjadi calon Ketua Umum Golkar. Belum lagi dalam pemberitaan KPK vs Polri, ketika Menkominfo memanggil seluruh Pemred media massa untuk berdiskusi dengan Kapolri, mereka semua mendukung KPK. Sehingga otomatis dalam pemberitaan tidak berimbang, cenderung berpihak kepada KPK.
Masyarakat seperti digiring untuk membela KPK. Terlepas dari kasusnya, menurut saya, sikap pers itu cenderung tidak independen dan berat sebelah. Apakah hal tersebut menyalahi kode etik jurnalistik atau sesuatu yang wajar atas dasar kebijakan redaksional masing-masing media pers?
Dengan adanya fenomena tentang pers seperti saya sebutkan tadi, sebetulnya Indonesia menggunakan sistem pers yang mana dari keempat teori pers yang ada? Atas penjelasan, pengarahannya, dan jawabannya, saya haturkan banyak terima kasih.
Hormat saya.
Muhammad Rizky Fauzi (mahasiswa FISIP UNPAS)
rizky_kotaksurat@yahoo.com
JAWABAN:
Sistem kepemilikan media massa di Indonesia, baik media pers cetak maupun media siaran dan media online, sebagian kurang ideal karena masih ada pemilik atau pemegang saham perusahaan media massa yang biasa melakukan campur tangan terhadap kebijakan redaksi medianya.
Ini bertentangan dengan butir (pasal) 1 Kode Etik Jurnalistik yang berlaku sekarang:
Pasal 1: Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.
Penafsiran:
a. Independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers.
Pasal ini lebih-lebih lagi perlu diberlakukan oleh media siaran radio dan televisi karena media ini menggunakan frekuensi yang adalah milik publik (ranah publik, public domain).
Karena itu, berlainan dengan media pers cetak yang tidak menggunakan ranah publik, media siaran perlu senetral mungkin dalam kebijakan pemberitaannya agar dapat diterima oleh khalayak pendengar dan penonton seluas mungkin.
Akan tetapi, pada masa euforia kebebasan berekspresi dan kebebasan pers sekarang ini, dapat dipahami bila masih terjadi campur aduk antara kebijakan redaksi dan kebijakan bisnis pihak manajemen perusahaan.
Yang penting, dan harus kita hargai, ialah bahwa sekarang media massa sangat plural sehingga banyak pilihan bagi khalayak untuk hanya menaruh perhatian pada media massa yang diminatinya dan yang sesuai dengan hati nuraninya.
Walaupun demikian, pada hemat saya, tidaklah berarti bahwa media massa kita tidak berusaha untuk bersikap independen dalam pemberitaannya tentang konflik KPK dengan Kepolisian dan Kejaksaan.
Independen berarti tidak berpihak kepada salah satu pihak hanya karena “suka” atau “tidak suka”. Independen dapat berpihak, tetapi hanya berdasarkan pertimbangan profesional, yaitu berdasarkan pertimbangan adanya kandungan kepentingan umum, bukan karena sikap “like and dislike”.
Bila dirasakan seolah-olah media massa kita berpihak kepada KPK, penyebab utamanya ialah karena arus informasi dan pendapat dari banyak narasumber, dan bahkan juga dari masyarakat umum, lebih mengarah kepada simpati terhadap KPK.
Seandainya Kepolisian dan Kejaksaan dapat mengungkapkan pembuktian yang jelas tentang kesalahan para pejabat KPK, tentulah pemberitaan media pers akan lebih “berat” ke arah Kepolisian dan Kejaksaan.
Jadi, pemberitaan pers amat bergantung pada “kuat” dan “lemahnya” argumentasi sumber berita.
Sistem pers kita dewasa ini menggunakan sistem liberal. Inilah lazimnya sistem pers yang digunakan dalam negara demokrasi.
Atmakusumah Astraatmadja
Published in