Penulisan Kutipan langsung

PERTANYAAN?:
Apa kabar Pak Atma dan pasukan LPDS? Semoga sehat.

Bisa diulas tentang etika dan prosedur pemilihan penulisan kutipan langsung (” ….”). Sejauh mana wartawan bisa menulis kutipan langsung dibandingkan dengan kutipan tidak langsung. Apakah wartawan cetak harus punya bukti berupa rekaman wawancara untuk memperkuat kutipan langsung itu? Kalau wartawan ternyata tidak punya bukti, apakah narasumber bisa menggugatnya?

20 Mei 2010

Mercy T Sihombing
Alumni LPDS tahun 1991
mercy.sihombing@gmail.com

JAWABAN

Mercy yang baik.

Kutipan langsung, yang diapit dengan tanda baca kutip-buka dan kutip-tutup, sebaiknya berisi kalimat yang berbobot dan mencerminkan pikiran serta pandangan khas atau khusus dari narasumber. Jadi, bukan pernyataan yang bersifat umum dan normatif.

Sebaiknya kalimat langsung yang dikutip dari pernyataan narasumber tidak diulang lagi dalam kalimat tidak langsung (ini sering terjadi dalam pemberitaan pers kita) agar tidak membosankan bagi pembaca.

Ada baiknya wawancara direkam, kalau-kalau rekaman itu diperlukan sebagai pertanggungjawaban bila kemudian ada yang menyangsikan akurasi pernyataan narasumber yang dikutip oleh pers.

Sebenarnya, para penegak hukum di berbagai negara tidak memercayai rekaman wawancara karena rekaman dapat “diutak-atik”. Di Amerrika Serikat, misalnya, buku notes yang memuat catatan wartawan dari wawancara lebih dipercaya oleh para penegak hukum. Penelitian forensik terhadap catatan di buku notes itu dapat membuktikan kapan catatan itu dituliskan.

Yang paling penting adalah kepercayaan publik terhadap media pers yang memuat pernyataan dari wawancara itu. Publik akan memercayai kebenaran klarifikasi redaksi media pers yang memuat wawancara itu jika kejujuran media itu sepanjang hayatnya dipercaya oleh publik.

Akan tetapi, media pers itu perlu dengan jujur menyatakan kekeliruannya dan meminta maaf jika memang telah terjadi kesalahan dalam pengutipan wawancara tersebut.

Apakah pers dapat digugat secara hukum jika tidak memiliki hasil rekaman untuk membuktikan akurasi kutipan dari wawancara, silakan ditanyakan kepada pengacara atau ahli hukum.

Dalam tradisi pers, kesalahan pengutipan wawancara lazimnya diselesaikan dengan pemuatan ralat (bila redaksi menyadari telah terjadi kesalahan pengutipan wawancara), atau pemuatan hak jawab (jika pemberi wawancara merasa telah terjadi inakurasi dalam kutipan wawancara yang telah dimuat di media pers).

Demikianlah, Mercy, semoga jawaban saya bermanfaat.

Salam,
Atmakusumah Astraatmadja

PS: Mercy, Pasukan LPDS masih tetap bersemangat.

 

 

 

 

Published in Atma Menjawab