Oleh Arfi Dardiansyah
Atjehlink.com, Bandaaceh, peserta MDK III Agustus 2015 dengan penugasan ke Palangka Raya
PALANGKA Raya sesak. Kabut asap menyelimuti kota yang tepat di tengah Pulau Kalimantan karena sejak pertengahan Juni bagian tengah Borneo tak diguyur hujan.
Kondisi tersebut mengakibatkan provinsi yang memiliki luas lahan gambut mencapai 3,1 juta hektare (kurang lebih 15% dari luas gambut Indonesia) menjadi kawasan bertingkat polusi tertinggi di dunia. Padahal, tanpa kehadiran kabut asap, Palangka Raya tampil sebagai kota nan asri. Pepohonan hijau terang menyedapkan mata memandang, bahkan di pusat kota sekalipun. Lahan gambut yang semestinya menjadi berkah bagi ketersediaan oksigen seolah menjadi kutukan. Jika pada musim penghujan lahan gambut menyerap dan menyimpan air, musim kemarau kondisi permukaan lahan gambut mengering. Hal inilah yang mengakibatkan timbulnya titik api (hotspot) sebab saat kemarau tiba tingkat kekeringan permukaan lahan gambut sangat mudah terbakar. Tersentuh sedikit saja oleh bara rokok, api langsung menyala-nyala.Selain itu, beberapa perusahaan perkebunan pemegang Hak Guna Usaha (HGU) cenderung melakukan pembakaran demi mempermurah dan mempermudah proses pembukaan lahan. Biasanya waktu yang tepat pada musim panas, yakni saat gambut mengering.
Bukan hanya pemegang HGU, aktivitas masyarakat yang secara sengaja membuka lahan mereka dengan cara yang sama juga turut mengakibatkan kepulan asap semakin pekat. Meski lahan mereka tak seluas pemilik HGU, sebarannya justru lebih luas dan hampir merata.
Dalam beberapa kasus, api justru tidak mampu dikontrol dan meluas. Inilah yang membuat kota berjuluk “Kota Cantik” ini diselimuti asap.
Berdasarkan data dari satelit milik Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), saat ini terdapat 71 hotspot di Kalimantan Tengah. Hotspot tersebut berada di delapan kabupaten/kota dan tersebar di 16 kecamatan.
Kabut asap bukanlah permasalahan baru di Kalimantan Tengah. Setiap tahun, saat musim panas tiba, Palangka Raya selalu berselimut kabut asap. Dalam kondisi ekstrem, kabut asap menimbulkan dampak negatif bagi kesehatan jutaan manusia. Selain itu, aspek ekonomi dan transportasi turut mengalami gangguan serius.
“Ini belum seberapa, tahun lalu bahkan mengakibatkan maskapai penerbangan menunda keberangkatan karena pekatnya kabut asap,” ujar Fandy Ahmad, Deputi Internal Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Tengah.
Menurutnya, kasus kebakaran lahan yang berulang setiap tahun akan sangat merugikan Kalimantan Tengah, bukan hanya dalam hal kesehatan melainkan besaran dana yang harus dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah untuk menghutankan kembali kawasan yang terbakar. Belum lagi dampak negatifnya bagi kesehatan masyarakat.
Mendorong Wilayah Kelola Adat
Disengaja atau tidak, kebakaran lahan yang terjadi setiap tahun merupakan salah satu penyumbang terbesar bagi degradasi hutan di Kalimantan Tengah, selain konsesi lahan dan pembalakan liar.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Walhi Kalteng, Arie Rompas, beranggapan bahwa mengundang dan menghadirkan iklim investasi yang aman bagi para investor menjadi sebuah keharusan untuk menggenjot Pendapatan Asli Daerah (PAD). Namun, di sisi lain pemerintah daerah juga memiliki kewajiban untuk meningkatkan sumber daya manusia (SDM) rakyatnya.
“Hal yang tentu tak kalah penting adalah bahwa investasi tidak boleh menghancurkan sendi-sendi kehidupan yang telah terbangun secara turun-temurun. Dan, pemanfaatan hutan secara lestari adalah suatu hal yang telah dilakukan oleh masyarakat asli Palangka Raya,” tegas pria yang akrab disapa Rio itu.
Selama ini, Walhi telah melakukan kampanye terkait dengan pencegahan deforestasi dan degradasi hutan, baik yang terjadi karena konsesi, pembalakan liar atau kebakaran hutan dan lahan gambut. Konsep yang digagas oleh Walhi selama ini justru sebuah kebiasaan yang telah hidup dan berkembang selama ini di masyarakat.
“Sejak tahun 2008 kami mengampanyekan konsep Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat atau Community Based Forest Management (CBFM). Selain menjadi tameng dari deforestasi dan degradasi hutan, keuntungan lain dari CBFM adalah pengakuan atas wilayah–wilayah kelola masyarakat.”
Kebiasaan masa lampau yang terus dilakukan hingga saat ini di masyarakat adat Dayak Kalteng adalah menjadikan hutan sebagai tempat penyaduan masyarakat, tempat mencari sumber penghidupan. seperti berladang, berburu, serta pemanfaatan hutan sebagai wahana fitofarmaka (apotek alami) seperti mencari madu dan obat-obatan tradisional serta beberapa kegiatan lainnya.
Masyarakat adat Dayak Tomun di Laman Kubung dan Laman Sekombulan pada awal Mei 2015 mendeklarasikan Peta Wilayah Kelola Adat. Setiap kawasan yang didiami oleh masyarakat Dayak, biasanya dibagi dalam beberapa zonasi yang memiliki fungsi berbeda, yaitu:
1. Laman merupakan wilayah yang dikhususkan untuk permukiman masyarakat. Segala kegiatan yang berkaitan dengan interaksi dan bersosialisasi dipusatkan di zona ini.
2. Natai Ponotaan Tanjung Perobukan merupakan wilayah produksi. Di sinilah tempat masyarakat bercocok tanam, baik perladangan maupun persawahan.
3. Insangk Kosih Nyao Porut zona ini merupakan wilayah yang tutupan hutannya masih dominan. Zona ini dijadikan oleh masyarakat sebagai tempat “guna memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka, di antaranya sebagai tempat untuk berburu, mencari ikan, tempat untuk mencari obat-obatan, madu dan lain-lain.
4. Tanah Bohiyakng Bato Bogano merupakan wilayah yang dikeramatkan berupa Gopung Tuho. Zona ini merupakan pusat pemujaan dan merupakan hutan larangan.
Rio menekankan bahwa sebagai sebuah kompleks permukiman, sebenarnya apa yang telah dilakukan oleh masyarakat Dayak pada masa lampau sudah sangat modern. Penataan kawasan perumahan, perkebunan, persawahan, kawasan berburu dan hutan larangan sudah sangat rapi dan teratur.
Alumnus Fakultas Ekonomi Universitas Palangka Raya ini menjelaskan bahwa larangan yang berkembang di tengah masyarakat adat tersebut kelak dikenal dengan istilah konservasi. Rio meyakini, jika pemerintah kembali menerapkan kearifan lokal, maka kelestarian hutan di Kalimantan Tengah akan terjaga.
Sejak masa lampau masyarakat adat telah menjaga dan mengelola kawasan mereka secara lestari. Konsep seperti ini yang menurut Walhi seharusnya diadopsi oleh pemerintah.
Salah satu contoh kearifan lokal yang masih berkembang adalah aturan adat yang membatasi aktivitas perburuan, pemancingan, dan pemanfaatan hasil hutan. Sebagai contoh, agar hewan buruan tetap lestari, aturan adat melarang keras memburu anakan (hewan muda) dan membatasi waktu perburuan.
Investasi Menggenjot PAD?
Berdasarkan data yang dihimpun Walhi, dari total 15.356.700 hektare luas Kalteng, 12.089.710 hektare telah dikuasai perusahaan. Perkebunan sawit menjadi penguasa terluas, sebanyak 347 perusahaan menguasai 4.530.000 hektare.
Penguasa selanjutnya adalah izin Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Di Kalteng terdapat 60 perusahaan pemegang izin HPH yang menguasai 4.227.953 hektare lahan. Selanjutnya pertambangan, sektor ini menguasai 2.724.143 hektare.
Hutan Tanaman Industri (HTI) menjadi yang paling sedikit menguasai lahan Kalteng. Sebanyak 23 unit izin HTI yang dikeluarkan Pemda Kalteng menguasai 607.614 hektare.
“Bayangkan, hanya tersisa tiga jutaan hektare, ini belum dikurangi taman nasional, kawasan lindung dan sebagainya yang juga terus dieksploitasi dan dirusak secara ilegal setiap hari. Menurut kami, konsep CBFM menjadi jurus jitu bagi pelestarian hutan Kalteng,” Rio menegaskan.
Ayah seorang putri itu menambahkan, jika hak kelola masyarakat adat tidak diakomodasi secara bijak dan adil, tentu akan terus memantik konflik lahan. Tahun 2014 Walhi mencatat setidaknya 200-an konflik yang terjadi antara perusahaan dan komunitas masyarakat adat.
Dalam konflik lahan, masyarakat adat cenderung dirugikan. Mereka tidak memiliki legalitas secara hukum karena hutan mereka merupakan warisan turun-temurun, sedangkan perusahaan selalu berlindung di balik izin yang telah mereka dapatkan dari pemerintah.
“Kita tentu tidak menginginkan kedatangan pengusaha hanya untuk mengeruk hasil bumi Kalteng, merusak alamnya lalu berkonflik dengan masyarakat, dan pulang mewariskan kerusakan alam. Walhi berharap Pemda dapat mendata ulang, seberapa besar sumbangan perusahaan-perusahaan terhadap peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kalteng,” ujarnya.
Cantik untuk Investasi, Cantik untuk Pribumi
Kota Cantik yang menjadi julukan Kota Palangka Raya adalah akronim dari Terencana, Aman, Nyaman, Tertib, Indah, dan Keterbukaan. Masyarakat Borneo Tengah tentu menginginkan kotanya dibangun secara terencana, aman, nyaman, tertib dan terbuka bagi siapa saja, termasuk para wisatawan dan investor.
“Melindungi dan memberikan rasa aman kepada para investor adalah sebuah keharusan suatu daerah. Namun, menyejahterakan masyarakat jauh lebih penting karena untuk itulah negara ini berdiri, untuk melindungi dan menyejahterakan masyarakatnya,” pungkasnya.
Published in