Menyeret Ember, Menghapus Luka

Oleh Yashinta, Batam Pos, Kepulauan Riau,
peserta kunjungan kawasan ke Desa Tanjungleban, Riau, Juni 2014

SETIAP tahun bencana api menjadi sumber ketakutan tersendiri bagi masyarakat Riau. Puluhan ribu hektar lahan rakyat terbakar percuma. Kerugian materi menyentuh angka triliunan rupiah, bahkan kesehatan puluhan ribu jiwa terancam

Masyarakat Desa Tanjungleban, Riau, sudah bisa tersenyum. Mereka bisa memecah tawa, meski sisa-sisa duka itu masih tersimpan elok di ingatan. Februari hingga Maret 2014 si jago merah mengamuk lagi di puluhan ribu hektare lahan warga di Kabupaten Bengkalis. Kebun sawit dan karet dilahap tanpa ampun.  Tamu yang tak diundang itu juga menghadiahi warga dengan karbondioksida (CO2). Dan, menyebarlah CO2 dalam bentuk asap hitam, hingga daerah tetangga.

Menurut  Dr. Haris Gunawan, Direktur Pusat Studi Bencana, Universitas Riau,  Tanjungleban merupakan salah satu daerah yang mengalami kebakaran terbesar di  Riau. Daerah ini berada di atas tanah gambut berkedalaman hingga 12 meter. Musim kemarau, tanah gambut mudah kering dan  terbakar. Puntung rokok yang dibuang secara tak sengaja bisa menimbulkan kemarahan si jago merah. Meski sudah dipadamkan,  bara api sering petak umpet di bongkahan gambut  dan kembali membara ketika mata masyarakat lengah.  Tren bencana api di lahan gambut ini sudah menyengat Tanah Melayu sejak 1997. Tahun ini amukan si jago merah jadi bencana terbesar nasional. Bahkan, Presiden (waktu itu) Soesilo Bambang Yudhoyono tergerak hatinya  dan turun tangan langsung ke Riau. Dihitung secara keseluruhan kira-kira 2.398 ha cagar biosfer Giam Siak Kecil—Bukitbatu  dan 21.914 ha gambut kering terbakar percuma. Dan, sebanyak 58 ribu jiwa terkena infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), sekolah diliburkan dan bandara pun  lumpuh karena jarak pandang tak bersahabat. Kerugian materi ditaksir Rp15 triliun. Pemerintah juga mengeluarkan dana Rp150 miliar untuk biaya penanggulangan selama tiga minggu.

“Itu baru hitungan kasar untuk Riau. Belum lagi kerugian yang diderita masyarakat. Desa Tanjungleban termasuk daerah yang cukup luas terkena bencana api. Ini adalah ‘kejahatan’ yang disengaja. Pemicu utamanya adalah ilegal loging,” kata Haris yang tergabung dalam peneliti lahan gambut di Jepang.

Pemantau Api
Sabtu siang, 31 Mei,  di Pos Damkar Desa Sepahat. Suhu udara terasa panas, meski rintik hujan
membasahi tanah kering di depan bangunan yang baru berusia 1 tahun. Tujuh pria tampak asyik bercengkerama di atas kursi kayu panjang. Mereka akrab, walaupun usia mereka berbeda. Mereka bisa dikatakan pahlawan desa.

Ya, pahlawan desa dari bencana api. Mereka dinamakan Masyarakat Peduli Api (MPA). MPA bertugas memantau api dan mencegah terjadinya kebakaran lebih luas. Dalam bertugas, MPA mengandalkan menara pantau setinggi 35 meter. Untuk sampai ke puncak menara membutuhkan waktu beberapa menit. Dari atas menara, MPA bisa melihat titik api hingga puluhan kilometer. Ada api, maka MPA langsung mendatangi lokasi. Memadamkan api, meski dengan peralatan seadanya. Di antaranya ember.

Ember menjadi salah satu peralatan andalan yang mereka miliki untuk memadamkan api. Mereka menyeret dan mengangkat ember. Mendekati sumber api. Mengambil air di kanal. Jika kanal kosong, itulah pokok masalahnya. Mereka harus memboyong air dari markas ke titik api.
Tangan mereka harus kuat mengangkat belasan liter air dengan ember hingga  api padam.

“Kami hanya bisa memadamkan api  yang lokasinya tak jauh dari daerah kami. Jika lebih kami akan beritahu damkar. Karena kami tak punya alat untuk bisa memadamkan api lebih jauh. Saat ini peralatan utama memadamkan api adalah ember dan beberapa selang yang sudah bocor,” kata Abu Bakar menerangkan. Ketua Regu 1 MPA tersebut saat itu mengenakan baju hitam lengan panjang dengan garis merah.

Menurut bapak empat anak itu, tugas MPA gampang stres. Gampang jika cuaca hujan. Dan mulai stres ketika cuaca panas. Saat panas bencana api bisa terjadi kapan dan di mana saja.
Bahkan titik api bisa tersebar di puluhan lokasi berbeda, hingga menyulitkan MPA yang hanya
beranggotakan 10 orang. Apalagi dengan peralatan terbatas.

Ada harapan khusus dari mereka. Mereka meminta pemerintah lebih perhatian, terutama dalam membantu tugas mereka sehari-hari. Memfasilitasi alat-alat pemadam yang bisa lebih cepat sehingga tak banyak lagi lahan-lahan rakyat yang habis terbakar, meski tidak disengaja.

“Gajinya alakadar, dua ratus ribu rupiah per bulan. Namun, bukan itu yang menjadi patokan kami. Kami bekerja ikhlas dan tak mau desa kami habis terbakar. Makanya kami rela berjaga, sering pulang larut dan diprotes oleh anak. Memang kami ikhlas, tetapi kami minta juga perhatian dari segi fasilitas,” ujar pria berusia 43 tahun itu.

Ketika bencana api jauh dari lokasi menara, saat itulah MPA bergantung pada Damkar Sepahat. Damkar Sepahat kebingungan. Mereka memiliki mesin pemadam api, tapi tak memiliki kendaraan. Hanya gerobak yang menjadi andalan tanpa adanya kendaraan lainnya. Fungsi gerobak mengangkut mesin genset pemompa air. Petugas Damkar akan berlari menggunakan gerobak sembari membawa mesin dan selang air. Kadang-kadang mereka harus merelakan uang pribadi membeli bahan bakar minyak untuk mesin.

“Kami tak punya mobil pemadam kebakaran. Kami hanya punya gerobak, mesin dan selang air. Untuk bahan bakar, kadang pakai uang pribadi dulu, dan nantinya diklaim ke kantor di Sei Pakning. Paling kami hanya bisa isi 5 liter bensin. Kalau habis, kami berhenti, karena tak punya stok minyak,” Andi, salah satu petugas Damkar menerangkan.

Dengan peralatan seadanya, dia dan anggota Damkar di Desa Sepahat tak bisa bekerja maksimal. Apalagi bila kebakaran terjadi jauh di dalam lahan milik warga. Mereka akan menyerah dan melimpahkan tanggung jawab itu kepada petugas Damkar dari Seipakning. Sepahat ke Seipakning membutuhkan waktu satu jam lebih. Bisa dibayangkan, bagaimana kondisi api satu jam dilahan gambut kering tanpa adanya pemadaman.

“Kalau jauh, kami tak bisa jangkau. Jadi, kami menunggu bantuan dari petugas Seipakning. Jika api besar, kami tak bisa berbuat apa-apa dengan keterbatasan alat,” imbuh Andi.

Kepala Desa Tanjungleban atau yang biasa dipanggil penghulu, Haji Atim, mengaku sudah berupaya melindungi desa dari ancaman kebakaran. Bahkan, setiap tahunnya desa telah mengeluarkan Rp60 juta  membiayai seluruh kinerja MPA. Mulai dari peralatan hingga upah Rp50 ribu per harinya untuk dua orang anggota MPA yang memantau.

“ Fasilitas peralatan, mudah-mudahan dapat kami sediakan secepatnya. Kalau untuk Damkar, itu mungkin lebih ke kewajiban pemerintah daerah,” kata Atim.

Menyerah untuk Eksperimen
Muhammad Nur mungkin salah satu warga Desa Tanjungleban, Kecamatan Bukitbatu, yang merasakan imbas dari bencana api Riau. Ia harus merelakan 12,5 hektar kebunnya hangus terbakar tahun 2009. Sepuluh hektar untuk kebun karet dan 2,5 hektar kebun sawit yang siap panen.

Bekas lahan itu tak bisa digunakan lagi, terutama lahan bekas kebun sawit. Lahan kebun sawit yang berdiri di tanah gambut itu terendam air setinggi pinggang orang dewasa. Bapak empat anak ini bingung hendak menanam apa. Namun, ia enggan menjual lahan miliknya, seperti warga lain.

“Antara tahun 2008 dan 2009 lahan saya terbakar. Lahan itu tak bisa digunakan lagi karena air sudah sepinggang saya. Saya pun bingung untuk bertanam apa di lahan itu,” kata pria yang akrab disapa Nur.

Pada saat rasa bingung memenuhi pikirannya, Nur bertemu dengan peneliti disiplin ilmu dari Jepang  yang lima tahun belakangan meneliti keadaan tanah gambut di Desa Tanjungleban. Dr Haris Gunawan, salah satu dari peneliti itu memberikan Nur semangat. Mencarikan jalan ke luar untuk 2,5 hektar lahan gambut miliknya yang sudah terendam air.

Nur merelakan 2,5 hektar lahan miliknya dijadikan eksperimen. Menyulapnya menjadi kebun kayu. Nur sempat ragu, tapi akhirya menguatkan niat demi generasi penerus. Generasi selanjutnya harus tahu tanaman hutan. Apalagi sekarang Tanjungleban sudah tak memiliki hutan. Semuanya habis jadi kebun sawit dan karet warga sejak tahun 2002.

Tahun 2011 Nur mulai menanam bibit kayu di lahan gambutnya yang mulai mengering. Seribu bibit kayu yang terdiri dari tujuh jenis seperti mentagor, ramin, jeletung, meranti batu, meranti pisang, balam, geronggang disebar. Untuk pasokan air, kanal di samping lahan itu disekat melembabkan lahan yang kering.

Saat menanam bibit kayu di lahannya, Nur sempat mendapat cibiran dari warga sekitar. Akan tetapi, cibiran yang dianggap kerja gilo itu tak mematahkan semangat Nur. Kini lahannya mulai terlihat subur, bibit pohon kayu itu sudah mulai besar.

“Kebakaran kemarin lahan saya tak terbakar. Padahal api hanya berjarak 200 meter dari lahan saya. Dan itu membuat saya cukup lega. Saya ingin kayu-kayu ini tumbuh subur agar generasi penerus tahu dengan jenis-jenis kayu hutan karena waktu tahun 1998 di sini hutan semua. Jalanan dengan hutan hanya berjarak 300 meter. Dan sungguh, udaranya sangat segar, jauh dibandingkan sekarang,” ungkap Nur sembari tersenyum bangga.

Sementara itu Johari aman memilih membangun bendungan  air manual. Fungsinya meningkatkan permukaan air kanal untuk membasahi lahan eks sawit dan memulihkan tumbuhnya gambut.

Bermodalkan empat truk pasir, pria yang akrab disapa Eri ini mulai bekerja. Ia membungkus pasir itu menggunakan karung dan menyekatnya di aliran kanal. Bendungan air diselesaikan dalam waktu satu minggu. Kegigihan Eri beralasan. Ia tak mau kebun miliknya kembali terbakar.

“Saya mendapat arahan dari Pak Haris agar membuat bendungan air secara manual untuk membasahi lahan gambut. Kami mengerjakannya secara bertahap. Fungsi bendungan untuk suplai air, jika suatu saat terjadi kebakaran dan kami tak kesulitan lagi mencari air, apalagi musim kemarau,” ujar Eri. Saat itu ia sedang membuat kantong kanal dan dibantu beberapa warga.

Penghulu (Kepala) Desa Atim mendukung aktivitas yang dilakukan Nur dan Eri. Bahkan dalam peraturan desa, ia mewajibkan kepada warga yang memiliki lahan lebih dari 10 hektar untuk membuat kantong-kantong air. Tak hanya itu, sebagai dukungan untuk mengembalikan hutan, Atim menyediakan 500 hektare lahan. Lahan itu bisa digunakan warga untuk menciptakan kebun kayu. Tapi hal itu tak berlaku untuk perusahaan.

“Hanya untuk warga, bukan perusahaan,” tegas Atim memberi peringatan.***

Published in ClimateReporter