JAKARTA – Dewan Pers terus berupaya memperkuat posisi pers Indonesia sebagai pilar demokrasi. Berbagai kebijakan dan pedoman pemberitaan diterbitkan lembaga ini yang menitikberatkan pada pentingnya menjaga profesionalisme, etika dan perlindungan hukum bagi wartawan di tengah dinamika perubahan media.
Hal itu diungkapkan Wakil Ketua Dewan Pers Muhammad Agung Dharmajaya saat berdiskusi dengan mahasiswa Politeknik Negeri Jakarta (PNJ) yang tengah magang di Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS), Jakarta, pada medio Desember 2024.
Agung mengungkapkan, Dewan Pers bersama 11 konstituen Dewan Pers dari organisasi profesi kewartawanan berkomitmen menghadirkan pers yang bertanggung jawab. Menurutnya sejak lahir Undang-Undang Pers Nomor 40 tahun 1999 yang menjadi salah satu tonggak penting era reformasi, kebebasan pers saat ini sebagai berkah sekaligus tantangan.
“Zaman order baru, bagaimana ketika orang menulis sebuah berita, kemudian ada yang merasa dirugikan dengan berita yang dimunculkan, pasti orangnya bisa dipanggil polisi. Bisa dipenjara. Bisa perusahaannya ditutup. Kalau yang ekstrim katanya orangnya dihilangkan,” ujarnya.
Lahirnya UU Pers Nomor 40 tahun 1999, Muhammad Agung Dharmajaya menyatakan pers menjadi begitu bebas dan merdeka. “Pers begitu bebas, begitu merdeka, tapi tetap harus bertanggung jawab,” ujarnya.
Ia menambahkan wartawan tidak perlu takut ketika menulis berita, asalkan mereka selalu mengingat dan mematuhi kode etik jurnalistik. Kebebasan ini memberikan ruang bagi wartawan untuk menulis tanpa kekhawatiran akan sanksi hukum, selama pemberitaannya sesuai dengan prinsip-prinsip jurnalistik yang etis.
Ia pun menjelaskan bahwa dalam Undang-Undang Pers, yang disebut sebagai perusahaan pers adalah perusahaan yang berbadan hukum. “Jadi kalau dia bukan berbadan hukum, maka tentunya bukan perusahaan pers,” ujarnya.
Perusahaan pers berbadan hukum ini mencakup media massa seperti koran, majalah, televisi, radio, dan media online yang memiliki struktur hukum yang jelas.
Hal ini berbeda dengan media sosial, seperti YouTube, Instagram, TikTok atau X, yang tidak termasuk dalam kategori media massa karena tidak berbadan hukum. Media sosial berpotensi pada Undang-Undang ITE, bukan Undang-Undang Pers, jika ada sengketa.
Dewan Pers bersama 11 konstituennya menghasilkan sembilan pedoman pemberitaan yang dirancang untuk meningkatkan kualitas pers. Kesebelas konstituen tersebut mencakup organisasi besar seperti Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Serikat Perusahaan Pers (SPS), Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI). Selain itu, ada pula organisasi yang mewakili televisi, radio, dan pewarta foto, seperti Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATVLI), Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI), dan Pewarta Foto Indonesia (PFI). Tak ketinggalan, dan Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) turut menjadi bagian penting dalam proses penyusunan regulasi tersebut.
Salah satu pedoman yang menjadi sorotan adalah Pedoman Pemberitaan Ramah Disabilitas. Pedoman ini menegaskan wartawan harus menggunakan istilah yang tepat dan mengedepankan nilai empati dalam pemberitaan terkait disabilitas. Misalnya, penggunaan istilah seperti “buta” atau “tuli” yang berpotensi menimbulkan stigma.
Pedoman ini juga menuntut media menyediakan akses informasi bagi penyandang disabilitas. Hal ini sejalan dengan prinsip dalam UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, yang menempatkan kelompok ini sebagai subjek pemberitaan.
Selain itu, Dewan Pers juga memperkenalkan langkah konkret untuk menjaga kredibilitas media melalui Uji Kompetensi Wartawan (UKW) yang terdapat tiga jenjang, yakni Wartawan Muda, Wartawan Madya dan Wartawan Utama.
Agung Dharmajaya menjelaskan UKW bertujuan untuk memastikan wartawan tidak hanya memahami teknik menulis berita, tetapi juga mampu menjaga kehormatan subjek berita sesuai dengan kode etik jurnalistik. “Wartawan harus paham bahwa ada kehormatan orang yang harus dijaga dalam setiap pemberitaan,” tegasnya.
UKW juga menjadi acuan bagi perusahaan pers dalam mengevaluasi kinerja wartawan dan menghindari penyalahgunaan profesi.
Dalam mendukung pelaksanaan tugas jurnalistik, sambung Agung, Dewan Pers juga memperhatikan aspek perlindungan hukum bagi wartawan. Di samping itu, Dewan Pers turut memperhatikan perlindungan terhadap jurnalis perempuan. Untuk ini, Dewan pers telah menyusun pedoman untuk mencegah dan menangani kekerasan seksual di lingkungan pers. “Ini juga kami perhatikan betul, perempuan begitu mulianya di mata kami,” tegas Muhammad Agung.
Selain itu, Agung menyebut kepercayaan publik menjadi aspek penting yang selalu ditekankan oleh Dewan Pers. “Publik membutuhkan informasi yang prosesnya dilalui dengan benar dan baik,” ujarnya.
Karena itu, ia menekankan pentingnya verifikasi berita dan keberimbangan dalam peliputan. Hal ini juga tercantum dalam pedoman Dewan Pers yang mengharuskan media untuk memberikan penjelasan jika berita yang disajikan masih memerlukan verifikasi lebih lanjut. Media wajib memperbarui berita tersebut setelah verifikasi dilakukan, sebagai bentuk tanggung jawab kepada publik.
Dalam empat tahun terakhir, Dewan Pers telah mengambil langkah untuk memperkuat posisi pers Indonesia, dengan menerbitkan sembilan pedoman pemberitaan dan pelaksanaan UKW. Komitmen ini upaya menunjukan pers Indonesia tidak hanya sekadar bebas, tetapi juga bertanggung jawab dan dapat dipercaya. (Nur`Aina Aziza Gustina/Magang PNJ)
Published in