Hutan Indonesia Seluas Dua Lapangan Tenis Lenyap dalam Setiap Detik

Oleh Ma’as, Wartawan Media Jambi, Kota Jambi, dengan penugasan ke Papua Maret 2014

INDONESIA akan menjadi padang pasir yang tandus dalam lima puluh sampai seratus tahun ke depan jika hutan tidak dilestarikan, kata Willian P. Sabandar. Bayangkan, hutan Indonesia seluas dua lapangan tenis lenyap dalam setiap detik, baik itu dibabat atau dialihfungsikan menjadi perkebunan, atau dijadikan areal penggunaan lainnya (APL).

William P. Sabandar, deputi operasional Badan Pengelola  Reduction of Emissions from Deforestation and Forest Degradation ( BP REDD+), menjelaskan luas tutupan hutan di Indonesia  terus berkurang akibat adanya pembabatan hutan untuk perkebunan kelapa sawit, hutan tanaman industri (HTI) dan APL.

“Jika tidak dilakukan penyelamatan, maka  hutan yang tersisa akan habis dan menjadi padang pasir yang tandus,” ujarnya pada Lokakarya Wartawan Meliput Perubahan Iklim Kerja Sama Lembaga Pers Dr. Soetomo  dengan Kedutaan Besar Norwegia di Kampus LPDS, Gedung Dewan Pers, Jakarta, lantai 3, 18 Maret 2014.

Dikatakan bahwa ada beberapa faktor penyebab kerusakan hutan di Indonesia. Pertama,  konversi terencana seperti perkebunan dan pertanian, tambang, dan pembangunan prasarana. Kedua, konversi tidak terencana seperti perambahan, kebakaran, dan pembalakan liar.

Upaya penyelamatan hutan yang dilakukan  antara lain monitoring moratorium izin baru menggarap hutan dan gambut lewat Peta Indikatif Penundaan Izin Baru (PIPIB), periksa ulang izin, pengukuhan kawasan hutan, dukungan dalam penegakan hukum, pemetaan dan pelaksanaan program hutan adat serta capacity building, pengendalian kebakaran hutan dan lahan, desa hijau, sekolah hijau, dukungan untuk penyelesaian RTRW(rencana tata ruang dan wilayah), dukungan untuk resolusi konflik, program strategis penyelamatan taman nasional dan hutan lindung.

Sementra itu, ahli komunikasi perubahan Iklim, Emilia Bassar, menjelaskan untuk menyelamatkan hutan dibutuhkan pemimpin yang memiliki komitmen dalam perubahan iklim.

Selain itu, menurutnya, para responden menghendaki pemimpin mendatang menetapkan program prioritas dalam bidang pendidikan, kesehatan, perubahan iklim, pengentasan kemiskinan, lapangan kerja dan infrastruktur.

“Pendidikan akan berpengaruh dengan program lain.  Jika masyarakat telah memahami tentang arti pentingnya hutan bagi kehidupan, maka hutan dapat dilestarikan,” ucapnya.

Bahkan Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) melakukan survei masyarakat terhadap prioritas penanganan perubahan iklim pasca 2014. Survei dilakukan terhadap 1.100 penduduk di delapan provinsi luar Jawa September-Oktober 2013. Hasilnya 90 persen setuju dan hanya 10 persen yang tidak setuju pemimpin yang aktif menangani perubahan iklim.

“Jadi figur pemimpin nasional maupun daerah harus memiliki komitmen dalam penyelamatan lingkungan,” ujar  pengajar Universitas Mercu Buana dan Universitas Indonesia ini. 

Emilia melihat tingkat pengetahuan umum masyarakat terhadap perubahan iklim dan pemanasan global sebagai berikut: Hanya 8 persen rendah, 57 persen sedang dan 35 persen tinggi.

Selanjutnya dia juga menjaring aspirasi dari masyarakat tentang isu-isu penanganan perubahan iklim. Sebanyak 74 persen responden menyatakan hutan harus dilestarikan. Kemudian perbaikan transportasi umum, efisien dalam pemakaian energi dan pembuatan waduk atau embung.

 

Published in ClimateReporter