Laporan Veby Rikiyanto, Valoranews, Padang
Penulis adalah peserta lokakarya wartawan Merliput Perubahan Iklim dengan tugas kunjungan kawasan di Kalimantan Tengah Februari 2016. Lokakarya diadakan Lembaga Pers Dr Soetomo dengan kerjasama Kedutaan Norwegia di Palangka Raya 20-24 Feb 2016
Dimuat Valoranews Kamis, 14-04-2016 | 10:38 WIB
Manager proyek lokakarya Meliput Perubahan Iklim LPDS Warief Djajanto Basorie menyerahkan ransel atas partisipasi dalam lokakarya pada Carolyn Thompson asal Inggris, seorang peneliti di Laboratorium Alam Hutan Gambut (LAHG) Sebangau, Kalimantan Tengah 21 Feb 2016. Foto Veby Rikiyanto/valoranews)
VALORAnews – Wanita-wanita cantik berhidung mancung khas bule itu, tampak gelisah .Tiap sebentar mereka mondar-mandir sembari melihat keluar pondok. Hujan yang turun dengan derasnya sejak pagi telah menghambat aktivitas mereka.
Wanita-wanita tersebut adalah peneliti dari Laboratorium Alam Hutan Gambut (LAHG) Kereng Bangkirai-Sebangau, Palangka Raya, Kalimantan Tengah.
Tidak seperti laboratorium pada umumnya. Namanya juga laboratorium alam, tidak ada gelas-gelas maupun botol yang berisi cairan kimia, pun tidak ada para petugas berseragam putih-putih. Yang ada adalah pondok-pondok kayu dikelilingi pepohonan lebat dan ratusan bahkan ribuan bibit pohon berbagai jenis. Petugasnya pun berpakaian seperti penduduk pada umumnya.
LAHG memang laboratorium tempat pembudidayaan aneka ragam hayati. Selain itu, tempat yang kaya akan aneka ragam satwa tersebut, juga telah menarik para peneliti maupun pencinta lingkungan untuk melakukan berbagai penelitian. Satwa yang jadi objek utama adalah beberapa jenis monyet yang terancam punah.
Untuk mencapai lokasi LAHG tidaklah mudah. Memerlukan waktu satu jam perjalanan darat dari Bandar Udara Tjilik Riwut, kemudian dilanjutkan dengan menaiki perahu kecil bermesin. Penduduk setempat menyebutnya kelotok.
Kalau musim penghujan, air sungai cukup tinggi sehingga bisa melewati jalur pintas yang membutuhkan waktu sekitar 10 menit. Kalau musim kemarau dan air sungai sungai surut, maka jarak tempuh bisa memakan waktu satu jam, karena harus menempuh jalur memutar agar bisa sampai ke base camp LAHG.
Memasuki kawasan LAHG yang terdapat di Utara Taman Nasional Sebangau, terdapat jalur-jalur yang mirip rel kereta api. Pada 9 Juli 1999, kawasan ini diresmikan pemerintah dan dikelola Universitas Palangkaraya bekerjasama dengan Center for International Cooperation in Sustainable Management of Tropical Peatland (CIMTROP), pusat kerjasama internasional dalam penataan secara berkelanjutan lahan gambut tropis.
Di lahan seluas 50.000 hektare ini, tiap hari, peneliti dan petugas menjalankan aktivitasnya. Menurut Krisyoyo, dia dan empat rekan mempunyai tugas berbeda. Dia kebagian pekerjaan berpatroli keliling kawasan dibantu penduduk sekitar. Ada yang bertugas memasang kamera pengawas di sekitar kawasan.
Kamera berfungsi menangkap aktivitas satwa yang ada di dalam kawasan, khususnya satwa yang jadi objek penelitian. Ada yang bertugas mencatat dan mamantau populasi berbagai jenis kupu-kupu serta ada yang bertugas membuat kanal untuk menampung air.
Saat ini, juga terdapat empat peneliti luar negeri yang ikut terlibat di kawasan LAHG. Menurut salah seorang peneliti dari Inggris, Carolyn Thompson, dia bertugas meneliti kehidupan gibbons (Hylobates Albibarbis) yang oleh penduduk setempat disebut owa-owa.
“Gibbons adalah sejenis monyet berukuran kecil berwarna hitam dengan bulu putih di sekitar wajah,” ujarnya menerangkan dalam bahasa Indonesia yang terdengar fasih.
“Saat ini, jumlahnya sudah sangat sedikit akibat pembukaan lahan dan kebakaran hutan. Di LAHG ini saja, diperkirakan hanya tinggal 50 ekor saja,” tambahnya wanita berambut merah ini
Senada dengan Carolyn, peneliti orangutan asal Amerika Serikat Jenn Brousseau mengungkapkan saat ini orangutan di Taman Nasional Sebangau diperkirakan tinggal 7.000 individu.
“Kalau tidak dilakukan tindakan, maka kita tidak akan pernah lagi melihat hewan yang sifatnya paling mendekati manusia tersebut,” terangnya.
Published in