Oleh Dinda Wulandari, Koresponden Bisnis Indonesia di Palembang dengan penugasan ke Kalimantan Timur Maret 2014
NAMANYA Nurbeti, usianya 60 tahun. Bersama suaminya yang juga petani, mereka menggugat pemerintah ke pengadilan karena telah membiarkan tambang batu bara mengepung areal sawahnya di pinggir Samarinda, Kalimantan Timur.
Nurbeti membuka percakapan dengan keluhan betapa banyak gangguan yang muncul di sawahnya beberapa tahun terakhir.
“Kalau burung sudah biasa, tetapi yang lain seperti tikus juga sering menyerang. Gunung-gunung digusurin, hutan-hutan dihancurin, akhirnya tikus cari makan ke ladang,” kata perempuan asli Jawa Tengah itu berseloroh.
Obrolan berlangsung di dangau (bangunan pantau kecil) sawah Nurbeti di wilayah Makroman, Kecamatan Sambutan, Kota Samarinda.
Dari gubuk itu tampak pemandangan bentangan sawah milik Nurbeti. Di ujung sawah, kira-kira 500 meter, terdapat perbukitan yang telah dikeruk. Satu sampai dua mobil truk bergerak di sekitar bukit yang sudah menjadi bekas areal pertambangan batu bara. Padahal, bukit yang dikenal dengan sebutan Gunung Lampu itu sangat penting bagi Nurbeti dan petani lainnya di Makroman. Di sana terdapat mata air tradisional yang menjadi sumber pengairan utama sawah.
“Sekarang tidak ada lagi mata air karena sudah tersedot lubang-lubang pertambangan,” keluhnya.
Untuk membuat ladangnya tetap hijau, Nurbeti dan suami harus menelepon perusahaan tambang di sana agar mengalirkan air dari kolam eks tambang itu dengan pompanisasi. Jika ia lalai menelepon, maka perusahaan pun tak akan memompa air ke sawah Nurbeti.
Nurbeti menginjakkan kaki pertama kali di Pulau Kalimantan pada 1985. Ia sempat bermukim di Kota Samarinda, tetapi dia merasa tidak cocok tinggal di perkotaan dan memilih mencari tanah di pinggiran untuk berladang.
Hijrah ke Makroman, Nurbeti membeli lahan seluas 1 hektare untuk bertani. Dia meyakini mata pencarian yang tepat untuknya adalah memiliki sawah.
Hasil sawah itu ternyata memang dapat menghidup dia, suami, dan bersama 10 anaknya. Bahkan, sampai bisa membawa anak-anaknya mengecap sekolah menengah atas.
Namun, perjalanannya sebagai petani mulai tersandung sejak pertambangan batu bara masuk ke daerahnya. Perlahan tapi pasti Nurbeti merasakan dampak kegiatan tambang yang mengelilingi sawahnya itu. Mulai dari kekeringan, banjir lumpur, hingga serangan hama silih berganti mengganggu ladangnya.
Kondisi yang buruk itu membuat beberapa petani di Makroman akhirnya menyerah pada keadaan. Mereka memilih menjual lahan sawah kepada pemilik tambang daripada bertahan mengelola sawah dengan penuh kendala dan hasil yang semakin menurun. Namun Nurbeti memilih bertahan. Baginya sawah tetap merupakan masa depan hidup keluarganya.
“Saya tidak tertarik [jual sawah]. Sawah itu tidak ada pasarnya, beda dengan [jual] ayam atau sapi. Ini untuk makan kami sehari-hari,” ujarnya.
Untuk mempertahankan lahan itu Nurbeti melawan. Mulai demonstrasi di jalan hingga akhirnya menggugat ke pengadilan dengan mengajukan banyak tuntutan.
Dari sejumlah tuntutan itu, dia menitikberatkan satu hal kepada pemerintah, kembalikan kondisi lingkungan seperti sebelum industri mengeruk batu bara.
“Kalau mereka [pemerintah] perhatian tidak mungkin kami menggugat. Kami minta seperti dulu lagi, air lancar meskipun kemarau, lubang bekas tambang ditutup, udara bersih. Itu adalah kerugian yang kami tanggung,” ujarnya.
Keputusan Nurbeti untuk mengajukan gugatan itu mungkin beranjak dari kerugian yang ia rasakan sejak tambang masuk. Akan tetapi, langkah Nurbeti itu bermakna lebih. Ia ikut berjuang menanggulangi perubahan iklim akibat industri tambang batu bara.
Published in