Oleh Ma’as, Wartawan Media Jambi, Kota Jambi, dengan penugasan ke Papua Maret 2014
SAMBIL mengunyah buah pinang dan buah sirih yang dicelupkan ke kapur sirih, lelaki Papua berambut ikal ini berbicara soal perubahan iklim. Ia sangat prihatin atas kerusakan lingkungan di wilayah Papua yang mengakibatkan bencana banjir dan tanah longsor. Untuk menegakkan aturan, menurutnya, pemerintah tidak bisa bekerja sendiri. Masyarakat adat yakni Majelis Rakyat Papua (MRP) harus terlibat. Orang Papua tidak sama dengan daerah lain. Mereka patuh pada pimpinan adat. Apalagi tanah-tanah yang ada adalah hak ulayat.
“Pemerintah tunduk pada pengusaha dan mengabaikan kepentingan rakyat Papua, sehingga lambat laun hutan yang ada di Papua akan habis. Saya akan perjuangkan hak-hak rakyat Papua dan meminta kepada pemerintah untuk menegakkan aturan dan jangan tebang pilih,” ujar Hanggua Rudi Mebri, Direktur Yayasan Emrereuw di Sentani.
Ayah satu anak kelahiran Abenibi, Distrik Abepura, 3 Mei 1971 ini telah beberapa kali mengingatkan pemerintah dan melakukan aksi penanaman kembali hutan-hutan yang gundul. Bahkan meminta pemerintah merelokasi masyarakat yang mendirikan rumah di tebing yang curam.
“Topografi perbukitan bukanlah tanah liat, tapi berpasir. Jika terus dikikis maka tak dapat lagi menahan air. Itulah yang menyebabkan banjir bandang di Jayapura beberapa waktu lalu,” ujar calon legislatif DPRD Papua ketika itu.
Dia mencontohkan Pemerintah Papua melakukan perusakan lingkungan demi akses ekonomi dengan membangun jalan lingkar (ring road) Sentani. Hutan bakau dan hutan sagu habis dibabat. “Dampak dari pembangunan jalan lingkar ini jelas merusak ekosistem yang ada. Akan terjadi abrasi akibat pengikisan di sepanjang pantai,” ujarnya.
Dampak ekonomi dari pembangunan itu sudah terasa, penghasilan nelayan jauh berkurang. Ikan yang biasa hidup di hutan bakau kini berkurang. Padahal wilayah tersebut adalah hak ulayat. Jadi secara tegas dia menolak pembangunan jalan tersebut. “Pemerintah tidak memikirkan rakyat kecil, demi proyek besar,” ucapnya.
Dalam membangun, pemerintah seharusnya berkonsultasi dengan masyarakat adat sebagai pemegang hak ulayat, sehingga tidak terjadi konflik kepentingan yang merugikan rakyat. Artinya pemerintah juga melanggar RTRW (rencana tata ruang dan wilayah)yang telah disahkan karena membangun di wilayah terlarang, tambahnya.
Memang diakuinya bahwa pemerintah telah berupaya melakukan penghijauan. Akan tetapi butuh waktu yang panjang dan hutan yang ada harus dilestarikan. Mengapa hutan ditebang demi pembangunan jalan? Dia juga meyakini jika lingkungan tertata baik, maka bencana banjir dan longsor tidak bakal terjadi.
Solusi yang ditawarkan kepada pemerintah, selain melestarikan hutan, juga harus merelokasi rumah-rumah masyarakat yang bermukim di lereng perbukitan. Selanjutnya juga meminta kepada masyarakat tidak membuang sampah di sembarang tempat.
Published in